Senin, 26 Mei 2014

Pembangunan berbasis nilai: Tanggapan terhadap Revolusi Mental Jokowi



Pembangunan berbasis nilai:
Tanggapan terhadap Revolusi Mental Jokowi

Oleh:
Paulus Wirutomo
Sosiolog UI


          Dalam tulisannya yang berjudul “Revolusi Mental” di harian Kompas tanggal 23 Mei 2014 yang lalu,  Jokowi  menyatakan bangsa ini menghadapi suatu paradox:  di satu sisi angka pertumbuhan Ekonomi kita cukup membanggakan yaitu tercatat sebagai nomer dua tertinggi di dunia, dalam aspek politik  kita telah menciptakan sistem demokrasi yang memberi rakyat peluang  memilih pemimpin daerah sampai presiden  secara langsung, kita juga punya Mahkamah Konstitusi, KPK  dsb.,  tetapi mengapa rakyat Indonesia  semakin galau?, bahkan semakin marah dan meradang?. Ini adalah pengamatan kritis yang  amat bagus dari seorang  calon pemimpin bangsa, karena ia mempersoalkan hakekat dari suatu Pembangunan. Paradoks ini  menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup hanya menghasilkan indikator ekonomi macro yang “indah”,  sebab rakyat secara nyata membutuhkan peningkatan kualitas kehidupan sosial-budaya yang lebih menyeluruh,  sistemik dan bersifat inklusif (menyejahterakan semua warga negara, adil dan merata).
          Jokowi mengamati bahwa Pembangunan di era Reformasi masih menitik beratkan pada pembangunan institusi tetapi masih belum cukup merubah mental masyarakat. Saya menyebutnya sebagai “institusionalisasi tanpa internalisasi”. Misalnya, kita punya  sistem pemilu yang canggih tetapi belum berhasil menanamkan nilai demokrasi yang sebenarnya pada masyarakat, kita  menghilangkan sistem pemerintahan yang militeristik  tetapi ternyata tetap  memelihara budaya kekerasan bahkan sampai di kalangan siswa sekolah dan organisasi umat beragama, kita membangun  KPK tapi sikap koruptif tetap merajalela dan seterusnya. Maka, Jokowi menawarkan suatu revolusi mental. Saya kira yang dimaksud disini tentu bukan mental dalam arti “kondisi kejiwaan” atau “kemampuan otak” perorangan (misalnya ada istilah “sakit mental”),  tetapi lebih sebagai “karakter bangsa” yang mencakup sikap, kebiasaan, pola perilaku sosial. Secara sosiologis gejala ini bukan lagi merupakan gejala individual tetapi gejala sosial-budaya yang melanda bangsa. Jadi tidak cukup jika individu dituntut untuk mulai memperbaiki dari diri sendiri, tetapi usaha ini perlu didukung oleh pembenahan sosial-budaya secara sistemik, holistik dan sosietal bukan secara sektoral (misalnya hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata). 
          Saya menilai tawaran melakukan revolusi mental ini menunjukkan suatu tekad politik yang  mendasar dan bersifat paradigmatik yaitu ingin membongkar paradigma pembangunan yang lama. Bangsa ini tidak hanya membutuhkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menghadapi globalisasi, tetapi lebih dari itu adalah peningkatan kualitas “kehidupan sosial-budaya” yang secara sosiologis  harus mencakup aspek Struktural, Kultural dan Prosesual. Pembangunan structural artinya harus secara efektif mampu mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan pemerataan dan keadilan untuk seluruh strata. Pembangunan kultural artinya harus mampu meningkatkan kualitas budaya (peradaban)  bangsa, misalnya mengembangkan nilai rukun, peduli, mandiri, kreatif dsb. Sedangkan pengembangan aspek prosesual adalah memberi ruang dan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, kreasi, opini secara demokratis sehingga bisa terjadi negosiasi yang kreatif oleh semua komponen anak bangsa terhadap semua kebijakan pembangunan yang diambil. Jadi,  suatu pembangunan tidak cukup hanya diukur dengan angka seperti: pertumbuhan ekonomi, pertambahan jumlah Mal, Pabrik dsb. Tetapi apakah  pembangunan itu bisa meningkatkan kualitas kehidupan sosial-budaya secara  structural, kultural dan prosesual?. Pada masa kini angka pertumbuhan ekonomi nasional kita tinggi tetapi pada saat yang sama ketimpangan sosial sudah mencapai titik mengkhawatirkan. Ginie ratio menunjukkan angka 0.42 dan naik terus selama sepuluh tahun terakhir. Inilah hasil pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.  Karena itu tak usah  heran bila rakyat galau dan marah.
          Pembangunan ekonomi yang  berorientasi pada pertumbuhan akan mudah menyeret kita kedalam arus liberalisme yang dibawa oleh globalisasi. Maka dari itu,  pembangunan sosial-budaya bangsa yang dimotori oleh revolusi mental harus berorientasi pada suatu sistem nilai yang dicita-citakan bersama oleh bangsa Indonesia selama ini yaitu Pancasila. Dengan kata lain Pembangunan kita harus berbasis pada nilai (value based development). System nilai itu harus disepakati secara nasional, dicanangkan, disosialisakan serta diinternalisasikan secara konsisten dan konsekuen, mirip dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Korea pada awal kemerdekaannya sehingga kini bisa menjadi bangsa yang unggul. Kita tidak perlu mentargetkan terlalu banyak nilai tetapi cukup misalnya inti dari  Pancasila yaitu gotong royong. Nilai itu harus dioperasionalkan dalam indikator yang jelas dan terukur  sehingga setiap tahun bisa kita pantau perkembangannya pada setiap sektor pembangunan misalnya: gotongroyong di bidang ekonomi, politik, pertanian, kehidupan beragama, hubungan antar suku dsb. Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden yang baru harus mempertanggungjawabkan hasil penilain itu secara terbuka dan memperbaiki pelaksanaannya di tahun berikutnya. Saya yakin dengan disiplin yang tinggi dan kepemimpinan yang berkomitmen, dalam waktu lima tahun bangsa kita akan mengalami perkembangan peradaban yang pesat. Itulah wujud  revolusi mental!
          Seperti ditulis oleh Jokowi, Revolusi ini perlu disiplin, pengorbanan dan partisipasi seluruh elemen masyarakat.  Kita semua tahu  bahwa sistem politik kita saat ini sedang tersandera oleh oligarki partai-partai yang membuat sistem presidensial menjadi seperti parlementer. Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan civil society di Indonesia harus mau dan mampu bergerak menjadi “pressure group” yang dapat menengahi konflik antara presiden dan parlemen, bukan semata-mata diserahkan pada mekanisme koalisi partai. Kita merindukan Presiden yang setia berdiri dibelakang kepentingan  rakyat dan setia pada  sistem nilai yang sedang diusung rakyat serta tidak perlu takut diboikot bahkan dijatuhkan oleh Parlemen. Dia harus, menjadi pahlawan Rakyat, pemimpin revolusi mental bangsa.

Jumat, 01 November 2013

Pembangunan Berbasis Nilai*

Paulus Wirutomo
Departemen Sosiologi
UI

I.                   Pendahuluan:
            Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat. 
          Jelas dari uraian diatas bahwa kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog  menganut faham  cultural determinism yang percaya bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya[1]. Di dalam perkembangan teori sosiologi Pembangunan terdapat banyak pandangan tentang faktor penyebab kemajuan ataupun keterbelakangan suatu bangsa seperti kelompok aliran teori Modernisasi (Parsons, Inkeles, Rostow, Hozellits, David Mc Clelland dsb.), yang menekankan pada faktor nilai-nilai budaya. Aliran Dependensia (Gunder Franks 1969, Cardoso dan Falleto 1976, Samin Amir, dsb.) yang menekankan pada faktor struktural seperti penjajahan serta kebijakan atau tindakan eksploitatif. Ada pula kelompok yang percaya pada kekuatan faktor geografi dan iklim (misalnya Jeffrey Sachs, 1995).      Pada th 2000 Lawrence Harrison dan Samuel Huntington dalam bukunya “Culture Matters: how values shape human progress” membangkitkan kembali argumen bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison and Huntington, 2000).[2] Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan.  Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.
          Perbandingan  yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang sama-sama berkebangsaan melayu dan  merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan kita. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).
          Apakah benar kita merupakan masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan budaya (cultural deficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Bila hal itu benar, apakah karakter  budaya tersebut bersifat melekat (inherent) pada masyarakat kita,  apakah kebudayaan itu tidak mungkin kita rubah dan  kita bangun kembali? Mungkin pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah:”Apakah kita sebagai sebuah bangsa memang  telah membangun kebudayaan kita selama ini?”.  Apakah Pembangunan di negeri  kita yang pernah dijuluki sebagai “the Asian miracle” ini telah termasuk  membangun juga kwalitas kebudayaan kita?, atau kita hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?.
          Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang mampu merubah system nilai yang hidup di masyarakat kita agar nilai budaya itu  tidak menjebak kita dalam suatu pola kehidupan yang dekaden.

II.                Analisis situasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.

          Bila kita bertanya apa hasil pembangunan di masa Orde Baru hingga sekarang, maka kita pada kita hanya akan disajikan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya: ”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?. Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah diukur, apalagi dipertanggungjawabkan oleh pimpinan negara. Beberapa gejala menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:

         Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual

         Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis  sebenarnya memiliki nilai-nilai luhur, secara nasional kita memiliki Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah di Bumi Nusantara ini juga punya nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti  materialisme, pragmatisme, egoisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness, opportunisme, primordialisme, dogmatisme dan lain sebagainya. Nilai-nilai inilah yang secara nyata mengendalikan dan mengarahkan hidup kita sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan “survival” di jaman modern saat ini. Ini semua adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan nilai actual, tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan seringkali diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit. Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu[3]. Di masa reformasi bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan dikalangan sipil semakin marak, termasuk yang berkedok organisasi keagamaan. Semua parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat “kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke sekolah menengah dsb.

         Inkonsistensi antar agen sosialisasi

         Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan  berbasis agama dan adat)  berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah). Nilai yang diajarkan disekolah juga tidak sama dengan nilai yang berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih didominasi oleh nilai-nilai KKN (semua orang tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah korupsi yang dilakukan bersama-sama secara sistemik, sering disebut sebagai “grouped corruption”). Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang semakin menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas membawa masyarakat pada system nilai yang amat pragmatis dan hedonis. Berbagai kekuatan agent of socialization ini bertemu dalam ruang publik yang “tak bertuan” (karena tidak ada pihak yang melindungi atau mengaturnya termasuk pemerintah). Akhirnya institusi yang kuat akan meng-hegemoni yang lain, maka nilai-nilai yang paling pragmatis, materialistis dan mengagungkan kenikmatan (hedonistic)-lah yang nampaknya akan menang!.

          Institusionalisasi tanpa internalisasi

          Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia  ingin melakukan perombakan nilai-nilai Orde Baru yang dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode yang relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan produk-produk hukum yang baru. Akan tetapi pelembagaan  (institusionalisasi) hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi). Misalnya UU Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai demokrasi pada masyarakat luas baik melalui kehidupan di keluarga, komunitas, sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi”, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan supremasi hukum tanpa menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan memiliki rasa bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ). Disamping hilangnya rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu terhadap sesamanya, ini disebabkan karena kekuatan “kontrol sosial” mulai memudar dikalangan masyarakat, bahkan yang terjadi anggota  masyarakat melakukan pelanggaran norma secara bersama-sama (korupsi “berjamaah”). Banyak orang mengatakan kita sudah kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem” yang bisa menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap hukuman atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat gejala bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum dapat dibeli, dan “diatur”. Bila ketiga “rasa” tadi sudah memudar, darimanakah kita akan memulai penegakan hukum kita?


III. Pembangunan Sosial-Budaya.
         Perdebatan tentang mana yang lebih penting pembangunan ekonomi dan fisik atau pembangunan sosial-budaya merupakan perdebatan klasik yang tiada hentinya. Walaupun pembangunan ekonomi dan fisik pada kenyataannya lebih dominan dan menjadi prioritas, pemerintah selalu menyatakan bahwa pembangunan sosial-budaya tidak diabaikan, tetapi pembangunan sosial-budaya seperti apa?.  Pembangunan sosial-budaya yang telah dilakukan pemerintah memiliki beberapa pengertian yaitu:
1)      Pembangunan sosial budaya adalah  “pembangunan sektor sosial-budaya”   (yaitu sektor yang outputnya bukan uang atau barang tetapi peningkatan kwalitas manusia atau kesejahteraan sosial) misalnya: sektor pendidikan, kesehatan, agama dsb. Pembangunan sektoral ini memang penting sekali, tetapi secara sosiologis terdapat pertanyaan yang lebih mendalam yaitu: apakah pembangunan sektor sosial tsb. telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya?. Misalnya apakah pembangunan sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia? (bukan hanya sekedar menghasilkan kelulusan dan sertifikat), apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat? (bukan sekedar menambah jumlah tempat tidur di RS atau jumlah dokter spesialis yang semakin canggih), apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan antar umat? (bukan sekedar menambah jumlah fasilitas ibadah). Pada kenyataannya pembangunan ”sektor sosial” masih belum mencukupi, karena belum mencakup pembangunan budaya atau nilai-nilai dalam arti yang sebenarnya. 
2)      Pembangunan sosial budaya sering diasumsikan akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari pembangunan ekonomi (misalnya akan meningkatnya etos kerja, profesionalisme, kewirausahaan dsb.) Asumsi ini sebagian benar, tetapi pemerintah perlu juga mewaspadai bahwa pembangunan ekonomi dan fisik sering juga menghasilkan dampak sosial-budaya negatif (berkembangnya nilai-nilai hedonisme, individualisme, dehumanisasi, melemahnya kemandirian bangsa dan menguatnya mental ketergantungan pada produk asing seperti yang kita rasakan saat ini). Pemerintah tidak boleh menganggap hal ini sekedar sebagai social cost yang wajar dan harus diterima, akan tetapi kita perlu melawan kondisi ini dengan “pembangunan nilai-nilai”.
3)      Pembangunan sosial-budaya sering diartikan sebagai upaya konservasi (sekedar mengawetkan budaya lama). Kegiatan ini sering hanya dilandasi oleh romantisime masa lalu. Secara politis program ini sering berfungsi sebagai aksesoris yaitu untuk memberi kesan bahwa regim yang sedang berkuasa cukup mempunyai “penghargaan” terhadap produk budaya klasik yang bernilai sejarah. Pembangunan bidang ini biasanya tidak memperoleh dana yang besar kecuali jika konservasi tersebut dipandang menguntungkan sebagai investasi kepariwisataan.
4)      Pembangunan budaya sering juga diartikan sebagai pembangunan nilai yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi, jadi tujuan pembangunan yang utama adalah ekonomi. Nilai-nilai yang dikembangkan hanya untuk menopang pembangunan ekonomi. (mis. Sikap tertib, patuh, disiplin,  partisipatif dsb.).
5)      Disamping nilai-nilai yang biasanya lebih diorientasikan pada Pembangunan ekonomi diatas, Pembangunan nilai seyogyanya diarahkan pada tujuan utama dari pembangunan kwalitas manusia dan interaksi manusia misalnya pengembangan nilai-nilai keadilan (fairness), kerukunan (inclusiveness, brotherhood, communitarian), kepedulian (social responsibility, care), kemandirian (self reliance, independence bukan egoistic individualism), kejujuran (trustability, honesty, sincerety), sinergi  (maju bersama dengan prinsip win-win solution dan synthetic energy bukan sekedar kompromi, koalisi atau kolusi).  Pembangunan budaya (nilai-nilai) jenis inilah yang terutama akan ditekankan pada ”Pembangunan Sosial-Budaya”, karena tujuannya adalah meningkatkan kwalitas interaksi, sikap dan perilaku manusia yang dapat mengarah pada suatu bentuk masyarakat adab.[4]
          Jadi, pembangunan budaya mungkin sudah dilakukan oleh semua negara atau bangsa, tetapi kita perlu melihat lebih jauh pembangunan budaya yang seperti apa? Dari 5 jenis pembangunan kebudayaan yang ada, sebaiknya kita tidak memilih salahsatu daripadanya, tetapi semuanya dan semangatnya harus bermuara pada yang terakhir (nomer 5).
          Pembangunan budaya sendiri masih mengalami berbagai hambatan karena terdapat berbagai persepsi atau anggapan yang berbeda, misalnya sering  orang menganggap   alam merupakan faktor penentu dari terbentuknya budaya (misalnya daerah tropik menciptakan budaya santai dsb.). Kini banyak bangsa atau negara di daerah tropik yang punya budaya dinamis seperti negara non tropis. Kekuatan yang dapat merubah budaya adalah sense of direction dari masyarakat bersangkutan (seperti Singapore sebagai suatu negara kecil yang hanya bisa mengandalkan manusia dan budaya). Menurut faham cultural relativism tidak ada budaya yang buruk atau baik. Budaya Amerika baik untuk masyarakat Amerika bukan untuk masyarakat Indonesia, itu mungkin benar, tetapi faham ini tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari usaha memperbaiki degradasi system nilai yang terjadi di masyarakat kita[5]. Unsur-unsur kebudayaan kita yang buruk perlu kita rubah dan kita buang dan unsur budaya lain yang baik bisa kita pelajari dan adopsi, namun isue mengenai perencanan pembangunan budaya sering mengundang kontroversi mengenai  konsep cultural engineering. Sebagian orang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mengalir secara alamiah seperti sungai mencari jalannya sendiri. Tidak seorangpun termasuk pemerintah, berhak merekayasa kebudayaan kearah tertentu. Menciptakan suatu “blue print” budaya bagi seluruh masyarakat adalah tidak etis dan tidak sesuai dengan HAM. Memang benar kebudayaan merupakan hasil negosiasi sehari-hari dari berbagai kekuatan sosial dan factor-faktor  lingkungan lain yang mempengaruhi kehidupan manusia (”social order is a negotiated order”), tetapi dalam kenyataan, ternyata kekuatan dari berbagai actor itu berbeda-beda, sehingga hampir semua kebudayaan di dunia saat ini jatuh dalam suatu  scenario yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (para hegemon). Pada jaman modern ini kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtivisme yang amat kuat dan  merajalela (overwhelming). Pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan yang telah menghasilkan tiga krisis besar didunia yakni: “kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan” adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu.  Jadi sebenarnya ”cultural engineering” sudah dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini.   Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan itu, ataukah akan melawan secara budaya? Tidakkah mungkin masyarakat umum (civil society) bersama pemerintah merancang suatu scenario ”perlawanan budaya” tandingan yang mampu mengembalikan manusia dari  gejala “dehumanisasi” ini ? [6]

           Pembangunan National Character?

           Konsep National Character bukan lagi untuk sekedar menyeragamkan semua daerah atau mengembangkan chauvinisme (fanatisme budaya nasional), tetapi yang lebih penting  adalah membangun system nilai instrumental (yang bersifat universal) yang dapat membangun kapasitas bangsa ini untuk maju dan bertahan hidup secara bermartabat dalam persaingan dunia yang semakin keras. Perlu ada tekad nasional untuk mengembangkan secara konsisten nilai-nilai strategis tertentu yang bukan saja dapat membangkitkan perekonomian yang memakmurkan rakyat, tetapi juga membangun peradaban yang mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.  Semua daerah di Nusantara ini harus tetap memiliki ruang untuk bisa mempertahan karakternya masing-masing, namun sebagai bangsa yang tergabung dalam suatu negara kesatuan kita perlu punya kesepakatan sistem nilai instrumental yang akan dikembangkan bersama. Dalam hal ini peran Negara penting untuk membangun kebijakan dan regulasi yang mampu menjadi kekuatan ”incentive dan disincentive” (structural constraints)  sehingga semua institusi sosial dalam tataran Nasional dapat mengarahkan pola perilaku masyarakat menuju suatu arah  strategis tertentu.

IV.             Pembangunan Berbasis Nilai.
             Rejim Orba pernah melakukan  usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering karena nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara rapih dari atas, metodenyapun telah dirancang secara baku. Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan. Tingkat paksaan (koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental, sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak baik (berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis terhadap rejim, sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses pelembagaan (institusionalisasi) P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai Pancasila yang masih amat berguna bagi bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai.  
          Bangsa Korea dibawah Park Chung Hee pernah melakukan suatu gerakan pengembangan nilai-nilai untuk membangkitkan kembali bangsa Korea dari keterpurukan mental dari penjajahan Jepang. Gerakan Semaul Undong itu difokuskan pada pengembangan tiga nilai yang dianggap paling strategis bagi bangsa Korea pada saat itu yaitu: diligence (kerajinan atau kerja keras), self reliance (kemandirian) dan cooperation (kerjasama atau gotong royong). Ini semua bukan nilai  dasar (ultimate atau basic values), tetapi nilai instrumental yang sifatnya strategis untuk dikembanghkan pada masa itu. Gerakan Semaul Undong adalah gerakan yang didukung sepenuhnya oleh pimpinan nasional  dilakukan secara sistematis dan konsisten. Keberhasilan semua program pembangunan (termasuk ekonomi dan fisik) dikaitkan dengan pengembangan ketiga nilai tersebut. Karena komitmen yang tinggi dari semua komponen bangsa, maka gerakan itu bisa dibilang berhasil dan merupakan salah satu faktor yang membentuk bangsa Korea menjadi seperti sekarang ini
          Melihat keberhasilan Korea dalam membangun nilai-nilai, maka kita harus merasa optimis untuk dapat melakukan hal serupa. Kita semua menyadari bahwa  dalam proses melakukan pembangunan nasional, kondisi budaya kita justru terus mengalami kemerosotan. Kita perlu melakukan suatu pengembangan orientasi budaya yang baru dan ini tidak cukup hanya dengan merumuskan suatu strategi kebudayaan, kita harus lebih jauh lagi melakukan suatu perencanaan pembangunan sosial budaya yang lebih konkrit dan eksplisit.
          Pembangunan Berbasis Nilai adalah suatu pembangunan seluruh aspek kehidupan bangsa (ekonomi, politik fisik, sosial dan budaya) yang dilandasi oleh  nilai tertentu. Keberhasilan pembangunan ini bukan hanya dilihat dari pencapaian kwantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan demikian pembangunan ini tidak hanya bersifat “growth oriented”, tetapi berbasis nilai atau “value based”[7]. Pembangunan nilai-nilai itu tidak boleh hanya ditugaskan pada Departemen Pendidikan saja, karena pembangunan budaya ini bukan merupakan pembangunan sektoral, tetapi harus  bersifat  sosietal (mencakup seluruh bidang kehidupan).

Lagkah-langkah Pembangunan Berbasis Nilai :
1)      Para budayawan bersama ilmuwan dan tokoh masyarakat bersepakat untuk merumuskan kondisi budaya bangsa saat ini, apa kekuatan yang kita miliki dan apa kelemahan yang ada. Dalam hal ini Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI dapat mengambil inisiatif untuk melakukan penelitian ilmiah mengenai hal ini, sehingga dapat memudahkan para tokoh masyarakat merumuskan suatu kesepakatan nasional.
2)      Pimpinan Nasional  (presiden dan parlemen) harus menindaklanjuti dengan  menggalang suatu konsensus nasional untuk mengembangkan nilai-nilai strategis tertentu yang paling diperlukan oleh bangsa ini untuk dapat menjawab tantangan jaman pada masa kini.
3)      Nilai-nilai yang akan dikembangkan adalah nilai instrumental yang strategis (strategic instrumental values) yang tentu saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ( ultimate values) yakni Pancasila, bahkan bila instrumental values ini bisa dikembangkan, maka akan menunjang tercapainya nilai-nilai dasar tersebut.
4)      Perumusan nilai-nilai strategis perlu dilakukan dengan proses bottom-up yakni mendengar aspirasi dan masalah-masalah konkrit di masyarakat (dan berdasar kajian ilmiah yang seyogyanya dilakukan oleh FISIP-UI). Nilai-nilai itu kemudian perlu dirumuskan oleh kelompok pakar, budayawan, pemimpin agama dan adat dsb.
5)      Nilai yang akan dikembangkan dalam suatu kurun waktu tertentu sebaiknya tidak terlalu banyak tetapi terfokus pada beberapa (2 atau 3) nilai strategis yang benar-benar perlu dikembangkan dalam masyarakat kita saat ini untuk mengejar ketertinggalan bangsa kita dari masyarakat lainnya.[8]  
6)      Nilai-nilai tersebut harus dirumuskan secara singkat, popular, mudah diingat oleh semua orang dan memang benar-benar mengena dihati sanubari masyarakat kita. Misalnya nilai anti korupsi (kejujuran), nilai kerukunan dan nilai kemandirian.
7)      Nilai-nilai itu perlu didefinisikan secara operasional kedalam butir-butir yang dapat dicapai dan diukur oleh masyarakat (indikator).
8)      Setiap akhir tahun perkembangan nilai-nilai tsb. harus dievaluasi oleh lembaga professional yang indipenden (non pemerintah) pada masing-masing sektor pembangunan (pendidikan, kesehatan, industri, perdagangan, politik, hukum dsb.). Contoh: nilai kerukunan harus dikembangkan dibidang pendidikan, tetapi bidang-bidang lain seperti politik, hukum, bahkan perdagangan atau industri juga harus menunjang nilai kerukunan (dalam mengatasi masalah perburuhan). Kemandirian harus dikembangkan disekolah, tetapi sector lain seperti Perbankan juga harus mengembangkan kemandirian dengan menyediakan kredit bagi pengusaha kecil agar mereka  menjadi mandiri (tidak tergantung dari lapangan kerja yang diberikan oleh investor asing). Cara memperoleh pelayanan kesehatan juga harus menghasilkan sikap masyarakat yang mandiri. Perdagangan dan industri juga harus mengembangkan sikap kemandirian dengan lebih mengandalkan produk dalam negeri. Bahkan secara nasional pemerintah harus berani mengurangi hutang luar negeri sebagai perwujudan dari sikap mandiri. 
9)      Hasil evaluasi dari program yang telah dilakukan oleh setiap Departemen harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan oleh setiap menteri dan akhirnya secara nasional dipertanggungjawabkan oleh presiden pada rakyatnya.
10)  Sebagai konsekwensi dari otonomi, setiap daerah bisa mengembangkan nilai khas yang dianggap penting bagi daerah yang bersangkutan, tetapi sebaiknya nilai tingkat nasional tetap menjadi acuan setiap daerah agar terdapat konsistensi nilai secara nasional.
11)  Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan pada setiap warga negara bukan hanya dengan bentuk ceramah atau penataran, tetapi dengan tindakan seperti:
Ø  keteladanan pemimpin mulai nasional sampai daerah, guru-guru disekolah
Ø  pertunjukkan drama, film, wayang, sinetron dsb.
Ø  Iklan layanan masyarakat
Ø  Kegiatan-kegiatan nyata seperti olahraga, kesenian, pertandingan.
Ø  Pemberian penghargaan (menciptakan role model)
Ø  Program-program pembangunan seperti kredit bagi usaha kecil, bantuan dana dampingan untuk komunitas di kota maupun diperdesaan.
Ø  Program insentif atau disinsentif bagi dunia swasta.
Ø  Kontrol sosial dengan hukum formal sampai hukuman sosial (mempermalukan dsb.).
Ø  Kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kemandirian (mis. mengurangi hutang luar negeri).
Ø  Dan sebagainya (tergantung dari kreativitas kita).
Saat ini banyak bangsa-bangsa di dunai yang ingin mengembangkan kebudayaan nasional mereka yang bisa menunjang keberhasilan pembangunan Nasional. Simposium ”Cultural Values and Human Progress” yang diselenggarakan oleh Harvard Academy for International and Area Studies pada tahun 1998 telah menyepakati suatu agenda riset untuk mendukung usaha ini, yang berisi:
  1. Penyusunan  tipologi nilai dan sikap yang mendorong maupun menghambat pembangunan.
  2. Meneliti hubungan antara kebudayaan dengan keberhasilan  pembangunan
  3. Meneliti dampak/hubungan antara suatu kebijakan dengan pranata sosial sarta nilai/sikap masyarakat.
  4.  Penelitian mengenai proses ”value transmission” (penanaman nilai-nilai) pada generasi muda melalui berbagai pranatan pendidikan dan sosialisasi.
  5. Mengembangkan metodologi pengukuran perubahan nilai/sikap
  6. Melakukan monitoring dan penilaian terhadap usaha-usaha perubahan nilai-nilai  yang sedang berjalan. (Harrison, 2000. hal xxxii).
Sebagai suatu lembaga ilmiah dibidang Ilmu-Ilmu Sosial seyogyanya FISIP-UI ikut ambil bagian dalam studi-stidi semacam itu. Lngkah ini dapat dimulai dengan mengambil Kota Depok sebagai suatu Laboratorium Sosial[9]

V.                Kesimpulan


1.      Masyarakat Indonesia kini telah tertinggal oleh masyarakat lain di dunia (bahkan juga oleh negara tetangga). Budaya kita telah terkalahkan, oleh karena itu kita harus melakukan suatu pembangunan yang mampu membangkitkan budaya kita.
2.      Krisis budaya kita telah cukup mendalam, hal ini nampak dari beberapa gejala yang patut kita kaji lebih mendalam dan dengan jujur bisa kita cari jalan keluarnya.
3.      Pembangunan Sosial-Budaya selalu berada dibawah bayang-bayang pembangunan Ekonomi, sehingga sering tertinggalkan atau tidak dianggap penting. Pemerintah merasa telah membangun aspek sosial-budaya, tetapi pengertian tersebut masih belum tepat. Kita membutuhkan Rencana Pembangunan Sosial-Budaya yang bersifat sosietal (menjiwai seluruh aspek atau sector pembangunan lainnya).
4.      Pembangunan Berbasis Nilai merupakan suatu konsep yang belum dimaknai secara benar, masih perlu disosialisasikan dan diperdebatkan secara nasional. Konsep ini harus disepakati dan didukung oleh political will pemerintah. Metodologi dan berbagai tehnik lain masih perlu dikembangkan lebih jauh agar PBN ini benar-benar efektif.
5.      Prinsip Pembangunan Berbasis Nilai pada dasarnya adalah: setiap pembangunan harus memiliki dasar nilai yang dicita-citakan. Nilai itu dapat dibentuk dan dikembangkan melalui kekuatan-kekuatan structural yang konsisten (kebijakan, Undang-undang, system insentif-disinsentif dan sebagainya). Perkembangan nilai tersebut harus bisa diukur. Bila tidak ada perkembangan dari nilai-nilai tersebut di masyarakat, maka pembangunan itu dianggap telah gagal dan harus dikoreksi dimasa depan.
                                                                       **********

Daftar Pustaka.
Bernstein, H. (ed)”Underdevelopment and Development: The Third World Today”.  Hamondsworth: Penguin Bookst Ltd. 1973

Franks A.G. “Capitalism and Underdevelopment in Latin America”, New York and London. Monthly Review Press, 1969.

Landes, David. “The Wealth and Poverty of Nations”, New York: Norton, 1998.

Harrison, Lawrence E. and Samuel P. Huntington (ed.) “Cuture Matters: how values shape Human progress.. Basic Books, New York 20

Cardoso, F.H. and Enzo Falleto “Dependency and Development in Latin America” . Berkeley : Univerity of Califormia Press 1979.

Sachs, Jefrey and Andrew Warner, “Natural Resource Abundance and Economic Growth”  National Bureau of Economic Research, Cambridge ,Mass 1995
Inkeles, Alex. And David Smith “Becoming modern.” Boston Little Brown. 1974.

Macionis, Joh. J. “Sociology”, Pearson International Edition. New Jersey, 2007.

******


* Dipresentasikan dalam rangka pidato ilmiah pada acara “Dies Natalis FISIP-UI th 2010). Makalah ini dikembangkan dari tulisan dengan judul sama yang pernah diterbitkan dalam buku :”UI untuk bangsa” (2009). Dalam tulisan ini terdapat banyak catatan tambahan.



[1] Dinosaurus menguasai planet ini selama 160 juta tahun, kemudian musnah. Manusia baru menguasai planet ini 250.000 th. Manusia sebagai mahluk yang jauh lebih cerdas dan memiliki kebudayaan yang jauh lebih canggih akankah bertahan lebih lama?, atau justru lebih cepat? Semua ini tergantung dari pilihan dari satu spesias diantara 30 juta spesiel lain yang menghuni planet ini, yaitu: manusia (Macionis, 2007. hal 606)  Kebudayaan manusia adalah hasil pilihan, tetapi pilihan manusia ditentukan oleh Kebudayaan!!
[2] Setelah banyak bangsa “Dunia Ketiga” berubah menjadi bangsa  ”Dunia Pertama” (Korea, Singapore, Taiwan dsb.) dan  matinya komunisme di Eropa Timur, serta berubahnya komunis Cina menjadi Kapitalis, (lihat David Landes 1998 dan Harrison 2000), maka teori kolonialisme dan dependensia telah banyak kehilangan relevansinya. Dalam kondisi seperti ini ditambah lagi bahwa Teori rasisme dan teori geografis juga tidak dapat memberikan penjelaskan yang memuaskan mengapa ada bangsa-bangsa yang tertinggal dalam pembangunan, maka penjelasan  Budaya yang dulu pernah pudar seiring “bangkrutnya” teori Modernisasi kini muncul lagi ke permukaan. Tetapi pendekatan ini nampaknya tidak akan mengulang lagi kesalahan  teori modernisasi (lama) yang telah banyak dikritik karena sangat bias pada mayarakat Barat  (etnosentris).
[3] Carlos Alberto Montainer menggambarkan bahwa di Argentina terdapat nilai-nilai yang bersifat ”development resistance”, tetapi nilai-nilai ini justru sering dimanfaatkan  oleh kaum elit politik dan perilaku elit ini justru yang  menyebar mempengaruhi masyarakat luas.Keadaan  ini juga yang kita alami pada masa Soeharto.
[4] Pembangunan Sosial-Budaya bahkan lebih mendasar dari sekedar pengentasan kemiskinan. Walaupun kemiskinan menyangkut  degradasi kwalitas manusia secara luas, akan tetapi sebenarnya pembangunan yang berjalan selama ini telah menghasilkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari kemiskinan yaitu “kerusakan sendi-sendi kehidupan sosial-budaya manusia” seperti peperangan, kekerasan, terorisme, penindasan, perdagangan manusia, pendeknya hal-hal yang  menyangkut degradasi moral dan etika bermasyarakat. Ini semua merupakan isu pokok “pembangunan sosial”, jadi jauh lebih luas dan lebih dalam dari sekedar kemiskinan
[5] Robert Edgerton (dalam Harrison 2000) - seorang antropolog - percaya bahwa suatu budaya lokal tidak selalu baik atau menguntungkan masyarakat setempat (seperti sering dikatakan oleh aliran cultural relativism), sehingga mengikuti logika ini suatu budaya lokal dapat saja dirubah.
[6] Perlawanan-perlawan budaya sebetulnya sekarang sudah banyak terjadi secara  kecil-kecilan di masyarakat  yakni untuk melawan dominasi produk-produk industri besar yang tidak sehat dan merusak lingkungan melalui suatu perubahan gaya hidup seperti menolak penggunaan kantong plastik, kampanye ”makanan sehat” dsb.
[7]           Dengan Pembangunan yang berorientasi Pertumbuhan, secara peradaban, manusia di dunia saat ini sebetulnya hampir tidak mengalami kemajuan terutama dalam insting dasarnya (kerakusan, agresivitas, kekerasan), juga dalam martabatnya karena mengalami pengangguran, kemiskinan, penganiayaan, penghisapan, peperangan dsb.
[8] Di Peru, lembaga yang bernama   “Institute of Human Development” telah mengembangkan program penanaman nilai-nilai bagi masyarakat Per yang diberi nama ”Ten Commandment of Development” yang isinya: keteraturan, kebersihan, ketepatan waktu, tanggungjawab, prestasi, kejujuran, hormat pada hak orang lain, mematuhi hukum, etika kerja dan hemat.(Harrison, 2000 hal 303). 
[9] Pada saat ini Laboratorium Sosiologi FISIP-UI sedang melakukan suatu kerjasama dengan Pemkot Depok untuk menyusun Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya (RUPSB). Melalui kerjasam ini Departemen Sosiologi difasilitasi untuk melakukan pengumpulan data  serta berbagai kegiatan pengkajian sosial di berbagai bidang. Hasil akhir dari program ini adalah suatu dokumen Perencanaan Sosial-Budaya Kota Depok beserta indikator pencapaiannya. Bila pola kerjasama ini diikuti oleh seluruh komponen FISIP-UI niscaya Pembagunan Berbasis Nilai akan lebih cepat terealisasikan dan kita akan dapat memberikan kontribusi ilmiah di tingkat dunia. 

MEMBANGUN MASYARAKAT “ADAB” ; Suatu Sumbangan Sosiologi

Oleh: Prof. Dr. Paulus Wirutomo, MSc

            I.  Reformasi dan Peran Sosiologi
Sosiologi memang sering dianggap sebagai ilmu murni yang seharusnya hanya melakukan analisis bukan  mengobati. Tetapi sebetulnya kelahiran sosiologi sedndiri didorong oleh kebutuhan yang mendesak untuk memecahkan masalah sosial di jaman modern ini,
Mencoba membaca situasi reformasi ini, saya menemukan beberapa
Semua arah moral bangsa praktis dikuasai oleh kelompok kecil yang cenderung bersifat  partisan dan primordial, namun kita juga masih melihat adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mendukung nilai-nilai yang sebaliknya yaitu  bersifat altruitik, nasionalis, inklusif , universalistic dsb. Aspirasi ini sebenarnya banyak didukung oleh masyarakat luas (silent majority), tetapi gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai ini masih lemah, dan sporadik. Mereka belum tergabung dalam jaringan yang solid dan mampu melakukan gebrakan besar yang berskala nasional, sehingga cenderung tenggelam oleh gerakan yang punya dana.
Di Indonesia sendiri presiden Soeharto pernah mengecam sosiologi dan ilmu sosial lainnya sebagai “tukang kritik dan tukang mencari masalah”, mungkin beliau kurang mengetahui betapa banyaknya hasil penelitan, teori, pemikiran dan model-model pengembangan masyarakat dan komunitas, pengelolaan konflik didaerah, pemecahan masalah pertanahan dsb. yang pernah dihasilkan oleh para sosiolog, karena amat sedikit yang diangkat menjadi kebijakan daerah apalagi nasional.


         II.      Apakah Masyarakat “Adab” Itu?
 Tak perlu disangkal lagi bahwa millenium kedua yang lalu  telah ditandai oleh perkembangan yang dahsyat dari peradaban manusia. Revolusi Industri, urbanisasi, perkembangan teknologi dan  kesenian, lahirnya berbagai ideologi modern, globalisasi dsb. Namun pada penutupan millennium yang lalu PBB menyatakan bahwa:“millenium II adalah millennium yang paling kejam”.Kekejaman ini bukan hanya dilihat dari jumlah korban manusia dalam peperangan dan konflik antar negara, bangsa dan golongan, tetapi juga  dari hasil pembangunan yang ternyata hanya memperkaya sekelompok kecil masyarakat dan menjerumuskan lebih dari 1 milyar orang dalam sekarat kemiskinan (ruthless development dalam bahasa UNDP). Kekejaman itu bukan hanya terhadap manusia tetapi juga pada binatang dan lingkungan alam..
Munculnya organisasi warga negara yang sukarela dan mandiri (seperti LSM, organisasi massa, organisai politik) serta  pers yang bebas dsb. sebagai ciri dari civil society ternyata belum cukup untuk menjamin terciptanya kondisi masyarakat yang diimpikan. Sampai akhir abad 20 peradaban manusia di dunia masih diwarnai berbagai kekejaman terhadap manusia dan lingkungannya. Kunci dari kesejahteraan manusia bukan hanya terletak pada terciptanya hubungan yang seimbang antara negara dan masyarakat  (civil society) saja, tetapi yang lebih mendasar lagi  suatu  moralitas baru perlu dihembuskan kedalam system modern tersebut.
Suatu tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakkan oleh  revolusi Perancis: “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan), tetapi sampai saat ini nampaknya hanya “kebebasan” yang bisa diperoleh, sedangkan “persamaan”  masih jauh tertinggal. Ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan di dunia modern ini.
Hal itu pula yang terjadi dalam reformasi kita. Semua golongan mabuk kebebasan sementara “semangat persaudaraan” sebagai bangsa justru makin terpuruk dan akibatnya “persamaan” dan keadilan dalam bentuk apapun takkan mungkin tercapai. Mengingat hal ini saya berpendapat bahwa inti dari kwalitas “civil society” yang masih harus kita bangun dalam masyarakat kita  adalah moral “persaudaraan”, artinya perimbangan antara kesadaran akan hak individu dengan kewajibannya pada orang lain. Oleh karena itu saya sependapat dengan pemikiran yang mengatakan bahwa konsep civil society bersifat dinamis, artinya  merupakan suatu gerakan sosial dimana warganegara secara terus menerus perlu  menyelaraskan antara hak dan kewajiban didalam praktek hidup sehari-hari. (Lihat Z.A. Pelczynski, The State and Civil Society, l984).


  • Kita harus mampu menciptakan suatu moralitas baru yang tidak mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap anti puritanisme).
  • Kita harus mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa harus  jatuh pada suatu “negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan untuk pemerintah.
  • Kita harus menyelamatkan  kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif (misalnya memaksakan peran domestik kepada perempuan)
  • Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa  mengindoktrinasi anak muda.
  • Kita harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain
  • Kita harus meningkatkan tanggungjawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak - hak yang kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yang perlu ditanggung.
  • Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus menjadi tumbal bagi kelompok. Oleh karena itu kerakusan individu yang tanpa batas harus diganti dengan  “kepentingan pribadi” yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.
  • Kewibawaan  pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga menyampaikan pendapat dan kepentingannya.  


     III.      Membangun Masyarakat “Adab” di Jakarta

Dalam pidato singkat ini mula-mula saya  mencoba menangkap gejala sosial-budaya yang  mendasar (societal atau sociological problems) yang menjadi sumber segala masalah sosial (social problems) serta berbagai masalah lain (politik, ekonomi dsb.) di masyarakat kita dan menggambarkan sejauh mana sosiolog bisa berperan dalam hirukpikuk di awal era reformasi ini. Kemudian saya melihat khasanah pemikiran, konsep-konsep dan model masyarakat ideal dimasa depan yang sedang menjadi wacana dalam ilmu sosiologi saat ini. Masyarakat Adab adalah suatu konsep yang sementara ini saya anggap ideal untuk menjadi format masyarakat kita dimasa depan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menguraikan apa yang pernah saya pikirkan dan kerjakan sebagai seorang sosiolog dalam usaha  membangun masyarakat Jakarta menuju masyarakat adab.
Situasi negara dan bangsa kita pada masa ini jelas sangat memprihatinkan kita semua, bahkan saya pernah terpikir bahwa kebudayaan bangsa kita ini adalah “kebudayaan yang terkalahkan!”, karena sampai usia 55 tahun merdeka, kita masih harus jatuh lagi kedalam krisis yang paling elementer yaitu menyangkut kelangsungan hidup atau krisis eksistensi, sementara itu bangsa bangsa lain disekitar kita telah bergumul dengan masalah-masalah lain yang lebih maju.  Di dunia Internasional kebudayaan kita sekarang selalu berada dalam peringkat terendah. Saya menyadari bahwa pernyataan saya itu mungkin lebih bersifat emosional daripada rasional. Tetapi maksud pernyataan keras itu adalah untuk menggugah kesadaran bahwa  ada sesuatu yang salah dalam “proses perkembangan budaya” kita.  
       Di penghujung era reformasi ini banyak pakar yang mengemukakan berbagai pemikiran, banyak wacana dikembangkan. Ditengah hiruk pikuk ini peran sosiolog sering dipertanyakan. Mengapa kondisi kehidupan sosial budaya kita bisa berubah sedemikian drastis dan fantastis, bangsa yang dikenal sabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai ber-basa basi ini sekonyong-konyong  menjadi pemarah, suka mencaci, membakar manusia hidup-hidup dikeramaian kota, perang antar kampung dan suku  dengan tingkat kekejaman yang amat biadab, bahkan  yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih dibangku sekolahpun sudah  bisa saling bunuh dijalanan atau membajak dan merampok bis kota.
Situasi yang bergolak serupa ini memang dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memang memiliki kaitan dengan struktur sosial dan system budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Akan tetapi ternyata banyak juga kejadian yang secara sosiologis semu karena terlalu banyak rekayasa yang dibuat oleh berbagai kepentingan politik. Misalnya dapatkah semua demonstrasi yang ada dijadikan indikator peningkatan  demokrasi? apakah semua kerusuhan merupakan ekspresi budaya yang murni dari  masyarakat lokal yang masih bersahaja? Sejauh mana faktor provokator dan konspirasi bermain dibalik itu? Bila intelijen tidak berhasil menembus misteri itu, apalagi seorang sosiolog. Untuk pemecahan masalah jangka pendek, dalam situasi yang telah amat eksplosif ini peran sosiolog memang tidak terlalu berarti,  peran aparat keamananlah yang justru amat menentukan.
gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini:


1.     Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki

Inti dari Reformasi kita adalah demokrasi tetapi ternyata tidak mudah memilih format demokrasi yang sesuai dengan kebutuhan kita saat ini dan sekaligus sesuai dengan sikap mental budaya kita. Berbagai undang - undang politik baru yang lebih demokratis telah dibuat, tetapi  ternyata tidak mampu mengatur dan menjinakan pola perilaku politik bangsa ini yang ternyata masih cenderung anarkis bukan saja di tingkat bawah tetapi juga ditingkat elit.
Yang memprihatinkan adalah suatu kenyataan bahwa setelah kita berhasil menumbangkan “otokrasi” gaya Soeharto ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dsb.). Misalnya:
·    Sebagian besar uang di negeri ini berada ditangan sekelompok kecil orang yang justru sedang terpojok secara politis. Kelompok ini bisa membeli “kebenaran” melalui lembaga hukum, demo, informasi di mass media, bahkan kursi di parlemen.
·   Kekuasaan politik formal dikuasai oleh  sekelompok orang  partai yang melalui Pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di Parlemen. Melalui Parlemen kelompok ini berhak mengatas namakan suara rakyat  untuk agenda politik mereka sendiri yang seringkali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat.
·     Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama terdapat pada beberapa orang  yang mampu menggerakan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu mau mati untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas.
·    Kekuasaan hukum formal dikuasai oleh para praktisi dan penegak hukum yang dengan ketrampilannya atau wewenangnya bisa mengatur siapa salah, siapa benar.
·   Sekelompok kecil elit daerah memiliki wewenang formal maupun informal untuk mengatasnamakan aspirasi daerah
     demi kepentingan mereka sendiri. Kelompok inilah yang sering 
     menyuarakan isu “separatisme”, federalisme, otonomi luas
     bahkan isu putra daerah.
·   Kelompok aktivis vokal (vocal minority) yang  sering melakukan aksi-aksi demo dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak dengan cara-cara yang seringkali justru memuakkan rakyat kebanyakan (kekerasan, sweeping dsb.)
Apapun sumber-sumber yang mampu memobilisasi rakyat digunakan oleh kelompok-kelompok kecil ini demi memaksakan kehendak mereka di era reformasi ini. Yang paling memprihatinkan adalah tindakan mengklaim  symbol keagamaan untuk legitimasi politik, karena agama adalah satu-satunya ideologi yang bisa “mengabsolutkan kebenaran”. Secara sosiologis gejala ini amat berbahaya karena dapat mengakibatkan devaluasi, desakralisasi bahkan sinisme terhadap agama. Semua ini terjadi baik disadari maupun tidak oleh para elit masyarakat yang memang sedang mengidap “myopia politik” yaitu hanya berorientasi pada pemilu 2004 bukan  tujuan bangsa jangka panjang.  


2.     Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity).

Ketika rejim Orba berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas  antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi “self destroying nation”.
          Yang terjadi di Indonesia bukan hanya “manifest conflict” tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict” antara berbagai golongan. Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam.  Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata sosialisasi di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dsb.).
Saya yakin bahwa kebencian budaya ini sangat berhubungan dengan pluralitas negara-bangsa Indonesia tetapi ini bukan factor penentu, karena banyak masyarakat plural yang lain bisa membangun  platform budaya yang mampu menghasilkan kerukuran antar etnis pada derajat yang cukup mantap. Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep  pembangunan sosial budayanya telah berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture) mengenai kerukunan antar kelompok rasial dan agama. Seorang antropolog Malaysia mengatakan bahwa konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini. Sedangkan di Indonesia setiap perbedaan pandangan politik selalu ditarik lagi kepada factor perbedaan budaya yang paling mendasar (terutama agama). Inilah yang membuat persoalan politik tidak pernah mudah diselesaikan.     
Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif  (integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Hal ini telah saya bahas dalam pidato saya pada Dies Natalis UI yang baru lalu (lihat Wirutomo, 2001).
Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural policy” dan “socio-cultural” planning - yang berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain - amat kita perlukan.


3.     Proses Institusionalisasi Tanpa Internalisasi.

Reformasi kita amat gencar menghasilkan perubahan dan perombakan, tetapi semua masih dalam tataran “legal formal” (misalnya di era pemerintahan Habibie yang singkat kita menghasilkan banyak sekali undang-undang baru), tetapi bangsa ini sama sekali belum sempat menanamkan nilai-nilai yang mendasari peraturan baru tersebut sehingga yang terjadi adalah “melawan norma lama dengan norma lama pula” (menyapu lantai kotor dengan sapu kotor). Beberapa contoh:
· Mengganti otokrasi dengan oligarki (intinya tetap: yakni kekuasaan tidak didistribusikan secara adil pada rakyat).
·   Membasmi pelaku KKN lama dan menggantikannya dengan pelaku baru.
·  Otonomi mengurangi kekuasaan pusat tetapi memindahkan pada “pusat-pusat kekasaan” baru didaerah.
·  Mencaci budaya kekerasan militer tetapi membentuk system kekerasan sipil model baru (laskar-laskar sipil).
Sekali lagi, negara kita tidak memiliki rencana dan agenda yang jelas untuk mensosialisasikan nilai-nilai baru tersebut.


4.     Merebaknya Budaya Penganggur

Bekerja adalah kegiatan yang paling asasi baik bagi pembentukan martabat pribadi manusia maupun terbentuknya tatanan sosial yang sehat. Karena itu masalah kesempatan bekerja yang layak  bagi setiap angota masyarakat merupakan hal yang paling mendasar dari bangunan sosial suatu masyatakat dan harus benar-benar dilindungi oleh negara. Pengangguran adalah sumber masalah sosial yang mendasar, tetapi   krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini  telah  menciptakan gumpalan massa penganggur yang jumlahnya luar biasa. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehinga cenderung  mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial dan paling tidak peduli dan berkepentingan terhadap keteraturan dan tata tertib sosial.  Gumpalan massa penganggur ini  banyak dimanfaatkan  oleh pelaku politik formal maupun informal sebagai alat penekan politik dan pembenaran bagi aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi sekarang menjadi indicator demokrasi yang kurang valid dan menyulitkan analisis sosiologis.  
Empat gejala mendasar diatas menurut saya merupakan variable penting yang mempengaruhi maju mundurnya proses reformasi kita. Sosiolog harus mengambil peran signifikan dalam usaha mengatasi persoalan bangsa itu dan  ini adalah suatu tantangan yang berat.
Tantangan terhadap sosiologi bukan hanya di tanah air, tetapi di seluruh dunia, karena dunia sedang mengalami perubahan sosial yang takpernah terjadi sebelumnya. Globalisasi adalah suatu fenomena yang  bersifat eksistensial.
Banyak pemikir kritis yang melihat bahwa dalam era globalisasi, dimana tatanan kehidupan sosial berubah dengan amat pesat (run away  world menurut Giddens) telah menyapu segala-galanya sehingga Sindhunata (2000) misalnya, menulis:
”Memang ditengah dunia yang diwarnai banyak krisis ini, sosiologi rasanya tidak mempunyai sesuatu yang dapat diandalkan lagi. Kategori sosiologi seperti “masyarakat”, “negara”, “kerja”, “modal”, “keluarga” tidak mempunyai lagi daya kejelasan untuk menerangkan problem dan perkembangan baru akibat globalisasi.”
Sindhunata nampaknya terlalu percaya pada kedahsyatan globalisasi sehingga dalam sekejap gejala ini akan mampu menyapu bersih sifat naluriah  manusia seperti tradisi, nilai, system kepercayaan, kebutuhan akan ikatan kelompok, kehangatan keluarga dsb.
Dalam kenyataannya globalisasi tidak mencuci habis-habisan kebudayaan manusia. Masyarakat dimana-mana  ternyata banyak melakukan tawar menawar budaya terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi. Ekspansi kapitalisme duania yang cenderung liar juga mendapat perlawanan keras, baik secara budaya, ideologis maupun tindakan-tindakan politis antar bangsa. Lihat misalnya usaha PBB yang senantiasa mengembangkan jaringan antar bangsa untuk menciptakan suatu new governance pada tingkat global guna menjinakkan dan meng-adabkan “sang juggernaut” globalisasi.(UNDP,l999 h.11), dan secara konsisten mendorong usaha Human Development.
Jaringan LSM internasionalpun telah melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para  multi national corporation. Naisbit (1999) bahkan mengilustrasikan munculnya gejala perimbangan antara perkembangan hi-tech (teknologi tinggi) dengan kebutuhan akan  hi-touch (kehangatan hubungan sosial). Disamping itu kita juga menyaksikan pula gejala “global paradox” dimana arus globalisasi yang dijiwai oleh rationalisme telah ditandingi oleh arus tribalisasi yang dijiwai oleh tradisi atau nilai-nilai primordialisme yang irasional.
Manusia memang mahluk yang memiliki kemampuan adaptasi yang besar terhadap perubahan, bahkan manusia adalah pencipta perubahan yang utama, akan tetapi manusia juga  mahluk yang membutuhkan dan selalu mencari equilibrium (Parsons, l952), karena hanya dalam kondisi itulah mereka dapat melangsungkan hidupnya dengan nyaman.
Sementara itu para sosiolog sendiri juga dengan sigap mulai mengadaptasi perkembangan yang radikal ini . Banyak karya pemikiran sosiologi yang telah siap untuk merubah unit analisanya dari masyarakat lokal atau nasional menjadi global (the sociology of globalization). Oleh karena itu sebagai seorang sosiolog saya tidak akan ikut panik dan meninggalkan ilmu ini, saya  mengambil posisi bahwa betapapun cepatnya perubahan teknologi yang terjadi dan betapapun banyaknya konsep sosiologis yang menjadi usang karena perubahan pola kehidupan manusia, adalah masih lebih baik menggunakan kerangka berpikir sosiologis daripada  sekedar mengunakan akal sehat. Lebih dari itu kita justru semakin perlu mendayagunakan analisis sosiologi sebagai landasan suatu perencanaan sosial. Karena kita tidak boleh menyerah kepada perubahan tetapi harus mengelolanya dan mengendalikannya demi kemaslahatan umat  manusia. 
Sebagai ilmu yang telah cukup tua, sosiologi mampu membantu manusia untuk memberikan pencerahan berpikir  untuk memahami situasi sosial dan tindakan sosial, bahkan sosiologi juga dapat membantu manusia menerobos penglihatan  commonsense sehingga mampu membuka tabir - tabir mitos yang sering memenjarakan pikiran manusia. Disamping itu konsep-konsep sosiologi mampu membantu kita melakukan identifikasi secara lebih sistematis dan obyektif masalah-masalah sosial disekitar kita dalam rangka mencari pemecahannya.
Sebagaimana dialami oleh ilmu-ilmu sosial lainnya, pada jaman perkembangan teknologi dan pembangunan ekonomi yang pesat ini, sosiologi sering dianggap tidak terlalu dibutuhkan, karena diasumsikan bahwa masyarakat dengan kebudayaannya akan serta merta mengikuti arus perubahan yang dituntut oleh perkembangan teknologi dan ekonomi, ada atau tanpa sosiolog, ada atau tanpa perencanaan sosial.
Pemerintah rejim komunis di Uni Soviet menganggap sosiologi tidak berguna bahkan sifat analisisnya yang cenderung kritikal dianggap berbahaya. Para sosiolog negeri itu dibatasi ruang geraknya dengan penutupan lembaga pendidikan yang mengajarkan sosiologi. Para sosiolog yang masih bertahan harus membungkus pemikiran sosiologisnya dengan retorika komunisme.Tetapi dibawah Gorbachev, pada tahun 1988 sekonyong-konyong Partai Komunis Soviet mendeklarasikan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang diberi prioritas secara nasional. Pemimpin Soviet itu membutuhkan suatu studi ilmiah mengenai pendapat umum, birokrasi, penyimpangan sosial, kontrol sosial, mobilitas sosial dsb. untuk mendukung gerakan perestroika (semacam otonomisasi) dan glasnost (keterbukaan) yang sedang digulirkannya. Ketua Ikatan Sosiologi Sovietpun diangkat menjadi penasehatnya (Bassis,1991).  
Oleh karena itu pesan untuk millennium III adalah “keadilan dan anti kekerasan”. Ini adalah suatu pesan moral, karena krisis umat manusia adalah pada aspek moral. Ditengah perkembangan peradabannya, umat manusia masih berkubang dalam naluri dasar “kebiadabannya” yaitu “kekerasan” (violence).Ilmu pengetahuan yang berkembang amat pesat pada millennium II  ternyata lebih banyak mengembangkan rasionalitas namun tidak membela    nilai-nilai (moral, etika dsb.).
Huntington (1996) bahkan berteori bahwa setelah perang ideologi antara komunisme dan kapitalisme berakhir, justru akan muncul “the clash of civilization”.(perang antar peradaban). Dasar dari permusuhan antar “peradaban”  itu menurut Huntington justru “basic instinct” manusia yaitu “kebencian” dan “rasa permusuhan” terhadap golongan lain yang berbeda identitasnya. Seperti  tercermin dalam motto:”There can be no friends without true enemies” atau: “ Unless we hate  what we are not, we cannot love what we have” . Tanpa musuh bersama kita tidak dapat mencintai teman kita sendiri. Manusia ternyata lebih mudah digerakkan oleh kebencian daripada kasih saying.


Pengertian Civil Society dan Masyarakat Adab.

Sedikit atau banyak, konsep masyarakat adab yang saya gunakan adalah terkait dengan konsep civil society.  Konsep ini sebenarnya sudah  lama, berasal dari kata societas civilis atau “political society”. Tekanan konsep ini lebih kepada hubungan antara pemerintah dan rakyat, negara dan masyarakat
Karena bidang politik pada masa lalu selalu dikaitkan dengan negara (lihat Locke, Rousseau, Kant), maka muncul konsep civil society sebagai arena bagi warga negara yang ingin aktif dalam politik. Tetapi lebih luas lagi konsep ini sering juga dikaitkan  dengan “peradaban masyarakat” (civilization) yaitu suatu kwalitas kebudayaan masyarakat yang ditandai oleh supremasi hukum.
Antonio Gramsci memiliki pendapat berbeda, ia justru  melihat bahwa  civil society  bisa digunakan sebagai “alat” dari negara untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan budaya ( “the manufacture of consent”). Ini merupakan suatu “politik kebudayaan (“cultural politics”). Pranata-pranata yang dapat digolongkan dalam “civil society” misalnya: sekolah, gereja, organisasi buruh melalui mana kelas yang berkuasa sering melakukan hegemoni terhadap masyarakat, walaupun menurut Gramsci lembaga-lembaga itu sekaligus juga dapat menjadi sumber kekuatan yang  menantang hegemoni itu sendiri.
Pada dekade yang penuh radikalisme  antara tahun 60an dan 70an,   kekuatan civil society yang beroposisi  terhadap penguasa tetapi tidak ingin menggunakan kekerasan memilih menggunakan strategi gerilya budaya. Daerah perjuangan mereka terutama adalah bidang pendidikan dan kebudayaan.
Di Eropa Timur dan Tengah konsep ini juga marak lagi pada tahun 70 dan 80an. Para penentang penguasa menggunakan konsep ini untuk melawan totalitarianisme  negara. Gerakan Solidaritas di Polandia misalnya melakukan perlawanan pada pemerintah bukan dengan kekerasan tetapi menciptakan lembaga-lembaga civil society sebagai “parallel society” (masyarakat tandingan). Dalam pengertian ini civil society adalah  suatu kombinasi yang transenden antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang memperjuangkan penguatan posisi masyarakat terhadap negara.
Apapun bentuk tindakannya, yang pasti konsep itu menyangkut suatu ruang gerak masyarakat yang berada diluar negara. Disinilah warga negara dapat terus menerus mengembangkan kemandirian diluar institusi negara  yang nantinya merupakan landasan bagi terwujudnya pranata politik formal (misalnya partai politik).
Konsep civil society harus ditanggapi secara kritis. Penekanannya pada “rule of law” misalnya, masih perlu diberikan catatan. Law (hukum formal) yang hanya  berlandaskan otoritas legal - rational ternyata tidak selalu mampu melindungi nilai-nilai moral, sehingga penegakkan hukum tidak secara otomatis berarti penegakkan moral. Hukum didalam peradaban modern yang semakin individualis sering lebih menekankan pada “hak individu” daripada “kewajiban pada masyarakat umum”, sehingga para praktisi hukum dengan keahliannya dapat saja membebaskan seseorang bersalah dari jerat hukum  walaupun harus melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal secara sosiologis, hukum formal hanya merupakan salahsatu saja dari berbagai norma yang ada di masyarakat, maka rakyat kelas bawah yang tidak dapat “membeli keadilan” akan cenderung menggunakan norma lain diluar hukum yaitu “kekerasan(pembakaran, perusakan dsb.). Bentuk-bentuk “law disobedience” seperti inilah yang telah menghasilkan anarki di masyarakat kita akhir-akhir ini.
Konsep civil society yang menekankan persoalan  hubungan masyarakat dan negara sebagai suatu otoritas politik nampaknya perlu dilengkapi dengan unsur-unsur moral yang ditujukan bagi hubungan antar warga masyarakat itu sendiri.
Kekecewaan akan peradaban modern  telah menghasilkan suatu impian untuk menciptakan suatu masyarakat baru dengan moralitas baru (lihat misalnya Giddens dalam The Third Way 1998, Etzioni dalam “The Spirit of Community “1993, Robert Bellah dalam “The Good Society” 1992).
Robert Bellah (1984), seorang sosiolog Amerika Serikat juga lebih menekankan pentingnya kebangkitan moral baru yang mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yang lebih baik antara masyarakat dan negara maupun antar warganegara sendiri. Ia mengatakan bahwa semua kejadian-kejadian yang telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social choices) yang kemudian kita bakukan dalam pranata sosial. Untuk merombaknya perlu dilakukan suatu pemilihan-pemilihan yang baru, ini membutuhkan suatu system nilai, karena semua pilihan memiliki landasan moral dan etika.
Menganalisa paranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya hidup?” dan “ Bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”. Praranata-pranata sosial yang telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata berjalan kurang baik atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya tidak kita inginkan (ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, tetapi tidak secara efektif mengatur perilaku kita di dalam pranata sosial yang ada.
Bellah menggambarkan  bahwa  nafsu menghancurkan pada manusia di jaman modern ini sampai pada taraf menghancurkan diri mereka sendiri -  misalnya bila terjadi perang nuklir - karena masyarakat dunia telah menjadi suatu komunitas besar yang saling bergantung. Di masyarakat kita saat ini konflik antar komunitas (antar kampung antar suku, ras)  juga suatu tindakan yang mampu menghancurkan kedua belah pihak yang berkonflik. Betapa nikmatnya pelampiasan kebencian sehingga rela dibayar dengan kehancuran diri sendiri! Maka jadilah kita suatu “self destroying society”. Bila kaum beragama telah ikut menikmati konflik semacam ini maka terjadi suatu kesalahan besar pada perilaku beragama pada masyarakat kita (bukan pada ajarannya).
Mengingat saling ketergantungan antar kelompok dan bangsa akan semakin dekat dengan adanya perkembangan teknologi, maka menurut Lippman perubahan sikap moral manusia menuju “good society” secara teoritis menjadi lebih meyakinkan dan lebih diperlukan. Menuju masyarakat komunitarian bukan lagi suatu keinginan yang idealistis tetapi kebutuhan yang realistis dan bahkan strategis. Bahkan bangsa Amerika yang besar dan jaya ingin mentransformasi dirinya dari great society menjadi good society.
Pada hakekatnya good society bernafaskan azas komunitarian, tetapi Bellah lebih suka mengunakan konsep “good society” daripada “communitarian society” karena banyak  yang mengartikan komunitas hanya merupakan kelompok yang kecil dan bersifat tatap muka, sehingga sikap komunitarian dituduh anti negara, anti ekonomi dan struktur sosial yang lebih luas. Konsep itu sendiri berasal dari Walter Lippman (l937).
Kekecewaan terhadap masyarakat Amerika yang sebetulnya telah memiliki banyak ciri civil society, juga diungkapkan oleh seorang sosiolog terkenal negeri itu yakni Amitai Etzioni (l993). Masyarakat AS, menurut  Etzioni, perlu mengimbangi nilai keakuannya (individualisme) yang telah berakar pada budaya mereka dengan nilai-nilai ke-kitaan yang bersifat komunitarian artinya kekitaan yang tidak menindas keakuan. Dengan kata lain adanya keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientas pada hak orang banyak).
Etzioni menyadari terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud melalui suatu gerakan sosial yang sistematis. Itulah sebabnya dia bersama-sama kelompoknya mencanangkan kebulatan  tekad  gerakan “komunitarian” sbb:
Semua itu adalah inti dari sikap moral komunitarian  yang ditawarkan oleh Etzioni, yakni kesepakatan manusia modern untuk  menciptakan moral baru, kehidupan sosial, dan keteraturan publik  berdasarkan pada penguatan kembali nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.
Etzioni mengingatkan bahwa di masyarakat demokratis liberal sering muncul suatu gejala  “a strong sense of entitlement” yaitu sikap warga negara yang menuntut hak-hak dari pemerintah tanpa diimbangi oleh kesediaan  menerima kewajiban.
Rakyat Indonesia yang sejak masa penjajahan sampai masa Orde Baru selalu dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah dan negara, dalam masa reformasi ini sekonyong-konyong juga mengidap gejala “strong sense of entitlement” yaitu  cenderung menuntut haknya (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum.
Semangat mengembangkan moral baru bagi dunia modern yang telah mengalami kegagalan ini juga nampak dari pemikiran Giddens dalam “The Third Way” dimana ia  memperjuangkan demokrasi sosial yang berintikan solidaritas, kesamaan dan keamanan serta peran aktif negara.
Konsep masyarakat adab yang saya maksudkan dalam pidato ini pada dasarnya mencakup konsep civil society tetapi bukan sekedar memberikan posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap negara, bukan saja demokrasi yang hanya menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan moral hubungan antar warga negara itu sendiri. Penanaman nilai kerukunan antar warga negara yang  menghasilkan kepedulian terhadap semua warga dan nasib seluruh bangsa (sikap komunitarian).
 Dari berbagai penerjemahan kata civil society yang kita kenal di Indonesia seperti “masyarakat sipil”, “masyarakat warga”, “masyarakat madani” dan “masyarakat adab”, saya memilih yang terakhir karena memiliki nuansa yang lebih besar terhadap pembenahan peradaban masyarakat kita yang masih menyimpan unsur paling irasional dan paling menghambat perjalanan kita menjadi bangsa beradab  yaitu “kebencian tersembunyi (cultural animosity)” antar kelompok primordial.

Masyarakat adab yang kita cita-citakan tentu tidak cukup hanya menjadi sekedar wacana, ini harus menjadi suatu komitmen moral. Uraian dibawah ini adalah hasil dari  apa yang pernah saya pikirkan, diskusikan bersama rekan-rekan saya di jurusan sosiologi selama sepuluh tahun terakhir ini. Hasil itu kini sedang menunggu proses legalisasi (Surat Keputusan) untuk menjadi dokumen resmi.
Membangun masyarakat adab tentu  bukan tugas dan tanggungjawab pemerintah saja. Ada banyak kekuatan besar lain yang perlu berperan secara harmonis seperti organisasi masyarakat (LSM), organisasi politik, para pengusahan swasta, perguruan tinggi dan kaum professional lain. Suatu kekuatan yang tak kalah penting adalah Masyarakat (terutama dalam satuan-satuan komunitas), karena pada akhirnya semua warga kota adalah warga dari suatu komunitas. Merekalah kelompok yang paling berkepentingan dengan segala hasil pembangunan . Akan tetapi pada masa transisi yang masih serba kemelut ini peran pemerintah amat penting terutama sebagai inisiator kemudian sebagai fasilitator (empowerment) dan regulator.
Membangun masyarakat adab pada dasarnya adalah suatu pembangunan aspek sosial budaya karena yang dibangun adalah pranata sosial yang berunsurkan system nilai dan norma sehingga dapat membentuk pola perilaku dan hubungan sosial yang diinginkan. Oleh karena itu langkah utama yang perlu dilakukan pemerintah DKI adalah menyususn suatu Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya.
RUPSB bukan dimaksud untuk mengarahkan dan bahkan membatasi dinamika sosial budaya didalam masyarakat, akan tetapi justru merupakan pedoman kebijakan bagi pemerintah untuk secara konsisten dan terencana memberikan suatu fasilitasi dan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat dalam mengembangkan sociability (lihat Achwan, 2001).
Sociability (kecakapan bermasyarakat) adalah suatu kemampuan dari individu-individu didalam masyarakat untuk menyeimbangkan antara hak  dan kewajiban sosial dalam segala tindakannya, sehingga menghasilkan akivitas untuk kebaikan bersama dalam wujud oganisasi kemasyarakatan yang dibentuk secara sukarela tanpa campur tangan pemerintah. Kemampuan  berorganisasi yang merupakan collective intelligence of society ini perlu dikembangkan. Fukuyama mengatakan bahwa kegagalan dan keberhasilan pembangunan politik  dan ekonomi suatu negara akan ditentukan oleh kekayaan atau kemiskinan sociability yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan. Rangkaian perkumpulan warga yang mandiri serupa ini merupakan infrastrutur sosial paling berharga untuk menjembatani kepentingan  dan aspirasi antara masyarakat dan negara.
Disamping itu sebagai suatu dokumen perencanaan jangka panjang (10 tahunan) dan sebagai suatu produk pemikiran Sosiologi, RUPSB harus bersifat analitikal antisipatif yaitu didasarkan pada analisis situasi (situasional analysis) masyarakat DKI Jakarta secara empirik terutama untuk menemukan gejala sosiologis apa yang dapat mengembangkan atau menghambat berkembangnya masyarakat adab di Jakarta. Melalui hasil  analisis sosiologis itulah suatu perencanaan sosial-budaya jangka panjang disusun. RUPSB juga dilengkapi dengan indikator pencapaian yang dapat dijadikan sebagai alat evaluasi dan pemantauan.
Sejak l994 Bappeda DKI bekerjasama dengan Labsosio UI memberanikan diri menyusun dokumen Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya. Walaupun  sampai saat ini dokumen tersebut belum memperoleh landasan hukum yang resmi, tetapi telah disosialisaskan dikalangan para staf Pemda DKI dan bahkan kini sedang dipersiapkan SK Gubernur untuk dokumen tersebut.
    Analisis sosiologis didalam RUPSB menunjukkan bahwa akar dari berbagai masalah sosial-budaya  di kota ini dapat digolongkan kedalam empat masalah dasar yang perlu menjadi perhatian dalam perencanaan pembangunan sosial budaya kota ini.

Masalah Dasar 1 : Kerukunan.
Seperti yang terjadi pada tingkat nasional, gejala cultural animosity juga merupakan masalah yang signifikan bagi kota ini. Rasa permusuhan tersembunyi ini bukan hanya menghasilkan tawuran atau kerusuhan, tetapi bahkan dapat mewarnai pola perilaku politik, serta praktek diskriminasi disegala bidang kehidupan yang dapat mengganggu kehidupan kota dan jalannya pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu salahsatu nilai dasar yang perlu dikembangkan melalui RUPSB di kota ini adalah nilai kerukunan. 
Kerukunan didalam masyarakat yang kota yang kompleks dan modern ini diekspresikan dalam bentuk munculnya organisasi masyarakat yang terbuka bagi semua  golongan. Pemerintah secara intensif harus membantu tumbuhnya gerakan-gerakan masyarakat yang tidak bersifat terbuka bagi semua golongan. Organisasi semacam ini akan dapat menghilangkan kecurigaan, kebencian, dendam, kecemburuan sosial antar kelompok, berkembangnya solidaritas antar kelompok dan terbentuknya sikap mental yang dapat menerima perbedaan.
Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep  pembangunan sosial budayanya telah berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture) mengenai kerukunan antar kelompok rasial. Seorang antropolog Malaysia mengatakan bahwa konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini.     

Masalah Dasar 2: Kepedulian

Penduduk Jakarta yang lebih dari 10 juta ini hampir seluruhnya pendatang. Kota ini tidak memiliki dominant culture sebagaimana Bandung dengan budaya sundanya, Surabaya dengan budaya Jawa Timur dan  Medan dengan budaya Bataknya, sehingga pada dasarnya sulit mencari platform kesamaan identitas budaya. Stratifikasi secara sosial-ekonomi juga amat kompleks, Sehingga sulit membangun solidaritas. Disamping itu mobilitas sosial amat tinggi sehingga hubungan sosial bersifat transient (sementara), impersonal dan artificial. Kepedulian terhadap sesama warga kalaupun ada amat bersifat particularistik, terbatas pada kelompok primordial mereka (kesamaan daerah asal, suku, agama dsb).
Kepedulian warga kota terhadap pemeliharaan ketertiban kota amat rendah sehingga keteraturan sosial kota mengalami degradasi yang mengkhawatirkan. Kini Jakarta menjadi kota ketiga paling tidak nyaman didunia. Gejala ini dapat berkembang lebih buruk lagi tetapi juga dapat diperbaiki yaitu dengan program penanaman nilai kepedulian secara terencana dan terprogram.
Kepedulian merujuk kepada sikap individu dan kelompok yang merasa ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan diluar dirinya. Sikap mental ini muncul dari kesadaran sistemik artinya menyadari bahwa tindakan seseorang/kelompok dapat menghasilkan akibat negatif ataupun positif pada kelompok lain atau bahkan seluruh kota. Jadi inti dari penanaman nilai kepedulian ini adalah: ”Penanaman kesadaran sistemik yang mampu menghasilkan kohesi, solidaritas sosial dan kerjasama antar warga kota”.
  
Masalah Dasar  3:Kemandirian

Sistem pembangunan dimasa lalu amat terpusat pada peran pemerintah. “Pembangunan adalah persembahan pemerintah pada rakyat”. Semua organisasi rakyat diseragamkan dan dikooptasi oleh pemerintah agar mudah dikendalikan, akibatnya masyarakat kehilangan sense of organizing dan menjadi “atomistik” yaitu merasa tak punya dukungan  organisasi. Semua proyek pembangunan sampai ditingkat RT/RW pun dikontrakkan pada swasta. Hal ini membuat rakyat tergantung pada pemerintah. Semua ini terjadi sampai akhirnya benar-benar disadari bahwa pemerintah tak mungkin mampu mengatasi semua persoalan pembangunan.
Bila pemerintah DKI bertekad memasuki paradigma pembangunan berpusat rakyat (people centered development) serta mengikuti prinsip-prinsip “Reinventing Government”, maka perlu di budayakan  nilai kemandirian dikalangan warga kota.
Kemandirian mempunyai dua aspek, internal dan eksternal. Aspek internal adalah kemauan dan kemampuan warga kota untuk mengambil inisiatif, melakukan pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan tanpa menggantungkan diri pada pemerintah termasuk menggalang kekuatan antar warga. Jadi sikap kemandirian tidak boleh diartikan sebagai sikap inklusif, individualis dan tidak mau bekerjasama. Pengembangan kemandirian warga amat tergantung dari  sejauhmana pemerintah siap mengalihkan wewenang pelaksanaan pembangunan pada masyarakat. Misalnya pemberian anggaran pembangunan kepada organisasi komunitas (RT/RW) secara “block grant” agar warga setempat dapat merencanakan serta melaksanakan sendiri pembangunan di tingkat komunitas. Dengan cara ini RT/RW diberi wewenang menjadi unit pembangunan, bukan sekedar alat birokrasi kelurahan.
Secara eksternal  sikap mandiri adalah sikap yang adaptif, mampu menyesuaikan diri dan memanfaatkan perubahan-perubahan yang terjadi  dilingkungannya dan mampu bersaing dengan kekuatan dari luar. Nilai ini amat penting bagi warga Jakarta bila ingin “survive” dalam era globalisasi. Kenyataannya pada saat ini kemampuan bersaing kita secara internasional amat rendah dan cenderung menurun.
Inti dari program yang perlu dilaksanakan adalah meningkatkan kreativitas pada kaum muda melalui pendidikan di sekolah maupun luar sekolah (Gelanggang Remaja, Lembaga Pengembangan Bakat, Lomba Kreativitas dsb.). Pemberdayaan usaha kecil dan menengah (kredit usaha, pengembangan sumberdaya dan ruang untuk usaha).

Masalah Dasar 4: Demokrasi

Di masa lalu kemajuan Jakarta selalu dihambat oleh konsep penguasa tunggal, bahkan wakil rakyatpun disubordinasikan pada pemerintah. Sekarang wakil rakyat telah memiliki kekuasaan terhadap pemeritah, tetapi lembaga ini belum benar-benar mewakili rakyat. Kekuatan rakyat yang lain (LSM, pers, universitas) juga berkembang tetapi masih mewakili kepentingannya sendiri. Infrastruktur demokrasi telah diturunkan sampai tingkat komunitas dengan adanya Dewan Kelurahan tetapi lembaga inipun masih  dikooptasi oleh pemerintah. Kebuntuan  untuk menyampaikan aspirasinya secara formal membuat rakyat lebih suka menggunakan aksi-aksi jalanan dan kekerasan.
Demokrasi memang  telah akrab ditelinga masyarakat bahkan mereka juga merasa telah melakukan tindakan-tindakan yang mereka anggap demokratis, sementara itu infrastruktur demokrasi juga sudah dibangun tetapi permasalahan mendasarnya adalah nilai-nilai demokrasi belum tertanam secara benar bukan saja ditingkat masyarakat bawah tetapi juga di semua lapisan sosial. Oleh karena itu RUPSB perlu memberikan pedoman perencanaan pada pemerintah dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif agar sikap-sikap demokratis yang mulai muncul di masyarakat tidak dimatikan lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut RUPSB pembangunan Jakarta menuju masyarakat adab harus berlandaskan pada empat nilai dasar yaitu Rukun, Peduli, Mandiri dan Demokrasi. Keempat nilai tersebut harus dilihat sebagai kesatuan. Nilai Rukun dan Peduli mengatur landasan moral dari hubungan horizontal antar warga, sedang Mandiri dan Demokrasi mencirikan format hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Penanaman nilai tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan penataran atau penyuluhan, tetapi lebih penting lagi melalui pengembangan lembaga-lembaga yang dapat memfasilitasi dan memberikan kondisi agar nilai-nilai tersebut berkembang. Misalnya memberikan dana pembangunan secara “block grant” pada organisasi RW agar warganya dapat merencanakan dan melakukan pembangunan secara mandiri dilingkungannya. Hal ini secara otomatis akan dapat mendorong kerjasama antar warga di tingkat komunitas sehingga menumbuhkan kerukunan dan kepedulian antar warga dari berbagai agama, suku, kelas sosial dsb. Bila organisasi ditingkat komunitas berkembang menjadi kuat maka kemandirian warga akan meningkat dan demokrasi akan berkembang lebih baik.
RUPSB memegang prinsip bahwa setiap lembaga atau organisasi memiliki kemampuan mendidik baik ketrampilan maupun nilai-nilai. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan bukan intruktif atau verbal (dengan kata-kata) tetapi melalui organisasi.

Pemulihan kepercayaan

Usaha yang terprogram untuk menanamkan keempat nilai itu harus dilakukan secara konsisten oleh Pemda DKI dengan mengikutsertakan partisipasi dari seluruh kekuatan masyarakat. Akan tetapi dalam kondisi yang serba tidak menentu saat ini dimana tingkat kepercayaan (social trust) antara masyarakat dengan pemerintah dan antar masyarakat itu sendiri, maka  perlu digelar suatu program pemulihan kepercayaan. Unsur-unsur program ini diadaptasi dari program pemulihan kepercayaan yang diterapkan pada masa reformasi di Polandia yang diajukan oleh seorang Sosiolog Piotr Tzompka, unsur-unsur itu adalah sbb:

1. Mencanangkan Arah Reformasi Jakarta

Di awal era reformasi ini perlu dirumuskan kepastian arah reformasi Kota Jakarta secara jelas dan tegas kepada seluruh masyarakat. “Jakarta Baru” yang dicita-citakan harus dipikirkan dan dirumuskan oleh Pemda bersama tokoh masyarakat, pemimpin agama dan para pakar lalu diputuskan oleh DPRD. Penjabaran arah reformasi ini perlu disosialisasikan dan dikomunikasikan secara luas dan efektif ke seluruh lapisan masyarakat sebagai suatu pedoman kontrol sosial terutama bagi pemerintah daerah.
       
       2. Melaksanakan secara konsisten prinsip transparansi dan akuntabilitas.

            Semua tindakan Pemerintah, swasta maupun perorangan yang menyangkut kepentingan umum harus dapat dikontrol oleh masyarakat (transparan) dan dapat ditanggung-gugat secara hukum (akuntabel).  Upaya ini perlu dimulai dari pihak yang mempunyai  tingkat kekuasaan yang lebih tinggi. Sebagai contoh pengumuman kekayaan pejabat birokrasi yang diaudit oleh lembaga independen (Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat) akan meningkatkan rasa percaya publik pada pejabat yang bersangkutan.

3. Menegakkan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Warga
    Kota

Akhir-akhir ini rasa aman warga kota sangat  merosot, hal ini bukan hanya disebabkan karena  kondisi kota memang kurang aman, tetapi sumber ketidak-amanan seringkali adalah ketakutan di tingkat persepsi, sehingga banyak terjadi ketakutan yang berlebihan. Semua ini merupakan gejala krisis kepercayaan pada perlindungan hukum. Tidak beraninya investor menanamkan modal, banyaknya orang membeli sejata api, pembangunan tembok tinggi di rumah-rumah mewah dsb. adalah gambaran  ketakutan  di tingkat atas, sedang ketidakpercayaan pada kepastian hukum ditingkat bawah cenderung akan menciptakan apatisme terhadap ketertiban dan bisa menjadi benih dari anarkisme serta mendorong munculnya kelompok-kelompok preman yang memanfaatan situasi tersebut.
Kurangnya sarana dan prasarana hukum dan keamanan dapat menghasilkan fear of crime bagi keselamatan jiwa maupun kepastian berusaha. Pemberian imunitas dan impunitas bagi mereka yang bersalah juga   akan merugikan proses terbentuknya kepercayaan pada supremasi hukum.

4.  Penerapan  Konsep Pembangunan Berbasis Komunitas

Salah satu sumber ketidak percayaan rakyat pada Pemda adalah karena kegiatan pembangunan sebagian besar ada ditangan Pemda, sehingga segala kekurangan dan ketidakberesan pembangunan akan  terus ditimpakan pada citra Pemda dan aparaturnya. Untuk memulihkan kepercayaan ini Pemda harus memberikan kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk menjalankan peran nyata dalam pembangunan.   
Salah satu basis dimana warga dapat berpartisipasi dalam pembangunan adalah komunitas, untuk itulah maka organisasi di tingkat komunitas (RT/RW, Dewan Kelurahan, serta organisasi akar rumput lainnya) perlu dihidupkan dan difungsikan  agar komunitas  siap menjadi unit pelaku pembangunan yang dapat diandalkan.
Sebagai catatan, walaupun organisasi RT/RW merupakan bentukan pemerintah, namun kiranya masih perlu dipertahankan, karena bila pada masa sekarang ini organisasi komunitas  tersebut dibubarkan dan diserahkan pada masing-masing kelompok atau individu membentuk organisasinya sendiri, maka akan terbentuk organisasi-organisasi yang sifatnya primordial dan eksklusif, sehinga kelompok minoritas akan terpinggirkan, ini justru dapat membatasi partisipasi seluruh warga  ditingkat komunitas.

 5.  Peningkatan Pelayanan Publik Secara Inovatif

Cara efektif lainnya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Pemda dalam waktu yang relatif singkat adalah dengan cara memperbaiki  mutu pelayanan publik. Itikad Pemda DKI untuk meningkatkan pelayanan harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku nyata para pegawainya dalam melakukan pelayanan pada masyarakat.
Di samping perubahan sikap dalam pelayanan, diperlukan juga suatu pengembangan pusat-pusat pelayanan yang lebih menyebar di berbagai tempat. Melalui perubahan sikap dan mutu pelayanan dari aparat di ujung tombak ini, kepercayaan pada pemerintah Daerah diharapkan dapat dipulihkan dalam waktu relatif cepat.
Tindakan di atas pada dasarnya harus diprakarsai oleh Pemda terlebih dahulu, sehingga tercipta kondisi yang dapat mendorong atau memaksa kelompok swasta dan masyarakat luas mengikuti pola itu, karena krisis kepercayaan tidak hanya terhadap Pemda saja tetapi juga pada dunia swasta dan  antar anggota masyarakat .
Laboratorium Sosiologi saat ini juga sedang membantu Pemda DKI Jakarta untuk mengembangkan pola  perencanaan  yang benar-benar bottom-up, berbagai mekanisme sedang dikembangkan untuk menyerap aspirasi rakyat dari segala lapisan. Akan tetapi  suatu pembangunan kota tidak dapat diarahkan hanya oleh keinginan masyarakat yang bersifat kasat mata dan sesaat. Pemerintah kota perlu memiliki rencana pembangunan kebutuhan yang tak terumuskan oleh rakyat kebanyakan tetapi memiliki nilai-nilai strategis bagi berlangsungnya kota sebagai suatu system sosial, kebutuhan-kebutuhan yang bersifat visioner inilah yang perlu dirumuskan dalam RUPSB.
Program pemulihan kepercayaan perlu diberi prioritas karena ini adalah usaha penciptaan kondisi yang kondusif terhadap proses penanaman keempat nilai dasar. Secara skematis langkah RUPSB dapat digambarkan sbb:
RUPSB  merupakan tonggak yang menandakan komitmen pemda terhadap pembangunan aspek sosial budaya yang sejak dulu tidak pernah dianggap penting. RUPSB  harus menjadi rujukan dokumen perencanaan dibidang lain seperti Rencana Umum Pembangunan Ekonomi (RUPE) serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan rencana strategis Gubernur. Dengan merujuk RUPSB, DPRD akan dapat melakukan evaluasi secara  sistematis dan substantif terhadap kinerja eksekutif dibidang pembangunan sosial budaya.
Semoga langkah pionir DKI ini dapat diikuti oleh Propinsi serta  Kabupaten lain di Indonesia dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunannya di era otonomi ini.

IV. Penutup

Membangun masyarakat adab memang bukan persoalan yang bisa diurai dalam naskah pidato sependek ini. Disamping penjelajahan saya terhadap konsep masyarakat adab itu sendiri masih amat dangkal, saya pun menyadari bahwa RUPSB dimana saya terlibat dalam penyusunannya masih amat jauh dari memadai.
Namun bagaimanapun, perkenankan saya pada penutupan pidato ini untuk secara khusus mengungkapkan rasa terima kasih saya yang amat dalam pada seluruh staf Pemda DKI yang secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dalam memberikan kesempatan, kemudahan dan kepercayaan profesional pada saya selama lebih dari sepuluh tahun terutama ketika saya memimpin Laboratorium Sosiologi untuk dapat merealisasikan impian-impian sosiologis saya dalam pembangunan kota Jakarta yang tercinta ini. Mari kita lanjutkan impian kita dan membuat sekurang-kurangnya sebagian dari impian itu menjadi nyata.