Tanggapan
terhadap Revolusi Mental Jokowi
Oleh:
Paulus
Wirutomo
Sosiolog
UI
Dalam tulisannya yang berjudul
“Revolusi Mental” di harian Kompas tanggal 23 Mei 2014 yang lalu, Jokowi
menyatakan bangsa ini menghadapi suatu paradox: di satu sisi angka pertumbuhan Ekonomi kita
cukup membanggakan yaitu tercatat sebagai nomer dua tertinggi di dunia, dalam
aspek politik kita telah menciptakan sistem
demokrasi yang memberi rakyat peluang memilih
pemimpin daerah sampai presiden secara
langsung, kita juga punya Mahkamah Konstitusi, KPK dsb.,
tetapi mengapa rakyat Indonesia semakin galau?, bahkan semakin marah dan meradang?.
Ini adalah pengamatan kritis yang amat
bagus dari seorang calon pemimpin bangsa,
karena ia mempersoalkan hakekat dari suatu Pembangunan. Paradoks ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup hanya
menghasilkan indikator ekonomi macro yang “indah”, sebab rakyat secara nyata membutuhkan
peningkatan kualitas kehidupan sosial-budaya
yang lebih menyeluruh, sistemik dan bersifat
inklusif (menyejahterakan semua warga negara, adil dan merata).
Jokowi mengamati bahwa Pembangunan di
era Reformasi masih menitik beratkan pada pembangunan institusi tetapi masih belum
cukup merubah mental masyarakat. Saya menyebutnya sebagai “institusionalisasi
tanpa internalisasi”. Misalnya, kita punya sistem pemilu yang canggih tetapi belum berhasil
menanamkan nilai demokrasi yang sebenarnya pada masyarakat, kita menghilangkan sistem pemerintahan yang militeristik
tetapi ternyata tetap memelihara budaya kekerasan bahkan sampai di
kalangan siswa sekolah dan organisasi umat beragama, kita membangun KPK tapi sikap koruptif tetap merajalela dan
seterusnya. Maka, Jokowi menawarkan suatu revolusi mental. Saya kira yang
dimaksud disini tentu bukan mental dalam arti “kondisi kejiwaan” atau
“kemampuan otak” perorangan (misalnya ada istilah “sakit mental”), tetapi lebih sebagai “karakter bangsa” yang
mencakup sikap, kebiasaan, pola perilaku sosial. Secara sosiologis gejala ini
bukan lagi merupakan gejala individual tetapi gejala sosial-budaya yang melanda
bangsa. Jadi tidak cukup jika individu dituntut untuk mulai memperbaiki dari diri
sendiri, tetapi usaha ini perlu didukung oleh pembenahan sosial-budaya secara
sistemik, holistik dan sosietal bukan secara sektoral (misalnya hanya dengan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata).
Saya menilai tawaran melakukan revolusi
mental ini menunjukkan suatu tekad politik yang mendasar dan bersifat paradigmatik yaitu ingin
membongkar paradigma pembangunan yang lama. Bangsa ini tidak hanya membutuhkan
angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menghadapi globalisasi, tetapi lebih
dari itu adalah peningkatan kualitas “kehidupan sosial-budaya” yang
secara sosiologis harus mencakup aspek
Struktural, Kultural dan Prosesual. Pembangunan structural artinya harus secara efektif mampu mengurangi
kesenjangan sosial dan menciptakan pemerataan dan keadilan untuk seluruh strata.
Pembangunan kultural artinya harus
mampu meningkatkan kualitas budaya (peradaban)
bangsa, misalnya mengembangkan nilai rukun, peduli, mandiri, kreatif
dsb. Sedangkan pengembangan aspek prosesual
adalah memberi ruang dan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, menyampaikan
aspirasi, kreasi, opini secara demokratis sehingga bisa terjadi negosiasi yang
kreatif oleh semua komponen anak bangsa terhadap semua kebijakan pembangunan
yang diambil. Jadi, suatu pembangunan
tidak cukup hanya diukur dengan angka seperti: pertumbuhan ekonomi, pertambahan
jumlah Mal, Pabrik dsb. Tetapi apakah pembangunan
itu bisa meningkatkan kualitas kehidupan sosial-budaya secara structural, kultural dan prosesual?. Pada
masa kini angka pertumbuhan ekonomi nasional kita tinggi tetapi pada saat yang
sama ketimpangan sosial sudah mencapai titik mengkhawatirkan. Ginie ratio menunjukkan
angka 0.42 dan naik terus selama sepuluh tahun terakhir. Inilah hasil
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Karena itu tak usah heran bila rakyat galau dan marah.
Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan akan mudah menyeret
kita kedalam arus liberalisme yang dibawa oleh globalisasi. Maka dari itu, pembangunan sosial-budaya bangsa yang dimotori
oleh revolusi mental harus berorientasi pada suatu sistem nilai yang
dicita-citakan bersama oleh bangsa Indonesia selama ini yaitu Pancasila. Dengan
kata lain Pembangunan kita harus berbasis pada nilai (value based development).
System nilai itu harus disepakati secara nasional, dicanangkan, disosialisakan
serta diinternalisasikan secara konsisten dan konsekuen, mirip dengan apa yang
dilakukan oleh bangsa Korea pada awal kemerdekaannya sehingga kini bisa menjadi
bangsa yang unggul. Kita tidak perlu mentargetkan terlalu banyak nilai tetapi
cukup misalnya inti dari Pancasila yaitu
gotong royong. Nilai itu harus dioperasionalkan dalam indikator yang jelas dan
terukur sehingga setiap tahun bisa kita
pantau perkembangannya pada setiap sektor pembangunan misalnya: gotongroyong di
bidang ekonomi, politik, pertanian, kehidupan beragama, hubungan antar suku
dsb. Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden yang baru harus
mempertanggungjawabkan hasil penilain itu secara terbuka dan memperbaiki
pelaksanaannya di tahun berikutnya. Saya yakin dengan disiplin yang tinggi dan
kepemimpinan yang berkomitmen, dalam waktu lima tahun bangsa kita akan
mengalami perkembangan peradaban yang pesat. Itulah wujud revolusi mental!
Seperti ditulis oleh Jokowi, Revolusi
ini perlu disiplin, pengorbanan dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Kita semua tahu bahwa sistem politik kita saat ini sedang tersandera
oleh oligarki partai-partai yang membuat sistem presidensial menjadi seperti
parlementer. Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan civil society di
Indonesia harus mau dan mampu bergerak menjadi “pressure group” yang dapat menengahi
konflik antara presiden dan parlemen, bukan semata-mata diserahkan pada
mekanisme koalisi partai. Kita merindukan Presiden yang setia berdiri
dibelakang kepentingan rakyat dan setia
pada sistem nilai yang sedang diusung
rakyat serta tidak perlu takut diboikot bahkan dijatuhkan oleh Parlemen. Dia
harus, menjadi pahlawan Rakyat, pemimpin revolusi mental bangsa.