Jumat, 01 November 2013

Pembangunan Berbasis Nilai*

Paulus Wirutomo
Departemen Sosiologi
UI

I.                   Pendahuluan:
            Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan “pola tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat. 
          Jelas dari uraian diatas bahwa kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat, sehingga sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog  menganut faham  cultural determinism yang percaya bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya[1]. Di dalam perkembangan teori sosiologi Pembangunan terdapat banyak pandangan tentang faktor penyebab kemajuan ataupun keterbelakangan suatu bangsa seperti kelompok aliran teori Modernisasi (Parsons, Inkeles, Rostow, Hozellits, David Mc Clelland dsb.), yang menekankan pada faktor nilai-nilai budaya. Aliran Dependensia (Gunder Franks 1969, Cardoso dan Falleto 1976, Samin Amir, dsb.) yang menekankan pada faktor struktural seperti penjajahan serta kebijakan atau tindakan eksploitatif. Ada pula kelompok yang percaya pada kekuatan faktor geografi dan iklim (misalnya Jeffrey Sachs, 1995).      Pada th 2000 Lawrence Harrison dan Samuel Huntington dalam bukunya “Culture Matters: how values shape human progress” membangkitkan kembali argumen bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia (Harrison and Huntington, 2000).[2] Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan.  Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.
          Perbandingan  yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang. Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang sama-sama berkebangsaan melayu dan  merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan kita. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture).
          Apakah benar kita merupakan masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang? Apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism? Pada derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah menggambarkan bahwa bangsa kita memang memiliki kemiskinan budaya (cultural deficiency) seperti antroplog terkenal Koentjaraningrat serta budayawan terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an. Bila hal itu benar, apakah karakter  budaya tersebut bersifat melekat (inherent) pada masyarakat kita,  apakah kebudayaan itu tidak mungkin kita rubah dan  kita bangun kembali? Mungkin pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah:”Apakah kita sebagai sebuah bangsa memang  telah membangun kebudayaan kita selama ini?”.  Apakah Pembangunan di negeri  kita yang pernah dijuluki sebagai “the Asian miracle” ini telah termasuk  membangun juga kwalitas kebudayaan kita?, atau kita hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?.
          Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang mampu merubah system nilai yang hidup di masyarakat kita agar nilai budaya itu  tidak menjebak kita dalam suatu pola kehidupan yang dekaden.

II.                Analisis situasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.

          Bila kita bertanya apa hasil pembangunan di masa Orde Baru hingga sekarang, maka kita pada kita hanya akan disajikan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar panjang sejumlah sarana-prasarana fisik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita? Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah kita menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya: ”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?. Sebagian besar orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah diukur, apalagi dipertanggungjawabkan oleh pimpinan negara. Beberapa gejala menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia saat ini adalah:

         Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual

         Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis  sebenarnya memiliki nilai-nilai luhur, secara nasional kita memiliki Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah di Bumi Nusantara ini juga punya nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu hanya merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti  materialisme, pragmatisme, egoisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness, opportunisme, primordialisme, dogmatisme dan lain sebagainya. Nilai-nilai inilah yang secara nyata mengendalikan dan mengarahkan hidup kita sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan “survival” di jaman modern saat ini. Ini semua adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dengan nilai actual, tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan seringkali diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafik atau hipokrit. Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu[3]. Di masa reformasi bangsa ini bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan dikalangan sipil semakin marak, termasuk yang berkedok organisasi keagamaan. Semua parpol bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat “kekerasan dan penyiksaan” terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke sekolah menengah dsb.

         Inkonsistensi antar agen sosialisasi

         Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan pranata sosial lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan  berbasis agama dan adat)  berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis pada kebijakan pemerintah atau kurikulum yang sudah ditetapkan pemerintah). Nilai yang diajarkan disekolah juga tidak sama dengan nilai yang berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih didominasi oleh nilai-nilai KKN (semua orang tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah korupsi yang dilakukan bersama-sama secara sistemik, sering disebut sebagai “grouped corruption”). Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang semakin menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas membawa masyarakat pada system nilai yang amat pragmatis dan hedonis. Berbagai kekuatan agent of socialization ini bertemu dalam ruang publik yang “tak bertuan” (karena tidak ada pihak yang melindungi atau mengaturnya termasuk pemerintah). Akhirnya institusi yang kuat akan meng-hegemoni yang lain, maka nilai-nilai yang paling pragmatis, materialistis dan mengagungkan kenikmatan (hedonistic)-lah yang nampaknya akan menang!.

          Institusionalisasi tanpa internalisasi

          Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia  ingin melakukan perombakan nilai-nilai Orde Baru yang dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode yang relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan produk-produk hukum yang baru. Akan tetapi pelembagaan  (institusionalisasi) hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi). Misalnya UU Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai demokrasi pada masyarakat luas baik melalui kehidupan di keluarga, komunitas, sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala “institusionalisasi tanpa internalisasi”, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan supremasi hukum tanpa menjiwai nilai keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu tidak akan memiliki rasa bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ). Disamping hilangnya rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu terhadap sesamanya, ini disebabkan karena kekuatan “kontrol sosial” mulai memudar dikalangan masyarakat, bahkan yang terjadi anggota  masyarakat melakukan pelanggaran norma secara bersama-sama (korupsi “berjamaah”). Banyak orang mengatakan kita sudah kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem” yang bisa menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap hukuman atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat gejala bahwa banyak orang kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum dapat dibeli, dan “diatur”. Bila ketiga “rasa” tadi sudah memudar, darimanakah kita akan memulai penegakan hukum kita?


III. Pembangunan Sosial-Budaya.
         Perdebatan tentang mana yang lebih penting pembangunan ekonomi dan fisik atau pembangunan sosial-budaya merupakan perdebatan klasik yang tiada hentinya. Walaupun pembangunan ekonomi dan fisik pada kenyataannya lebih dominan dan menjadi prioritas, pemerintah selalu menyatakan bahwa pembangunan sosial-budaya tidak diabaikan, tetapi pembangunan sosial-budaya seperti apa?.  Pembangunan sosial-budaya yang telah dilakukan pemerintah memiliki beberapa pengertian yaitu:
1)      Pembangunan sosial budaya adalah  “pembangunan sektor sosial-budaya”   (yaitu sektor yang outputnya bukan uang atau barang tetapi peningkatan kwalitas manusia atau kesejahteraan sosial) misalnya: sektor pendidikan, kesehatan, agama dsb. Pembangunan sektoral ini memang penting sekali, tetapi secara sosiologis terdapat pertanyaan yang lebih mendalam yaitu: apakah pembangunan sektor sosial tsb. telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya?. Misalnya apakah pembangunan sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia? (bukan hanya sekedar menghasilkan kelulusan dan sertifikat), apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat? (bukan sekedar menambah jumlah tempat tidur di RS atau jumlah dokter spesialis yang semakin canggih), apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan antar umat? (bukan sekedar menambah jumlah fasilitas ibadah). Pada kenyataannya pembangunan ”sektor sosial” masih belum mencukupi, karena belum mencakup pembangunan budaya atau nilai-nilai dalam arti yang sebenarnya. 
2)      Pembangunan sosial budaya sering diasumsikan akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari pembangunan ekonomi (misalnya akan meningkatnya etos kerja, profesionalisme, kewirausahaan dsb.) Asumsi ini sebagian benar, tetapi pemerintah perlu juga mewaspadai bahwa pembangunan ekonomi dan fisik sering juga menghasilkan dampak sosial-budaya negatif (berkembangnya nilai-nilai hedonisme, individualisme, dehumanisasi, melemahnya kemandirian bangsa dan menguatnya mental ketergantungan pada produk asing seperti yang kita rasakan saat ini). Pemerintah tidak boleh menganggap hal ini sekedar sebagai social cost yang wajar dan harus diterima, akan tetapi kita perlu melawan kondisi ini dengan “pembangunan nilai-nilai”.
3)      Pembangunan sosial-budaya sering diartikan sebagai upaya konservasi (sekedar mengawetkan budaya lama). Kegiatan ini sering hanya dilandasi oleh romantisime masa lalu. Secara politis program ini sering berfungsi sebagai aksesoris yaitu untuk memberi kesan bahwa regim yang sedang berkuasa cukup mempunyai “penghargaan” terhadap produk budaya klasik yang bernilai sejarah. Pembangunan bidang ini biasanya tidak memperoleh dana yang besar kecuali jika konservasi tersebut dipandang menguntungkan sebagai investasi kepariwisataan.
4)      Pembangunan budaya sering juga diartikan sebagai pembangunan nilai yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi, jadi tujuan pembangunan yang utama adalah ekonomi. Nilai-nilai yang dikembangkan hanya untuk menopang pembangunan ekonomi. (mis. Sikap tertib, patuh, disiplin,  partisipatif dsb.).
5)      Disamping nilai-nilai yang biasanya lebih diorientasikan pada Pembangunan ekonomi diatas, Pembangunan nilai seyogyanya diarahkan pada tujuan utama dari pembangunan kwalitas manusia dan interaksi manusia misalnya pengembangan nilai-nilai keadilan (fairness), kerukunan (inclusiveness, brotherhood, communitarian), kepedulian (social responsibility, care), kemandirian (self reliance, independence bukan egoistic individualism), kejujuran (trustability, honesty, sincerety), sinergi  (maju bersama dengan prinsip win-win solution dan synthetic energy bukan sekedar kompromi, koalisi atau kolusi).  Pembangunan budaya (nilai-nilai) jenis inilah yang terutama akan ditekankan pada ”Pembangunan Sosial-Budaya”, karena tujuannya adalah meningkatkan kwalitas interaksi, sikap dan perilaku manusia yang dapat mengarah pada suatu bentuk masyarakat adab.[4]
          Jadi, pembangunan budaya mungkin sudah dilakukan oleh semua negara atau bangsa, tetapi kita perlu melihat lebih jauh pembangunan budaya yang seperti apa? Dari 5 jenis pembangunan kebudayaan yang ada, sebaiknya kita tidak memilih salahsatu daripadanya, tetapi semuanya dan semangatnya harus bermuara pada yang terakhir (nomer 5).
          Pembangunan budaya sendiri masih mengalami berbagai hambatan karena terdapat berbagai persepsi atau anggapan yang berbeda, misalnya sering  orang menganggap   alam merupakan faktor penentu dari terbentuknya budaya (misalnya daerah tropik menciptakan budaya santai dsb.). Kini banyak bangsa atau negara di daerah tropik yang punya budaya dinamis seperti negara non tropis. Kekuatan yang dapat merubah budaya adalah sense of direction dari masyarakat bersangkutan (seperti Singapore sebagai suatu negara kecil yang hanya bisa mengandalkan manusia dan budaya). Menurut faham cultural relativism tidak ada budaya yang buruk atau baik. Budaya Amerika baik untuk masyarakat Amerika bukan untuk masyarakat Indonesia, itu mungkin benar, tetapi faham ini tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari usaha memperbaiki degradasi system nilai yang terjadi di masyarakat kita[5]. Unsur-unsur kebudayaan kita yang buruk perlu kita rubah dan kita buang dan unsur budaya lain yang baik bisa kita pelajari dan adopsi, namun isue mengenai perencanan pembangunan budaya sering mengundang kontroversi mengenai  konsep cultural engineering. Sebagian orang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mengalir secara alamiah seperti sungai mencari jalannya sendiri. Tidak seorangpun termasuk pemerintah, berhak merekayasa kebudayaan kearah tertentu. Menciptakan suatu “blue print” budaya bagi seluruh masyarakat adalah tidak etis dan tidak sesuai dengan HAM. Memang benar kebudayaan merupakan hasil negosiasi sehari-hari dari berbagai kekuatan sosial dan factor-faktor  lingkungan lain yang mempengaruhi kehidupan manusia (”social order is a negotiated order”), tetapi dalam kenyataan, ternyata kekuatan dari berbagai actor itu berbeda-beda, sehingga hampir semua kebudayaan di dunia saat ini jatuh dalam suatu  scenario yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (para hegemon). Pada jaman modern ini kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtivisme yang amat kuat dan  merajalela (overwhelming). Pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan yang telah menghasilkan tiga krisis besar didunia yakni: “kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan” adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu.  Jadi sebenarnya ”cultural engineering” sudah dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini.   Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan itu, ataukah akan melawan secara budaya? Tidakkah mungkin masyarakat umum (civil society) bersama pemerintah merancang suatu scenario ”perlawanan budaya” tandingan yang mampu mengembalikan manusia dari  gejala “dehumanisasi” ini ? [6]

           Pembangunan National Character?

           Konsep National Character bukan lagi untuk sekedar menyeragamkan semua daerah atau mengembangkan chauvinisme (fanatisme budaya nasional), tetapi yang lebih penting  adalah membangun system nilai instrumental (yang bersifat universal) yang dapat membangun kapasitas bangsa ini untuk maju dan bertahan hidup secara bermartabat dalam persaingan dunia yang semakin keras. Perlu ada tekad nasional untuk mengembangkan secara konsisten nilai-nilai strategis tertentu yang bukan saja dapat membangkitkan perekonomian yang memakmurkan rakyat, tetapi juga membangun peradaban yang mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.  Semua daerah di Nusantara ini harus tetap memiliki ruang untuk bisa mempertahan karakternya masing-masing, namun sebagai bangsa yang tergabung dalam suatu negara kesatuan kita perlu punya kesepakatan sistem nilai instrumental yang akan dikembangkan bersama. Dalam hal ini peran Negara penting untuk membangun kebijakan dan regulasi yang mampu menjadi kekuatan ”incentive dan disincentive” (structural constraints)  sehingga semua institusi sosial dalam tataran Nasional dapat mengarahkan pola perilaku masyarakat menuju suatu arah  strategis tertentu.

IV.             Pembangunan Berbasis Nilai.
             Rejim Orba pernah melakukan  usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering karena nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara rapih dari atas, metodenyapun telah dirancang secara baku. Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah ditentukan. Tingkat paksaan (koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental, sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak baik (berbahaya). Nilai-nilai itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian terbesar digunakan untuk meningkatkan konformitas dogmatis terhadap rejim, sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses pelembagaan (institusionalisasi) P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari kegagalan P4 sekarang justru nilai-nilai Pancasila yang masih amat berguna bagi bangsa ini menjadi korban ketidak percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan bahwa bangsa ini tidak perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai.  
          Bangsa Korea dibawah Park Chung Hee pernah melakukan suatu gerakan pengembangan nilai-nilai untuk membangkitkan kembali bangsa Korea dari keterpurukan mental dari penjajahan Jepang. Gerakan Semaul Undong itu difokuskan pada pengembangan tiga nilai yang dianggap paling strategis bagi bangsa Korea pada saat itu yaitu: diligence (kerajinan atau kerja keras), self reliance (kemandirian) dan cooperation (kerjasama atau gotong royong). Ini semua bukan nilai  dasar (ultimate atau basic values), tetapi nilai instrumental yang sifatnya strategis untuk dikembanghkan pada masa itu. Gerakan Semaul Undong adalah gerakan yang didukung sepenuhnya oleh pimpinan nasional  dilakukan secara sistematis dan konsisten. Keberhasilan semua program pembangunan (termasuk ekonomi dan fisik) dikaitkan dengan pengembangan ketiga nilai tersebut. Karena komitmen yang tinggi dari semua komponen bangsa, maka gerakan itu bisa dibilang berhasil dan merupakan salah satu faktor yang membentuk bangsa Korea menjadi seperti sekarang ini
          Melihat keberhasilan Korea dalam membangun nilai-nilai, maka kita harus merasa optimis untuk dapat melakukan hal serupa. Kita semua menyadari bahwa  dalam proses melakukan pembangunan nasional, kondisi budaya kita justru terus mengalami kemerosotan. Kita perlu melakukan suatu pengembangan orientasi budaya yang baru dan ini tidak cukup hanya dengan merumuskan suatu strategi kebudayaan, kita harus lebih jauh lagi melakukan suatu perencanaan pembangunan sosial budaya yang lebih konkrit dan eksplisit.
          Pembangunan Berbasis Nilai adalah suatu pembangunan seluruh aspek kehidupan bangsa (ekonomi, politik fisik, sosial dan budaya) yang dilandasi oleh  nilai tertentu. Keberhasilan pembangunan ini bukan hanya dilihat dari pencapaian kwantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan demikian pembangunan ini tidak hanya bersifat “growth oriented”, tetapi berbasis nilai atau “value based”[7]. Pembangunan nilai-nilai itu tidak boleh hanya ditugaskan pada Departemen Pendidikan saja, karena pembangunan budaya ini bukan merupakan pembangunan sektoral, tetapi harus  bersifat  sosietal (mencakup seluruh bidang kehidupan).

Lagkah-langkah Pembangunan Berbasis Nilai :
1)      Para budayawan bersama ilmuwan dan tokoh masyarakat bersepakat untuk merumuskan kondisi budaya bangsa saat ini, apa kekuatan yang kita miliki dan apa kelemahan yang ada. Dalam hal ini Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI dapat mengambil inisiatif untuk melakukan penelitian ilmiah mengenai hal ini, sehingga dapat memudahkan para tokoh masyarakat merumuskan suatu kesepakatan nasional.
2)      Pimpinan Nasional  (presiden dan parlemen) harus menindaklanjuti dengan  menggalang suatu konsensus nasional untuk mengembangkan nilai-nilai strategis tertentu yang paling diperlukan oleh bangsa ini untuk dapat menjawab tantangan jaman pada masa kini.
3)      Nilai-nilai yang akan dikembangkan adalah nilai instrumental yang strategis (strategic instrumental values) yang tentu saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ( ultimate values) yakni Pancasila, bahkan bila instrumental values ini bisa dikembangkan, maka akan menunjang tercapainya nilai-nilai dasar tersebut.
4)      Perumusan nilai-nilai strategis perlu dilakukan dengan proses bottom-up yakni mendengar aspirasi dan masalah-masalah konkrit di masyarakat (dan berdasar kajian ilmiah yang seyogyanya dilakukan oleh FISIP-UI). Nilai-nilai itu kemudian perlu dirumuskan oleh kelompok pakar, budayawan, pemimpin agama dan adat dsb.
5)      Nilai yang akan dikembangkan dalam suatu kurun waktu tertentu sebaiknya tidak terlalu banyak tetapi terfokus pada beberapa (2 atau 3) nilai strategis yang benar-benar perlu dikembangkan dalam masyarakat kita saat ini untuk mengejar ketertinggalan bangsa kita dari masyarakat lainnya.[8]  
6)      Nilai-nilai tersebut harus dirumuskan secara singkat, popular, mudah diingat oleh semua orang dan memang benar-benar mengena dihati sanubari masyarakat kita. Misalnya nilai anti korupsi (kejujuran), nilai kerukunan dan nilai kemandirian.
7)      Nilai-nilai itu perlu didefinisikan secara operasional kedalam butir-butir yang dapat dicapai dan diukur oleh masyarakat (indikator).
8)      Setiap akhir tahun perkembangan nilai-nilai tsb. harus dievaluasi oleh lembaga professional yang indipenden (non pemerintah) pada masing-masing sektor pembangunan (pendidikan, kesehatan, industri, perdagangan, politik, hukum dsb.). Contoh: nilai kerukunan harus dikembangkan dibidang pendidikan, tetapi bidang-bidang lain seperti politik, hukum, bahkan perdagangan atau industri juga harus menunjang nilai kerukunan (dalam mengatasi masalah perburuhan). Kemandirian harus dikembangkan disekolah, tetapi sector lain seperti Perbankan juga harus mengembangkan kemandirian dengan menyediakan kredit bagi pengusaha kecil agar mereka  menjadi mandiri (tidak tergantung dari lapangan kerja yang diberikan oleh investor asing). Cara memperoleh pelayanan kesehatan juga harus menghasilkan sikap masyarakat yang mandiri. Perdagangan dan industri juga harus mengembangkan sikap kemandirian dengan lebih mengandalkan produk dalam negeri. Bahkan secara nasional pemerintah harus berani mengurangi hutang luar negeri sebagai perwujudan dari sikap mandiri. 
9)      Hasil evaluasi dari program yang telah dilakukan oleh setiap Departemen harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan oleh setiap menteri dan akhirnya secara nasional dipertanggungjawabkan oleh presiden pada rakyatnya.
10)  Sebagai konsekwensi dari otonomi, setiap daerah bisa mengembangkan nilai khas yang dianggap penting bagi daerah yang bersangkutan, tetapi sebaiknya nilai tingkat nasional tetap menjadi acuan setiap daerah agar terdapat konsistensi nilai secara nasional.
11)  Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan pada setiap warga negara bukan hanya dengan bentuk ceramah atau penataran, tetapi dengan tindakan seperti:
Ø  keteladanan pemimpin mulai nasional sampai daerah, guru-guru disekolah
Ø  pertunjukkan drama, film, wayang, sinetron dsb.
Ø  Iklan layanan masyarakat
Ø  Kegiatan-kegiatan nyata seperti olahraga, kesenian, pertandingan.
Ø  Pemberian penghargaan (menciptakan role model)
Ø  Program-program pembangunan seperti kredit bagi usaha kecil, bantuan dana dampingan untuk komunitas di kota maupun diperdesaan.
Ø  Program insentif atau disinsentif bagi dunia swasta.
Ø  Kontrol sosial dengan hukum formal sampai hukuman sosial (mempermalukan dsb.).
Ø  Kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kemandirian (mis. mengurangi hutang luar negeri).
Ø  Dan sebagainya (tergantung dari kreativitas kita).
Saat ini banyak bangsa-bangsa di dunai yang ingin mengembangkan kebudayaan nasional mereka yang bisa menunjang keberhasilan pembangunan Nasional. Simposium ”Cultural Values and Human Progress” yang diselenggarakan oleh Harvard Academy for International and Area Studies pada tahun 1998 telah menyepakati suatu agenda riset untuk mendukung usaha ini, yang berisi:
  1. Penyusunan  tipologi nilai dan sikap yang mendorong maupun menghambat pembangunan.
  2. Meneliti hubungan antara kebudayaan dengan keberhasilan  pembangunan
  3. Meneliti dampak/hubungan antara suatu kebijakan dengan pranata sosial sarta nilai/sikap masyarakat.
  4.  Penelitian mengenai proses ”value transmission” (penanaman nilai-nilai) pada generasi muda melalui berbagai pranatan pendidikan dan sosialisasi.
  5. Mengembangkan metodologi pengukuran perubahan nilai/sikap
  6. Melakukan monitoring dan penilaian terhadap usaha-usaha perubahan nilai-nilai  yang sedang berjalan. (Harrison, 2000. hal xxxii).
Sebagai suatu lembaga ilmiah dibidang Ilmu-Ilmu Sosial seyogyanya FISIP-UI ikut ambil bagian dalam studi-stidi semacam itu. Lngkah ini dapat dimulai dengan mengambil Kota Depok sebagai suatu Laboratorium Sosial[9]

V.                Kesimpulan


1.      Masyarakat Indonesia kini telah tertinggal oleh masyarakat lain di dunia (bahkan juga oleh negara tetangga). Budaya kita telah terkalahkan, oleh karena itu kita harus melakukan suatu pembangunan yang mampu membangkitkan budaya kita.
2.      Krisis budaya kita telah cukup mendalam, hal ini nampak dari beberapa gejala yang patut kita kaji lebih mendalam dan dengan jujur bisa kita cari jalan keluarnya.
3.      Pembangunan Sosial-Budaya selalu berada dibawah bayang-bayang pembangunan Ekonomi, sehingga sering tertinggalkan atau tidak dianggap penting. Pemerintah merasa telah membangun aspek sosial-budaya, tetapi pengertian tersebut masih belum tepat. Kita membutuhkan Rencana Pembangunan Sosial-Budaya yang bersifat sosietal (menjiwai seluruh aspek atau sector pembangunan lainnya).
4.      Pembangunan Berbasis Nilai merupakan suatu konsep yang belum dimaknai secara benar, masih perlu disosialisasikan dan diperdebatkan secara nasional. Konsep ini harus disepakati dan didukung oleh political will pemerintah. Metodologi dan berbagai tehnik lain masih perlu dikembangkan lebih jauh agar PBN ini benar-benar efektif.
5.      Prinsip Pembangunan Berbasis Nilai pada dasarnya adalah: setiap pembangunan harus memiliki dasar nilai yang dicita-citakan. Nilai itu dapat dibentuk dan dikembangkan melalui kekuatan-kekuatan structural yang konsisten (kebijakan, Undang-undang, system insentif-disinsentif dan sebagainya). Perkembangan nilai tersebut harus bisa diukur. Bila tidak ada perkembangan dari nilai-nilai tersebut di masyarakat, maka pembangunan itu dianggap telah gagal dan harus dikoreksi dimasa depan.
                                                                       **********

Daftar Pustaka.
Bernstein, H. (ed)”Underdevelopment and Development: The Third World Today”.  Hamondsworth: Penguin Bookst Ltd. 1973

Franks A.G. “Capitalism and Underdevelopment in Latin America”, New York and London. Monthly Review Press, 1969.

Landes, David. “The Wealth and Poverty of Nations”, New York: Norton, 1998.

Harrison, Lawrence E. and Samuel P. Huntington (ed.) “Cuture Matters: how values shape Human progress.. Basic Books, New York 20

Cardoso, F.H. and Enzo Falleto “Dependency and Development in Latin America” . Berkeley : Univerity of Califormia Press 1979.

Sachs, Jefrey and Andrew Warner, “Natural Resource Abundance and Economic Growth”  National Bureau of Economic Research, Cambridge ,Mass 1995
Inkeles, Alex. And David Smith “Becoming modern.” Boston Little Brown. 1974.

Macionis, Joh. J. “Sociology”, Pearson International Edition. New Jersey, 2007.

******


* Dipresentasikan dalam rangka pidato ilmiah pada acara “Dies Natalis FISIP-UI th 2010). Makalah ini dikembangkan dari tulisan dengan judul sama yang pernah diterbitkan dalam buku :”UI untuk bangsa” (2009). Dalam tulisan ini terdapat banyak catatan tambahan.



[1] Dinosaurus menguasai planet ini selama 160 juta tahun, kemudian musnah. Manusia baru menguasai planet ini 250.000 th. Manusia sebagai mahluk yang jauh lebih cerdas dan memiliki kebudayaan yang jauh lebih canggih akankah bertahan lebih lama?, atau justru lebih cepat? Semua ini tergantung dari pilihan dari satu spesias diantara 30 juta spesiel lain yang menghuni planet ini, yaitu: manusia (Macionis, 2007. hal 606)  Kebudayaan manusia adalah hasil pilihan, tetapi pilihan manusia ditentukan oleh Kebudayaan!!
[2] Setelah banyak bangsa “Dunia Ketiga” berubah menjadi bangsa  ”Dunia Pertama” (Korea, Singapore, Taiwan dsb.) dan  matinya komunisme di Eropa Timur, serta berubahnya komunis Cina menjadi Kapitalis, (lihat David Landes 1998 dan Harrison 2000), maka teori kolonialisme dan dependensia telah banyak kehilangan relevansinya. Dalam kondisi seperti ini ditambah lagi bahwa Teori rasisme dan teori geografis juga tidak dapat memberikan penjelaskan yang memuaskan mengapa ada bangsa-bangsa yang tertinggal dalam pembangunan, maka penjelasan  Budaya yang dulu pernah pudar seiring “bangkrutnya” teori Modernisasi kini muncul lagi ke permukaan. Tetapi pendekatan ini nampaknya tidak akan mengulang lagi kesalahan  teori modernisasi (lama) yang telah banyak dikritik karena sangat bias pada mayarakat Barat  (etnosentris).
[3] Carlos Alberto Montainer menggambarkan bahwa di Argentina terdapat nilai-nilai yang bersifat ”development resistance”, tetapi nilai-nilai ini justru sering dimanfaatkan  oleh kaum elit politik dan perilaku elit ini justru yang  menyebar mempengaruhi masyarakat luas.Keadaan  ini juga yang kita alami pada masa Soeharto.
[4] Pembangunan Sosial-Budaya bahkan lebih mendasar dari sekedar pengentasan kemiskinan. Walaupun kemiskinan menyangkut  degradasi kwalitas manusia secara luas, akan tetapi sebenarnya pembangunan yang berjalan selama ini telah menghasilkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari kemiskinan yaitu “kerusakan sendi-sendi kehidupan sosial-budaya manusia” seperti peperangan, kekerasan, terorisme, penindasan, perdagangan manusia, pendeknya hal-hal yang  menyangkut degradasi moral dan etika bermasyarakat. Ini semua merupakan isu pokok “pembangunan sosial”, jadi jauh lebih luas dan lebih dalam dari sekedar kemiskinan
[5] Robert Edgerton (dalam Harrison 2000) - seorang antropolog - percaya bahwa suatu budaya lokal tidak selalu baik atau menguntungkan masyarakat setempat (seperti sering dikatakan oleh aliran cultural relativism), sehingga mengikuti logika ini suatu budaya lokal dapat saja dirubah.
[6] Perlawanan-perlawan budaya sebetulnya sekarang sudah banyak terjadi secara  kecil-kecilan di masyarakat  yakni untuk melawan dominasi produk-produk industri besar yang tidak sehat dan merusak lingkungan melalui suatu perubahan gaya hidup seperti menolak penggunaan kantong plastik, kampanye ”makanan sehat” dsb.
[7]           Dengan Pembangunan yang berorientasi Pertumbuhan, secara peradaban, manusia di dunia saat ini sebetulnya hampir tidak mengalami kemajuan terutama dalam insting dasarnya (kerakusan, agresivitas, kekerasan), juga dalam martabatnya karena mengalami pengangguran, kemiskinan, penganiayaan, penghisapan, peperangan dsb.
[8] Di Peru, lembaga yang bernama   “Institute of Human Development” telah mengembangkan program penanaman nilai-nilai bagi masyarakat Per yang diberi nama ”Ten Commandment of Development” yang isinya: keteraturan, kebersihan, ketepatan waktu, tanggungjawab, prestasi, kejujuran, hormat pada hak orang lain, mematuhi hukum, etika kerja dan hemat.(Harrison, 2000 hal 303). 
[9] Pada saat ini Laboratorium Sosiologi FISIP-UI sedang melakukan suatu kerjasama dengan Pemkot Depok untuk menyusun Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya (RUPSB). Melalui kerjasam ini Departemen Sosiologi difasilitasi untuk melakukan pengumpulan data  serta berbagai kegiatan pengkajian sosial di berbagai bidang. Hasil akhir dari program ini adalah suatu dokumen Perencanaan Sosial-Budaya Kota Depok beserta indikator pencapaiannya. Bila pola kerjasama ini diikuti oleh seluruh komponen FISIP-UI niscaya Pembagunan Berbasis Nilai akan lebih cepat terealisasikan dan kita akan dapat memberikan kontribusi ilmiah di tingkat dunia. 

3 komentar:

  1. Kami adalah perusahaan yang terdaftar, meminjamkan uang kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan mendesak, dan mereka yang telah ditolak kredit dari sana bank karena skor rendah kredit, pinjaman bisnis, pinjaman Pendidikan, mobil pinjaman, kredit rumah, kredit perusahaan (dll), atau untuk membayar utang buruk atau tagihan, atau yang telah scammed oleh pemberi pinjaman sebelum uang palsu? Selamat, Anda berada di tempat yang tepat, dapat diandalkan Pinjaman Perusahaan Ibu Kelly untuk memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang sangat rendah dari 2% telah datang untuk mengakhiri semua masalah keuangan Anda sekali dan untuk semua, untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan hubungi kami melalui email perusahaan kami: (kellywoodloanfirm@gmail.com)
    Terima kasih
    Terima kasih dan Tuhan memberkati
    Ibu kelly

    BalasHapus
  2. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.

    BalasHapus