Senin, 26 Mei 2014

Pembangunan berbasis nilai: Tanggapan terhadap Revolusi Mental Jokowi



Pembangunan berbasis nilai:
Tanggapan terhadap Revolusi Mental Jokowi

Oleh:
Paulus Wirutomo
Sosiolog UI


          Dalam tulisannya yang berjudul “Revolusi Mental” di harian Kompas tanggal 23 Mei 2014 yang lalu,  Jokowi  menyatakan bangsa ini menghadapi suatu paradox:  di satu sisi angka pertumbuhan Ekonomi kita cukup membanggakan yaitu tercatat sebagai nomer dua tertinggi di dunia, dalam aspek politik  kita telah menciptakan sistem demokrasi yang memberi rakyat peluang  memilih pemimpin daerah sampai presiden  secara langsung, kita juga punya Mahkamah Konstitusi, KPK  dsb.,  tetapi mengapa rakyat Indonesia  semakin galau?, bahkan semakin marah dan meradang?. Ini adalah pengamatan kritis yang  amat bagus dari seorang  calon pemimpin bangsa, karena ia mempersoalkan hakekat dari suatu Pembangunan. Paradoks ini  menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup hanya menghasilkan indikator ekonomi macro yang “indah”,  sebab rakyat secara nyata membutuhkan peningkatan kualitas kehidupan sosial-budaya yang lebih menyeluruh,  sistemik dan bersifat inklusif (menyejahterakan semua warga negara, adil dan merata).
          Jokowi mengamati bahwa Pembangunan di era Reformasi masih menitik beratkan pada pembangunan institusi tetapi masih belum cukup merubah mental masyarakat. Saya menyebutnya sebagai “institusionalisasi tanpa internalisasi”. Misalnya, kita punya  sistem pemilu yang canggih tetapi belum berhasil menanamkan nilai demokrasi yang sebenarnya pada masyarakat, kita  menghilangkan sistem pemerintahan yang militeristik  tetapi ternyata tetap  memelihara budaya kekerasan bahkan sampai di kalangan siswa sekolah dan organisasi umat beragama, kita membangun  KPK tapi sikap koruptif tetap merajalela dan seterusnya. Maka, Jokowi menawarkan suatu revolusi mental. Saya kira yang dimaksud disini tentu bukan mental dalam arti “kondisi kejiwaan” atau “kemampuan otak” perorangan (misalnya ada istilah “sakit mental”),  tetapi lebih sebagai “karakter bangsa” yang mencakup sikap, kebiasaan, pola perilaku sosial. Secara sosiologis gejala ini bukan lagi merupakan gejala individual tetapi gejala sosial-budaya yang melanda bangsa. Jadi tidak cukup jika individu dituntut untuk mulai memperbaiki dari diri sendiri, tetapi usaha ini perlu didukung oleh pembenahan sosial-budaya secara sistemik, holistik dan sosietal bukan secara sektoral (misalnya hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata). 
          Saya menilai tawaran melakukan revolusi mental ini menunjukkan suatu tekad politik yang  mendasar dan bersifat paradigmatik yaitu ingin membongkar paradigma pembangunan yang lama. Bangsa ini tidak hanya membutuhkan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menghadapi globalisasi, tetapi lebih dari itu adalah peningkatan kualitas “kehidupan sosial-budaya” yang secara sosiologis  harus mencakup aspek Struktural, Kultural dan Prosesual. Pembangunan structural artinya harus secara efektif mampu mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan pemerataan dan keadilan untuk seluruh strata. Pembangunan kultural artinya harus mampu meningkatkan kualitas budaya (peradaban)  bangsa, misalnya mengembangkan nilai rukun, peduli, mandiri, kreatif dsb. Sedangkan pengembangan aspek prosesual adalah memberi ruang dan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, kreasi, opini secara demokratis sehingga bisa terjadi negosiasi yang kreatif oleh semua komponen anak bangsa terhadap semua kebijakan pembangunan yang diambil. Jadi,  suatu pembangunan tidak cukup hanya diukur dengan angka seperti: pertumbuhan ekonomi, pertambahan jumlah Mal, Pabrik dsb. Tetapi apakah  pembangunan itu bisa meningkatkan kualitas kehidupan sosial-budaya secara  structural, kultural dan prosesual?. Pada masa kini angka pertumbuhan ekonomi nasional kita tinggi tetapi pada saat yang sama ketimpangan sosial sudah mencapai titik mengkhawatirkan. Ginie ratio menunjukkan angka 0.42 dan naik terus selama sepuluh tahun terakhir. Inilah hasil pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.  Karena itu tak usah  heran bila rakyat galau dan marah.
          Pembangunan ekonomi yang  berorientasi pada pertumbuhan akan mudah menyeret kita kedalam arus liberalisme yang dibawa oleh globalisasi. Maka dari itu,  pembangunan sosial-budaya bangsa yang dimotori oleh revolusi mental harus berorientasi pada suatu sistem nilai yang dicita-citakan bersama oleh bangsa Indonesia selama ini yaitu Pancasila. Dengan kata lain Pembangunan kita harus berbasis pada nilai (value based development). System nilai itu harus disepakati secara nasional, dicanangkan, disosialisakan serta diinternalisasikan secara konsisten dan konsekuen, mirip dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Korea pada awal kemerdekaannya sehingga kini bisa menjadi bangsa yang unggul. Kita tidak perlu mentargetkan terlalu banyak nilai tetapi cukup misalnya inti dari  Pancasila yaitu gotong royong. Nilai itu harus dioperasionalkan dalam indikator yang jelas dan terukur  sehingga setiap tahun bisa kita pantau perkembangannya pada setiap sektor pembangunan misalnya: gotongroyong di bidang ekonomi, politik, pertanian, kehidupan beragama, hubungan antar suku dsb. Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden yang baru harus mempertanggungjawabkan hasil penilain itu secara terbuka dan memperbaiki pelaksanaannya di tahun berikutnya. Saya yakin dengan disiplin yang tinggi dan kepemimpinan yang berkomitmen, dalam waktu lima tahun bangsa kita akan mengalami perkembangan peradaban yang pesat. Itulah wujud  revolusi mental!
          Seperti ditulis oleh Jokowi, Revolusi ini perlu disiplin, pengorbanan dan partisipasi seluruh elemen masyarakat.  Kita semua tahu  bahwa sistem politik kita saat ini sedang tersandera oleh oligarki partai-partai yang membuat sistem presidensial menjadi seperti parlementer. Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan civil society di Indonesia harus mau dan mampu bergerak menjadi “pressure group” yang dapat menengahi konflik antara presiden dan parlemen, bukan semata-mata diserahkan pada mekanisme koalisi partai. Kita merindukan Presiden yang setia berdiri dibelakang kepentingan  rakyat dan setia pada  sistem nilai yang sedang diusung rakyat serta tidak perlu takut diboikot bahkan dijatuhkan oleh Parlemen. Dia harus, menjadi pahlawan Rakyat, pemimpin revolusi mental bangsa.