Paulus Wirutomo
Departemen Sosiologi
UI
I.
Pendahuluan:
Mc Iver pakar sosiologi politik
pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang
dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin
mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat
(socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang
mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola
tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri
manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan
demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku
manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan
adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang
benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau
jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang
merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam
bermasyarakat.
Jelas dari uraian diatas bahwa
kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga
sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog menganut faham cultural
determinism yang percaya
bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaannya[1].
Di dalam perkembangan teori sosiologi Pembangunan terdapat banyak pandangan
tentang faktor penyebab kemajuan ataupun keterbelakangan suatu bangsa seperti
kelompok aliran teori Modernisasi (Parsons, Inkeles, Rostow, Hozellits, David
Mc Clelland dsb.), yang menekankan pada faktor nilai-nilai budaya. Aliran
Dependensia (Gunder Franks 1969, Cardoso dan Falleto 1976, Samin Amir, dsb.)
yang menekankan pada faktor struktural seperti penjajahan serta kebijakan atau
tindakan eksploitatif. Ada
pula kelompok yang percaya pada kekuatan faktor geografi dan iklim (misalnya
Jeffrey Sachs, 1995). Pada
th 2000 Lawrence Harrison dan Samuel Huntington dalam bukunya “Culture Matters:
how values shape human progress” membangkitkan kembali argumen bagaimana
nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison
and Huntington, 2000).[2]
Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki
kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana
hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas
Korea Selatan. Ini disebabkan (terutama)
karena bangsa Korea
(selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras,
disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana .
Perbandingan yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia
dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya
sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia
jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia
yang sama-sama berkebangsaan melayu dan
merdeka jauh setelah Indonesia ,
sekarang juga telah meninggalkan kita. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita
menyebut kebudayaan Indonesia
sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).
Apakah benar kita merupakan masyarakat
dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah pada
kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada
derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah
menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan
budaya (cultural
deficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan
terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Bila hal itu
benar, apakah karakter budaya tersebut
bersifat melekat (inherent) pada masyarakat kita, apakah kebudayaan itu tidak mungkin kita rubah
dan kita bangun kembali? Mungkin pertanyaan
yang lebih penting untuk dijawab adalah:”Apakah kita sebagai sebuah bangsa memang telah membangun kebudayaan kita selama
ini?”. Apakah Pembangunan di negeri kita yang pernah dijuluki sebagai “the Asian
miracle” ini telah termasuk membangun
juga kwalitas kebudayaan kita?, atau kita hanya sibuk mengejar pertumbuhan
ekonomi semata?.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat
lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia serta mencoba untuk
mencari format pembangunan yang mampu merubah system nilai yang hidup di
masyarakat kita agar nilai budaya itu
tidak menjebak kita dalam suatu pola kehidupan yang dekaden.
II.
Analisis situasi Perkembangan
Budaya Masyarakat Indonesia .
Bila
kita bertanya apa hasil pembangunan di masa Orde Baru hingga sekarang, maka
kita pada kita hanya akan disajikan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi
dan daftar panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun.
Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah,
perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita
menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya
kita? Misalnya: ”Apakah
masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?.
Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa
menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah
diukur, apalagi dipertanggungjawabkan oleh pimpinan negara. Beberapa gejala
menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:
Jurang antara Nilai ideal
dan nilai aktual
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari
berbagai kelompok etnis sebenarnya
memiliki nilai-nilai luhur, secara nasional kita memiliki Pancasila yang
dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah di Bumi Nusantara ini juga punya
nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya
merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan
kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain
seperti materialisme, pragmatisme,
egoisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme,
permissiveness, opportunisme, primordialisme, dogmatisme dan lain sebagainya.
Nilai-nilai inilah yang secara nyata mengendalikan dan mengarahkan hidup kita sesuai
dengan kebutuhan untuk mempertahankan “survival” di jaman modern saat ini. Ini
semua adalah real atau actual values. Bangsa lain
pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan nilai actual,
tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan seringkali
diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit.
Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang
sama pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu[3].
Di masa reformasi bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan
bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa
ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan
dikalangan sipil semakin marak, termasuk yang berkedok organisasi keagamaan. Semua
parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat
“kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke
sekolah menengah dsb.
Inkonsistensi antar agen
sosialisasi
Masyarakat Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi yang
tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial
dengan pranata sosial lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang
kebanyakan berbasis agama dan adat) berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis
pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah).
Nilai yang diajarkan disekolah juga tidak sama dengan nilai yang berlaku
ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih didominasi oleh nilai-nilai KKN
(semua orang tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah korupsi yang dilakukan
bersama-sama secara sistemik, sering disebut sebagai “grouped corruption”).
Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang semakin menjadi
“primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas membawa
masyarakat pada system nilai yang amat pragmatis dan hedonis. Berbagai kekuatan
agent of socialization ini bertemu
dalam ruang publik yang “tak bertuan” (karena tidak ada pihak yang
melindungi atau mengaturnya termasuk pemerintah). Akhirnya institusi yang kuat
akan meng-hegemoni yang lain, maka nilai-nilai yang paling pragmatis,
materialistis dan mengagungkan kenikmatan (hedonistic)-lah yang nampaknya akan
menang!.
Institusionalisasi tanpa
internalisasi
Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa
Indonesia ingin melakukan perombakan
nilai-nilai Orde Baru yang dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai
baru. Dalam periode yang relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal)
meluncurkan produk-produk hukum yang baru. Akan tetapi pelembagaan (institusionalisasi) hukum ini
ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman nilai-nilai yang
melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi). Misalnya UU
Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai demokrasi pada
masyarakat luas baik melalui kehidupan di keluarga, komunitas, sekolah, media
massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala “institusionalisasi
tanpa internalisasi”, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi
penghayatan nilai-nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis,
menjalankan supremasi hukum tanpa menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak
didukung oleh system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan
memiliki rasa bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ).
Disamping hilangnya rasa bersalah,
masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu terhadap sesamanya, ini
disebabkan karena kekuatan “kontrol sosial” mulai memudar dikalangan
masyarakat, bahkan yang terjadi anggota masyarakat melakukan pelanggaran norma secara
bersama-sama (korupsi “berjamaah”). Banyak orang mengatakan kita sudah
kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem” yang bisa
menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap
hukuman atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat
gejala bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum
dapat dibeli, dan “diatur”. Bila ketiga “rasa” tadi sudah memudar, darimanakah
kita akan memulai penegakan hukum kita?
III. Pembangunan Sosial-Budaya.
Perdebatan tentang mana yang lebih
penting pembangunan ekonomi dan fisik atau pembangunan sosial-budaya merupakan
perdebatan klasik yang tiada hentinya. Walaupun pembangunan ekonomi dan fisik
pada kenyataannya lebih dominan dan menjadi prioritas, pemerintah selalu
menyatakan bahwa pembangunan sosial-budaya tidak diabaikan, tetapi pembangunan sosial-budaya seperti
apa?. Pembangunan sosial-budaya yang
telah dilakukan pemerintah memiliki beberapa pengertian yaitu:
1) Pembangunan sosial budaya adalah “pembangunan sektor sosial-budaya” (yaitu sektor yang outputnya bukan uang atau
barang tetapi peningkatan kwalitas manusia atau kesejahteraan sosial) misalnya:
sektor pendidikan, kesehatan, agama dsb. Pembangunan sektoral ini memang penting
sekali, tetapi secara sosiologis terdapat pertanyaan yang lebih mendalam yaitu:
apakah pembangunan sektor sosial tsb. telah mengembangkan kwalitas interaksi
sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya?. Misalnya
apakah pembangunan sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas
ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia? (bukan hanya sekedar
menghasilkan kelulusan dan sertifikat), apakah pembangunan sektor kesehatan mampu
mengembangkan pola perilaku sehat? (bukan sekedar menambah jumlah tempat tidur di RS atau jumlah dokter
spesialis yang semakin canggih), apakah pembangunan sektor
agama dapat mengembangkan nilai kerukunan antar umat? (bukan sekedar
menambah jumlah fasilitas ibadah). Pada kenyataannya pembangunan ”sektor sosial”
masih belum mencukupi, karena belum mencakup pembangunan budaya atau
nilai-nilai dalam arti yang sebenarnya.
2) Pembangunan sosial budaya sering diasumsikan
akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari pembangunan ekonomi
(misalnya akan meningkatnya etos kerja, profesionalisme, kewirausahaan dsb.)
Asumsi ini sebagian benar, tetapi pemerintah perlu juga mewaspadai bahwa
pembangunan ekonomi dan fisik sering juga menghasilkan dampak sosial-budaya
negatif (berkembangnya nilai-nilai hedonisme, individualisme, dehumanisasi,
melemahnya kemandirian bangsa dan menguatnya mental ketergantungan pada produk
asing seperti yang kita rasakan saat ini). Pemerintah tidak boleh menganggap
hal ini sekedar sebagai social cost yang wajar dan harus diterima, akan
tetapi kita perlu melawan kondisi ini dengan “pembangunan nilai-nilai”.
3) Pembangunan sosial-budaya sering diartikan
sebagai upaya konservasi (sekedar mengawetkan budaya lama). Kegiatan ini
sering hanya dilandasi oleh romantisime masa lalu. Secara politis program
ini sering berfungsi sebagai aksesoris yaitu untuk memberi kesan bahwa regim
yang sedang berkuasa cukup mempunyai “penghargaan” terhadap produk budaya
klasik yang bernilai sejarah. Pembangunan bidang ini biasanya tidak memperoleh
dana yang besar kecuali jika konservasi tersebut dipandang menguntungkan
sebagai investasi kepariwisataan.
4) Pembangunan budaya sering juga diartikan
sebagai pembangunan nilai yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan
ekonomi, jadi tujuan pembangunan yang utama adalah ekonomi. Nilai-nilai
yang dikembangkan hanya untuk menopang pembangunan ekonomi. (mis. Sikap tertib,
patuh, disiplin, partisipatif dsb.).
5) Disamping nilai-nilai yang biasanya lebih
diorientasikan pada Pembangunan ekonomi diatas, Pembangunan nilai seyogyanya
diarahkan pada tujuan utama dari pembangunan kwalitas manusia dan interaksi
manusia misalnya pengembangan nilai-nilai keadilan (fairness), kerukunan
(inclusiveness, brotherhood, communitarian), kepedulian (social responsibility,
care), kemandirian (self reliance, independence bukan egoistic individualism),
kejujuran (trustability, honesty, sincerety), sinergi (maju bersama dengan prinsip win-win solution
dan synthetic energy bukan sekedar kompromi, koalisi atau kolusi). Pembangunan budaya (nilai-nilai) jenis inilah
yang terutama akan ditekankan pada ”Pembangunan Sosial-Budaya”, karena
tujuannya adalah meningkatkan kwalitas interaksi, sikap dan perilaku
manusia yang dapat mengarah pada suatu bentuk masyarakat adab.[4]
Jadi, pembangunan budaya mungkin sudah dilakukan oleh semua negara atau
bangsa, tetapi kita perlu melihat lebih jauh pembangunan budaya yang seperti
apa? Dari 5 jenis pembangunan kebudayaan yang ada, sebaiknya kita tidak memilih
salahsatu daripadanya, tetapi semuanya dan semangatnya harus bermuara pada yang
terakhir (nomer 5).
Pembangunan budaya sendiri masih
mengalami berbagai hambatan karena terdapat berbagai persepsi atau anggapan
yang berbeda, misalnya sering orang
menganggap alam merupakan faktor
penentu dari terbentuknya budaya (misalnya daerah tropik menciptakan
budaya santai dsb.). Kini banyak bangsa atau negara di daerah tropik yang punya
budaya dinamis seperti negara non tropis. Kekuatan yang dapat merubah budaya
adalah sense of direction dari masyarakat bersangkutan (seperti
Singapore sebagai suatu negara kecil yang hanya bisa mengandalkan manusia dan
budaya). Menurut faham cultural relativism tidak ada budaya yang buruk atau
baik. Budaya Amerika baik untuk masyarakat Amerika bukan untuk masyarakat
Indonesia, itu mungkin benar, tetapi faham ini tidak boleh menjadi alasan untuk
menghindari usaha memperbaiki degradasi system nilai yang terjadi di
masyarakat kita[5].
Unsur-unsur kebudayaan kita yang buruk perlu kita rubah dan kita buang dan
unsur budaya lain yang baik bisa kita pelajari dan adopsi, namun isue mengenai
perencanan pembangunan budaya sering mengundang kontroversi mengenai konsep cultural engineering. Sebagian
orang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mengalir secara alamiah
seperti sungai mencari jalannya sendiri. Tidak seorangpun termasuk pemerintah,
berhak merekayasa kebudayaan kearah tertentu. Menciptakan suatu “blue print”
budaya bagi seluruh masyarakat adalah tidak etis dan tidak sesuai dengan HAM.
Memang benar kebudayaan merupakan hasil negosiasi sehari-hari dari berbagai
kekuatan sosial dan factor-faktor
lingkungan lain yang mempengaruhi kehidupan manusia (”social order is
a negotiated order”), tetapi dalam kenyataan, ternyata kekuatan dari
berbagai actor itu berbeda-beda, sehingga hampir semua kebudayaan di dunia saat
ini jatuh dalam suatu scenario
yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (para hegemon). Pada
jaman modern ini kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret
kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya
hidup konsumtivisme yang amat kuat dan
merajalela (overwhelming). Pendekatan pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan yang telah menghasilkan tiga krisis besar didunia yakni: “kekerasan,
kemiskinan dan kehancuran lingkungan” adalah hasil dari kekuatan rekayasa
itu. Jadi sebenarnya ”cultural
engineering” sudah dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini. Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan
itu, ataukah akan melawan secara budaya? Tidakkah mungkin masyarakat umum
(civil society) bersama pemerintah merancang suatu scenario ”perlawanan budaya”
tandingan yang mampu mengembalikan manusia dari
gejala “dehumanisasi” ini ? [6]
Pembangunan National
Character?
Konsep National Character bukan lagi
untuk sekedar menyeragamkan semua daerah atau mengembangkan chauvinisme
(fanatisme budaya nasional), tetapi yang lebih penting adalah membangun system nilai instrumental
(yang bersifat universal) yang dapat membangun kapasitas bangsa ini untuk maju
dan bertahan hidup secara bermartabat dalam persaingan dunia yang semakin
keras. Perlu ada tekad nasional untuk mengembangkan secara konsisten nilai-nilai
strategis tertentu yang bukan saja dapat membangkitkan perekonomian yang
memakmurkan rakyat, tetapi juga membangun peradaban yang mengangkat harkat dan
martabat manusia Indonesia. Semua daerah
di Nusantara ini harus tetap memiliki ruang untuk bisa mempertahan karakternya
masing-masing, namun sebagai bangsa yang tergabung dalam suatu negara kesatuan
kita perlu punya kesepakatan sistem nilai instrumental yang akan dikembangkan
bersama. Dalam hal ini peran Negara penting untuk membangun kebijakan dan
regulasi yang mampu menjadi kekuatan ”incentive
dan disincentive” (structural constraints)
sehingga semua institusi sosial dalam tataran Nasional dapat mengarahkan
pola perilaku masyarakat menuju suatu arah strategis tertentu.
IV.
Pembangunan Berbasis
Nilai.
Rejim
Orba pernah melakukan usaha pembangunan
nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural
engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering karena
nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara rapih dari
atas, metodenyapun telah dirancang secara baku .
Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan. Tingkat paksaan
(koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental,
sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak baik
(berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian
terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis terhadap rejim,
sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses pelembagaan (institusionalisasi)
P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah
daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari
kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai Pancasila yang masih amat berguna bagi
bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan
nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak
perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai.
Melihat keberhasilan Korea dalam
membangun nilai-nilai, maka kita harus merasa optimis untuk dapat melakukan hal
serupa. Kita semua menyadari bahwa dalam
proses melakukan pembangunan nasional, kondisi budaya kita justru terus
mengalami kemerosotan. Kita perlu melakukan suatu pengembangan orientasi budaya
yang baru dan ini tidak cukup hanya dengan merumuskan suatu strategi
kebudayaan, kita harus lebih jauh lagi melakukan suatu perencanaan pembangunan
sosial budaya yang lebih konkrit dan eksplisit.
Pembangunan Berbasis Nilai adalah
suatu pembangunan seluruh aspek kehidupan bangsa (ekonomi, politik
fisik, sosial dan budaya) yang dilandasi oleh nilai tertentu. Keberhasilan pembangunan ini
bukan hanya dilihat dari pencapaian kwantitatif setiap bidang atau sektor
pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah
ditargetkan. Dengan demikian pembangunan ini tidak hanya bersifat “growth
oriented”, tetapi berbasis nilai atau “value based”[7].
Pembangunan nilai-nilai itu tidak boleh hanya ditugaskan pada Departemen
Pendidikan saja, karena pembangunan budaya ini bukan merupakan pembangunan sektoral,
tetapi harus bersifat sosietal (mencakup seluruh bidang
kehidupan).
Lagkah-langkah Pembangunan
Berbasis Nilai :
1) Para budayawan bersama ilmuwan dan tokoh
masyarakat bersepakat untuk merumuskan kondisi budaya bangsa saat ini, apa
kekuatan yang kita miliki dan apa kelemahan yang ada. Dalam hal ini Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik UI dapat mengambil inisiatif untuk melakukan penelitian
ilmiah mengenai hal ini, sehingga dapat memudahkan para tokoh masyarakat
merumuskan suatu kesepakatan nasional.
2) Pimpinan Nasional (presiden dan parlemen) harus menindaklanjuti
dengan menggalang suatu konsensus
nasional untuk mengembangkan nilai-nilai strategis tertentu yang
paling diperlukan oleh bangsa ini untuk dapat menjawab tantangan jaman pada
masa kini.
3) Nilai-nilai yang akan dikembangkan adalah nilai
instrumental yang strategis (strategic instrumental values) yang tentu
saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ( ultimate values) yakni
Pancasila, bahkan bila instrumental values ini bisa dikembangkan, maka akan
menunjang tercapainya nilai-nilai dasar tersebut.
4) Perumusan nilai-nilai strategis perlu
dilakukan dengan proses bottom-up yakni mendengar aspirasi dan
masalah-masalah konkrit di masyarakat (dan berdasar kajian ilmiah yang
seyogyanya dilakukan oleh FISIP-UI). Nilai-nilai itu kemudian perlu dirumuskan
oleh kelompok pakar, budayawan, pemimpin agama dan adat dsb.
5) Nilai yang akan dikembangkan dalam suatu
kurun waktu tertentu sebaiknya tidak terlalu banyak tetapi terfokus pada
beberapa (2 atau 3) nilai strategis yang benar-benar perlu dikembangkan dalam
masyarakat kita saat ini untuk mengejar ketertinggalan bangsa kita dari
masyarakat lainnya.[8]
6) Nilai-nilai tersebut harus dirumuskan
secara singkat, popular, mudah diingat oleh semua orang dan memang benar-benar
mengena dihati sanubari masyarakat kita. Misalnya nilai anti korupsi (kejujuran), nilai kerukunan dan nilai
kemandirian.
7) Nilai-nilai itu perlu didefinisikan secara
operasional kedalam butir-butir yang dapat dicapai dan diukur oleh masyarakat
(indikator).
8) Setiap akhir tahun perkembangan nilai-nilai
tsb. harus dievaluasi oleh lembaga professional yang indipenden (non
pemerintah) pada masing-masing sektor pembangunan (pendidikan, kesehatan,
industri, perdagangan, politik, hukum dsb.). Contoh:
nilai kerukunan harus dikembangkan dibidang pendidikan, tetapi bidang-bidang
lain seperti politik, hukum, bahkan perdagangan atau industri juga harus
menunjang nilai kerukunan (dalam mengatasi masalah perburuhan). Kemandirian
harus dikembangkan disekolah, tetapi sector lain seperti Perbankan juga harus
mengembangkan kemandirian dengan menyediakan kredit bagi pengusaha kecil agar
mereka menjadi mandiri (tidak tergantung
dari lapangan kerja yang diberikan oleh investor asing). Cara memperoleh
pelayanan kesehatan juga harus menghasilkan sikap masyarakat yang mandiri. Perdagangan dan industri juga harus
mengembangkan sikap kemandirian dengan lebih mengandalkan produk dalam negeri.
Bahkan secara nasional pemerintah harus berani mengurangi hutang luar negeri
sebagai perwujudan dari sikap mandiri.
9) Hasil evaluasi dari program yang telah
dilakukan oleh setiap Departemen harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan
oleh setiap menteri dan akhirnya secara nasional dipertanggungjawabkan oleh
presiden pada rakyatnya.
10) Sebagai konsekwensi dari otonomi, setiap
daerah bisa mengembangkan nilai khas yang dianggap penting bagi daerah yang
bersangkutan, tetapi sebaiknya nilai tingkat nasional tetap menjadi acuan
setiap daerah agar terdapat konsistensi nilai secara nasional.
11) Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan pada
setiap warga negara bukan hanya dengan bentuk ceramah atau penataran, tetapi
dengan tindakan seperti:
Ø keteladanan pemimpin mulai nasional sampai
daerah, guru-guru disekolah
Ø pertunjukkan drama, film, wayang, sinetron
dsb.
Ø Iklan layanan masyarakat
Ø Kegiatan-kegiatan nyata seperti olahraga,
kesenian, pertandingan.
Ø Pemberian penghargaan (menciptakan role model)
Ø Program-program pembangunan seperti kredit bagi usaha kecil, bantuan
dana dampingan untuk komunitas di kota
maupun diperdesaan.
Ø Program insentif atau disinsentif bagi dunia swasta.
Ø Kontrol sosial dengan hukum formal sampai
hukuman sosial (mempermalukan dsb.).
Ø Kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kemandirian (mis. mengurangi
hutang luar negeri).
Ø Dan sebagainya (tergantung dari
kreativitas kita).
Saat ini banyak bangsa-bangsa di dunai yang ingin
mengembangkan kebudayaan nasional mereka yang bisa menunjang keberhasilan
pembangunan Nasional. Simposium ”Cultural Values and Human Progress” yang
diselenggarakan oleh Harvard Academy for International and Area Studies pada
tahun 1998 telah menyepakati suatu agenda riset untuk mendukung usaha ini, yang
berisi:
- Penyusunan tipologi nilai dan sikap yang mendorong
maupun menghambat pembangunan.
- Meneliti
hubungan antara kebudayaan dengan keberhasilan pembangunan
- Meneliti dampak/hubungan
antara suatu kebijakan dengan pranata sosial sarta nilai/sikap masyarakat.
- Penelitian mengenai proses ”value
transmission” (penanaman nilai-nilai) pada generasi muda melalui berbagai
pranatan pendidikan dan sosialisasi.
- Mengembangkan
metodologi pengukuran perubahan nilai/sikap
- Melakukan
monitoring dan penilaian terhadap usaha-usaha perubahan nilai-nilai yang sedang berjalan. (Harrison, 2000.
hal xxxii).
Sebagai suatu lembaga ilmiah dibidang Ilmu-Ilmu
Sosial seyogyanya FISIP-UI ikut ambil bagian dalam studi-stidi semacam itu.
Lngkah ini dapat dimulai dengan mengambil Kota Depok sebagai suatu Laboratorium
Sosial[9]
V.
Kesimpulan
1.
Masyarakat
Indonesia kini telah tertinggal oleh masyarakat lain di dunia (bahkan juga oleh
negara tetangga). Budaya kita telah terkalahkan,
oleh karena itu kita harus melakukan suatu pembangunan yang mampu membangkitkan
budaya kita.
2.
Krisis budaya kita telah cukup
mendalam, hal ini nampak dari beberapa gejala yang patut kita kaji lebih
mendalam dan dengan jujur bisa kita cari jalan keluarnya.
3.
Pembangunan Sosial-Budaya
selalu berada dibawah bayang-bayang pembangunan Ekonomi, sehingga sering
tertinggalkan atau tidak dianggap penting. Pemerintah merasa telah membangun
aspek sosial-budaya, tetapi pengertian tersebut masih belum tepat. Kita membutuhkan
Rencana Pembangunan Sosial-Budaya yang bersifat sosietal (menjiwai seluruh
aspek atau sector pembangunan lainnya).
4.
Pembangunan Berbasis Nilai
merupakan suatu konsep yang belum dimaknai secara benar, masih perlu
disosialisasikan dan diperdebatkan secara nasional. Konsep ini harus disepakati
dan didukung oleh political will pemerintah.
Metodologi dan berbagai tehnik lain masih perlu dikembangkan lebih jauh agar
PBN ini benar-benar efektif.
5.
Prinsip Pembangunan Berbasis
Nilai pada dasarnya adalah: setiap pembangunan harus memiliki dasar nilai yang
dicita-citakan. Nilai itu dapat dibentuk dan dikembangkan melalui
kekuatan-kekuatan structural yang
konsisten (kebijakan, Undang-undang, system insentif-disinsentif dan
sebagainya). Perkembangan nilai tersebut harus bisa diukur. Bila tidak ada
perkembangan dari nilai-nilai tersebut di masyarakat, maka pembangunan itu
dianggap telah gagal dan harus dikoreksi dimasa depan.
**********
Daftar Pustaka.
Bernstein, H. (ed)”Underdevelopment and
Development: The Third World Today”. Hamondsworth: Penguin Bookst Ltd. 1973
Franks A.G. “Capitalism and
Underdevelopment in Latin America”, New York
and London .
Monthly Review Press, 1969.
Landes, David. “The Wealth and Poverty
of Nations”, New York :
Norton, 1998.
Harrison, Lawrence E. and Samuel P.
Huntington (ed.) “Cuture Matters: how values shape Human progress..
Basic Books, New York
20
Cardoso, F.H. and Enzo Falleto “Dependency
and Development in Latin America ” . Berkeley : Univerity of
Califormia Press 1979.
Sachs, Jefrey and Andrew Warner, “Natural
Resource Abundance and Economic Growth” National Bureau of Economic Research, Cambridge ,Mass 1995
Inkeles, Alex. And David Smith “Becoming
modern.” Boston
Little Brown. 1974.
Macionis, Joh. J. “Sociology”,
Pearson International Edition. New
Jersey , 2007.
******
* Dipresentasikan
dalam rangka pidato ilmiah pada acara “Dies Natalis FISIP-UI th 2010). Makalah
ini dikembangkan dari tulisan dengan judul sama yang pernah diterbitkan dalam
buku :”UI untuk bangsa” (2009). Dalam tulisan ini terdapat
banyak catatan tambahan.
[1] Dinosaurus menguasai planet ini selama 160 juta tahun, kemudian musnah. Manusia
baru menguasai planet ini 250.000 th. Manusia sebagai mahluk yang jauh lebih
cerdas dan memiliki kebudayaan yang jauh lebih canggih akankah bertahan lebih
lama?, atau justru lebih cepat? Semua ini tergantung dari pilihan dari satu
spesias diantara 30 juta spesiel lain yang menghuni planet ini, yaitu: manusia
(Macionis, 2007. hal 606) Kebudayaan
manusia adalah hasil pilihan, tetapi
pilihan manusia ditentukan oleh Kebudayaan!!
[2] Setelah banyak
bangsa “Dunia
Ketiga” berubah menjadi bangsa ”Dunia
Pertama” (Korea, Singapore, Taiwan dsb.) dan matinya komunisme di Eropa Timur, serta berubahnya
komunis Cina menjadi Kapitalis, (lihat David Landes 1998 dan Harrison 2000),
maka teori kolonialisme dan dependensia telah banyak kehilangan relevansinya.
Dalam kondisi seperti ini ditambah lagi bahwa Teori rasisme dan teori geografis
juga tidak dapat memberikan penjelaskan yang memuaskan mengapa ada
bangsa-bangsa yang tertinggal dalam pembangunan, maka penjelasan Budaya yang dulu pernah pudar seiring
“bangkrutnya” teori Modernisasi kini muncul lagi ke permukaan. Tetapi pendekatan
ini nampaknya tidak akan mengulang lagi kesalahan teori modernisasi (lama) yang telah banyak
dikritik karena sangat bias pada mayarakat Barat (etnosentris).
[3] Carlos Alberto Montainer menggambarkan bahwa di Argentina
terdapat nilai-nilai yang bersifat ”development
resistance”, tetapi nilai-nilai ini justru sering dimanfaatkan oleh kaum elit politik dan perilaku elit ini
justru yang menyebar mempengaruhi
masyarakat luas.Keadaan ini juga yang
kita alami pada masa Soeharto.
[4] Pembangunan Sosial-Budaya bahkan lebih
mendasar dari sekedar pengentasan kemiskinan. Walaupun kemiskinan
menyangkut degradasi kwalitas manusia
secara luas, akan tetapi sebenarnya pembangunan yang berjalan selama ini telah
menghasilkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari kemiskinan yaitu
“kerusakan sendi-sendi kehidupan sosial-budaya manusia” seperti peperangan,
kekerasan, terorisme, penindasan, perdagangan manusia, pendeknya hal-hal
yang menyangkut degradasi moral dan
etika bermasyarakat. Ini semua merupakan isu pokok “pembangunan sosial”, jadi
jauh lebih luas dan lebih dalam dari sekedar kemiskinan
[5] Robert Edgerton (dalam Harrison 2000) - seorang
antropolog - percaya bahwa suatu budaya lokal tidak selalu baik atau
menguntungkan masyarakat setempat (seperti sering dikatakan oleh aliran cultural relativism), sehingga mengikuti
logika ini suatu budaya lokal dapat saja dirubah.
[6] Perlawanan-perlawan budaya sebetulnya
sekarang sudah banyak terjadi secara kecil-kecilan di masyarakat yakni untuk melawan dominasi produk-produk
industri besar yang tidak sehat dan merusak lingkungan melalui suatu perubahan
gaya hidup seperti menolak penggunaan kantong plastik, kampanye ”makanan sehat”
dsb.
[7] Dengan Pembangunan yang berorientasi Pertumbuhan, secara peradaban, manusia di dunia saat ini sebetulnya
hampir tidak mengalami kemajuan terutama dalam insting dasarnya
(kerakusan, agresivitas, kekerasan), juga dalam martabatnya karena
mengalami pengangguran, kemiskinan, penganiayaan, penghisapan, peperangan dsb.
[8] Di Peru, lembaga yang bernama “Institute of Human Development” telah
mengembangkan program penanaman nilai-nilai bagi masyarakat Per yang diberi
nama ”Ten Commandment of Development” yang isinya: keteraturan, kebersihan, ketepatan
waktu, tanggungjawab, prestasi, kejujuran, hormat pada hak orang lain, mematuhi
hukum, etika kerja dan hemat.(Harrison, 2000 hal 303).
[9] Pada saat ini Laboratorium Sosiologi
FISIP-UI sedang melakukan suatu kerjasama dengan Pemkot Depok untuk menyusun
Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya (RUPSB). Melalui kerjasam ini Departemen
Sosiologi difasilitasi untuk melakukan pengumpulan data serta berbagai kegiatan pengkajian sosial di
berbagai bidang. Hasil akhir dari program ini adalah suatu dokumen Perencanaan
Sosial-Budaya Kota Depok beserta indikator pencapaiannya. Bila pola kerjasama
ini diikuti oleh seluruh komponen FISIP-UI niscaya Pembagunan Berbasis Nilai
akan lebih cepat terealisasikan dan kita akan dapat memberikan kontribusi
ilmiah di tingkat dunia.