Minggu, 27 Oktober 2013
Sabtu, 26 Oktober 2013
“TAWURAN” ANTAR REMAJA: SUATU TINJAUAN SOSIOLOGIS
Oleh : Paulus Wirutomo
I. Pendahuluan
Tulisan
ini bukan dimaksudkan sebagai suatu tulisan ilmiah,
ilmiah
suatu tulisan yang berorentasi “problem solving”, karena masalah yang
dibicarakan memang telah sangat mendesak dan memerlukan segera penangan
praktis. Kalau disana sini dipergunakan konsep-konsep sosiologi, itu hanya
dimaksudkan untuk membantu mengidentifikasi masalah tawuran ini secara lebih
sistimatis
“Tawuran” yang diambil dari bahasa
jawa, khususnya Jawa Timur berarti perkelahian massal atau perkelahian
antar kelompok. Tawuran harus dibedakan dengan “perkelahian” biasa, karena
kompleksitasnya berbeda, sebab-sebabnya berbeda, akibat yang ditimbulkan juga
berbeda.
Perkelahian
satu lawan satu normal terjadi sebagai salah satu cara memecahkan masalah antar
pribadi, sasaran dari perkelahian seperti itu jelas yakni lawan berkelahinya,
bukan orang lain atau benda-benda disekitarnya. Ada kesadaran dari kedua belah
pihak artinya mereka tidak di pengaruhi oleh psikologi massa. Perkelahian satu
lawan satu bahkan sering dipandang oleh banyak kebudayaan sebagai lambang dari
kejantanan, ke-satriaan, keberanian mempertahankan hak dan harga diri. Para
pemuda masa kinipun ternyata masih menilai tinggi keberanian dan kejantanan
seperti itu. Karena sifatnya yang pribadi, maka perkelahian bukanlah merupakan
indikator dari masalah sosial.
Berbeda
dengan perkelahian biasa, tawuran adalah suatu fenomena yang tergolong patologis
dan memiliki kompleksitas yang jauh lebih tinggi. Tawuran mengandung
sifat-sifat sbb:
q Pertama-tama
tawuran adalah suatu hasil dari adanya solidaritas yang tinggi dari
suatu kelompok, tetapi sekaligus tawuran mengandung suatu gejala konflik
sosial yang laten dan agresivitas negatif pada pribadi individu yang
bersangkutan.
q Sasaran
dari tawuran adalah tidak terlalu jelas bagi si pelaku itu sendiri. Siapa yang
sebenarnya menjadi musuhnya, individu tertentu, kelompok atau seluruh
masyarakat. Karena itu sasaran serangan dari tawuran biasanya membabi buta dan
merugikan kelompok-kelompok lain.
q Kebrutalan
tawuran seringkali berkaitan dengan hilangnya kesadaran para pelaku entah
karena pengaruh psikologi massa, hysteria atau karena pengaruh zat kimia lain
(mis. minuman keras).
q Tawuran
dapat mengembangkan suatu sifat keberanian yang semu pada diri remaja, karena
mereka bersembunyi dalam kelompok dan dalam kemelut. Tawuran juga merusak
karena dalam kemelut itu tidak ada lagi aturan.
Tawuran
merupakan sutau gejala dari adanya
masalah sosial lain
yang kompleks dan sekaligus
tawuran itu sendiri menghasilkan masalah sosial secara langsung (kekacauan,
kerusakan, kematian dsb). Jadi sebagai suatu masalah sosial jelas tawuran itu
sendiri harus dicegah tetapi sebagai suatu indikator dari permasalahan sosial
yang lebih luas, kita harus berusaha menelusuri secara teliti dan kritis
rangkaian penyebabnya dan kemudian kita harus berani melakukan serangkaian
pembenahan didalam masyarakat kita. Kita sering mendiskusikan masalah sosial
tetapi biasanya tidak berani atau tidak siap melakukan investasi untuk
membenahi kekukurangan-kekurangan pada masyarakat dan kebudayaan kita.
II. Tawuran
dan kompleksitas sosialnya
Tawuran sebagai
suatu tindakan sosial merupakan hasil dari suatu
Proses yang sangat kompleks
mencakup berbagai dimensi. Dimensi-dimensi ini dapat digambarkan seperti
lingkaran-lingkaran, mulai dari lingkaran yang paling kecil (sempit) sampai
lingkaran yang paling luas.
Lingkaran I :
Adalah lingkaran yang terkecil
artinya situasi dan kondisi yang secara langsung dihadapi oleh seseorang pada
saat tertentu.
Misalnya : kontak fisik
(bersentuhan) atau non fisik (berpandangan mata). Semakin sering kontak
langsung ini, semakin besar kemungkinan terjadi perkelahian yang dapat
meningkat menjadi tawuran. Kontak langsung ini menjadi semakin “berbahaya” bila
dikaitkan dengan usaha memperoleh kebutuhan-kebutuhan yang terbatas isalnya :
antri karcis, menuggu bus dsb. Bila fasilitas-fasilitas yang ada sangat buruk
atau tidak mencukupi, maka agresivitas cenderung semakin tinggi.
Di
Jakarta para pelajar sering harus mengalami kontak langsung dengan pelajar
sekolah lain di tempat-tempat umum seperti itu terutama di Pertokoan yang kini
semakin lama semakin menarik untuk di kujungi. Untuk memperkecil kesempatan
kontak langsung ini semakin memang tidak
mudah terutama bila terdapat beberap sekolah yang berdekatan.
Cara yang ditempuh :
§
Jam masuk dan jam sekolah dari sekolah-sekolah
yang berdekatan diatur agar tidak bersamaan waktunya sehingga dapat dihindari
suatu “peak hour”.
§
Mengalihkan perhatian pelajar sedapat mungkin
dari plaza-plaza atau tempat-tempat umum lainnya setelah pulang sekolah. Ini
berarti pemerintah DKI harus membangun tempat-tempat pengembangan bakat para
remaja tetapi juga memiliki daya tarik bagi mereka. (lihat saran tindak).
§
Kondisi fasilitas-fasilitas umum harus
diperbaiki karena perebut sumber-sumber yang terbatas dapat meningkatkan
agresivitas.
Lingkaran II :
Adalah kondisi kepribadian
individu-individu. Bila kepribadian dari para remaja tersebut dalam keadaan
yang mantap dan stabilserta tidak mengalami gangguan, maka kondisi pada
lingkaran I tidak akan terlalu mempengaruhi emosinya, akan tetapi bila pribadi
individu tertentu dalam keadaan terganggu, maka situasi dalam lingkaran I dapat
dengan mudah merangsang emosi dan agresivitasnya.
Kestabilan
kepribadian seseorang dapat dipengaruhi oleh rasa kecewa, frustasi, rasa tak
berarti (meaninglessness) masa depan yang tak jelas dsb. Kestabilan pribadi
dapat juga terganggu karena eseorang kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh
pengaruh obat bius atau minuman keras dsb.
Sebagian
besar remaja kita umumnya masih memiliki kepribadian yang cukup stabil walaupun
disana-sini mengalami masalah. Akan tetapi kita harus waspada terhadap gejala
meningkatnya frustasi remaja yang disebabkan oleh faktor yang bersifat
structural (disebabkan oleh tatanan istitusional yang ada, lihat lingkaran
III).
Para
remaja frustasi tersebut banyak yang mencoba untuk menggunakan obat atau
minuman keras yang justru semakin melemah kepribadian mereka, sehingga krisis
pribadi mereka menjadi semakin meningkat. Bila krisis kepribadian ini menginakt
maka kejadian kecil saja pada lingkaran I akan dapat menyulut emosi dan
keributan.
Lingkaran III :
Lingkaran ini adalah lingkaran
kehidupan sosial lingkaran ini dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :
1.
lingkaran kehidupan sosial mikro seperi keluarga
kelompok teman seusia atau teman sepermainan (peer group).
2.
lingkaran kehidupan sosial makro misalnya
lingkungan sekolah komuniti dan lingkungan masyarakat luas.
Ikatan-ikatan sosial dalam
kelompok kecil terutama keluarga dan kelompok sepermainan sangat kuat
mempengaruhi kondisi pribadi tiap individu. Misalnya hubungan dalam keluarga
yang tidak menyenangkan akan membuat kepribadian terganggu. Hubungan lain yang
memiliki pengaruh kuat pada individu setelah keluarga adalah kelompok
bermain.celakanya kedua kelompok ini seringkali memberi pengaruh yang
berlawanan bagi individu. Pada diri remaja, kelompok seusia cenderung semakin
kuat pengaruhnya apabila bila hubungan dalam keluarganya mengalami krisis.
Yang
paling menyolok dalam kelompok seusai ini adalah norma solidaritas mereka.
Norma ini sebenarnya baik, yaitu mau berkorban demi kelompoknya, tetapi
seringkali tidak diimbangi oleh kebijaksanaan, kedewasaan dan pertimbangan yang
rasional sehingga semangat ini pulalah yang seringkali menjadi faktor utama
terjadinya tawuran.
Lingkaran
kehidupan sosial makro walaupun kurang intensif interaksinya dengan
individu-individu namun ternyata memiliki pengaruh yang penting yang
menciptakan kondisi struktural yang membatasi, memberi kendala, menekan
dan memaksa individu-individu untuk melakukan hal-hal tertentu yang mungkin
tidak sesuai dengan hasrat serta aspirasi individu.
Kondisi
ini disebut structural karena terdiri dari tatanan-tatanan institusional yang
ditunjang oleh norma dan nilai-nilai yang relatif telah mapan didalam
masyarakat dan sulit untuk dilawan atau dirubah oleh individu semakin
memperkuat komitmennya terhadap kelompok kecilnya untuk mendapatkan dukungan
melawan struktur yang membelenggu tersebut. Semakin besar kekangan struktur
makro terhadap individu, semakin kuat solidaritas kedalam kelompok kecil dan
semakin agresif kelompok kecil tersebut.
Dalam
rangka menganalisa terjadinya tawuran, peran kita menyorot beberapa institusi
penting didalam masyarakat kita yaitu :
1.
Sekolah : Didalam masyarakat kita saat ini
secara tidak kita sadari sekolah telah menjadi suatu institusi yang sangat
mendominasi kehisupan sebagian warga masyarakat terutama kaum remaja. Dia
dianggap satu-satunya lembaga pendidikan yang memiliki legitimasi. Hanya dengan
ijasah yang dikeluarkannya, nasib seseorang di tentukan sepanjang hidupnya.
Kegagalan disekolah adalah fatal bagi kehidupan individu. Dengan kurikulum yang
ditentukannya dan di bakukan melalui keputusan politik dan di kontrol melalui sistem birokrasi yang
terousat, sekolah telah menentukan pelajaran dan pengetahuan apa yang peting
dan tidak penting. Orang yang mahir aljabar adalah orang “pandai” tetapi orang
yang mahir berbicara, berpidato atau beladiri bukan orang “pandai”, karena
kemahiran itu tidak masuk kurikulum. Dengan cara ini “human potensials” yang
berbagai ragam, banyak disia-siakan dan banyak anak berbakat yang tidak
berminat pada pelajaran sekolah dibuang sebagai anak-anak “drop-out yang tidak
berarti. Padahal kebudayaan terjerat birokrasi sulit untuk meyesuaikan diri,
sehingga kekuasaannya menjadi kian mengekang aspirasi individu yang semakin
berkembang luas.
Semua
ketentuan disekolah yang mengungkung ini tidak
mungkin dilawan
oleh individu-individu. Mereka harus dalam struktur institusional yang ada.
2.
kehidupan Kota : Kondisi kehisupan di kota
Jakarta ini nampaknya semakin berkembang kearah “material bias” artinya
investasi yang dilakukan sebagian terbesar adalah untuk menghasilkan dan memasarkan
benda. Kemajuan Jakarta lebih sering diukur dengan melihat pertambahan jumlah
pabrik, hotel, plaza dsb. Sementara itu investasi untuk mengembangkan bakat dan
kepribadian individu tidak bertambah bahkan secara proposional berkurang.
Kemajuan Jakarta lebih diukur dari berapa penyanyi dan
olehragawan top dunia bisa
didatangkan untuk dinikmati secaralangsung oleh (sebagian kecil) warga Jakarta,
tetapi bukan dari banyaknya fasilitas yang dibangun untuk memungkinkan para
remaja kita dilatih menjadi penyanyi, musisi, olehragawan atau apapun yang
berkaliber dunia (kosmopolitan) tetapi lumpuh dalam segi kreatifitas dan
produtifitas.
Plaza-plaza yang super megah bermunculan disana sini sementara
para remaja kita menggembangkan
budaya duduk bermalas-malas dilantainya tanpa mampu berbuat sesuatu yang
berarti bagi mereka sendiri maupun bagi orang lain.
Budaya “ngeceng” adalah manifestasi dari hasrat yang meluap-luao
untuk menunjukkan “siapa aku”
tetapi mampu menunjukkan prestasi.
Kondisi struktural lain yang terasa mengungkung dan menekan
individu-individu adalah
kesenjangan sosial ekonomi yang semakin mencolok. Kesenjangan ini disatu pihak
telah menciptakan pameran kekayaan pada para remaja tetapi dilain pihak tidak
memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mencapainya. Kerja keras semata
rupanya bukanlah jaminan untuk memperoleh sukses di kota ini.
Kecenderungan sosial bukan hanya
melanda golongan orang dewasa, tetapi ternyata juga melanda kalangan remaja.
Sekurang-kurangnya itulah yang dapat ditangkap pada diskusi antar para remaja
yang diadakan di Jakarta baru-baru ini.
Seperti
telah dikatakan dimuka, semakin besar kekangan struktur sosial makro pada
individu, semakin kuat individu mengikatkan diri pada kelompok-kelompok
kecilnya untuk memperoleh dekungan sosial. Semakin kuat ikatan didalam suatu
kelompok semakin besar solidaritasnya.
Lingkaran IV :
Kondisi Budaya. Sistem budaya
adalah suatu yang abstrak tetapi dapat kita rasakan dampaknya dalam kehidupan
kita sehari-hari karena dia merupakan sumber dari nilai dan norma serta pedoman
hidup yang ideal bagi masyarakat kita. Akan tetapi dalam proses sehari-hari
nilai-nilai yang ideal tersebut tidak sepenuhnya mewarnai pola perilaku anggota
masyarakat.
Suatu
pandangan sosiologi yang disebut “interactionism” berpendapat bahwa pada
dasarnya perilaku manusia sangat ditentukan oleh “harapan-harapan” yang
berkembang antara pihak-pihak yang berinteraksi. Jadi disini hkasanah
nilai-nilai budaya tidak akan banyak menentukan. Tetapi pandangan ini tidak
dapat diterima secara ekstrim, karena bagaimanapun sistem budaya masyarakat
yang telah disosialisasikan pasti akan memiliki warna pada kepribadian anggota
masyarakat. Namun di masyarakat kita saat ini terdapat beberapa gejala negatif
yang menimpa sistem budaya kita antara nilai lama yang dijunjung tinggi dengan
nilai baru yang lebih modern dan pragmatis. Nilai-nilai Pancasila bersaing
dengan nilai-nilai Kapitalisme, liberalisme dsb.
Beberapa
fenomena penting dalam penananman sistem nilai dimasyarakat Jakarta saat ini
dapat digambarkan sbb :
Agama, nilai dan norma agama
masih dihormati, tetapi pelaksanaannya sangat diganggu oleh nilai-nilai
materialistis yang semakin merajalela. Sekolah sulit menjadi tempat sosialisasi
agama yang baik karena disini pelajaran agama diajarkan dan dievaluasi sama
seperti pelajaran-pelajaran lainnya. Tempat-tempat ibadah serta para ulama
hanya ber-kontak sesaat saja dengan umat sehingga pengaruhnya sangat
“supervisial”. Keluarga adalah lembaga yang paling diandalkan, tetapi ini
sangat tergantung dari bagaimana kondisi keagamaan orang tua dan intensitas
hubungan mereka dengan anak sehari-hari.
Walaupun
proses sosialisasi agama terasa mengalami krisis, namun para remaja
umumnyatetap percaya bahwa agama merupakan benteng moral. Hal ini nampak jelas terungkap
dari seminar “Perkelahian Pelajar”
yang telah disebut dimuka.
Nilai-nilai
lain yang sedang kita tanamkan adalah Pancasila, tetapi saat ini disekolah
Pancasila masih terlalu diajarkan secara kognitif dan didalam kurikulum
disamakan dengan pelajaran lain yaitu harus dihapal dan diujikan. Hal ini telah
mereduksi Pancasila sebagai “way of life” menjadi sekedar suatu ilmu
pengetahuan, sehingga tingkat pengalamannya pun rendah.
Diluar
sekolahpun Pancasila sering hanya menjadi isi pidato para prjabat. Padahal
dalam jaman komunikasi yang canggih ini semua telah menjadi transparan.
Sehingga nampak kontradiksi antara apa yang diucapkan pejabat dan yang
dilakukannya.
Dari
uraian diatas kita telah melihat bahwa tawuran adalah hasil dari suatu proses
sosial yang kompleks yang mencakup lingkaran yang paling makro dari interaksi
sosial sampai yang paling makro. Jelas permasalahan tawuran maupun jenis
kenakalan remaja lainnya harus dipecahkan dengan memperhatikan semua dimensi
diatas. Namun harus kita sadari bahwa tidak mungkin kita merombak semua itu
sekaligus, sehingga kita harus pilih beberapa jalan keluar yang paling realitis
tetapi cukup strategis untuk dapat memecahkan masalah tanpa harus bersifat
partial atau ‘piecemeal”.
III. Apa
yang harus dilakuaka?
1)
Pada dasarnya, Pemerintah (sebaiknya dibantu
oleh kalangan swasta) harus bersiap untuk melakukan investasi guna
menyeimbangkan kembali ketimpangan pola penyediaan fasilitas sosial yang sudah
sangat menyedihkan di kota Jakarta ini. Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas
yang berorentasi pada konsumerisme (sebagai kebudayan wajar di kota)
harus diimbangi dengan fasilitas untuk mengembangkan aspek-aspek human
potensial terutama yang telah “isepelekan” oleh sistem sekolah. Dengan
demikian frustasi ‘struktural” para remaja yang disebabkan karena potensi
mereka yang tidak tersalurkan (bahkan dihambat atau dimatikan) dapat dikurangi
secara menyakinkan. Bahkan sekolah sebaiknya dimanfaatkan sebagai lembaga
“talent scouting” yang harus mengidentifikasi dan melaporkan kemampuan atau
bakat yang terdapat pada anak untuk disalurkan kedalam lembaga-lembaga
pengembangan bakat tersebut. Mekanisme ini sangat penting karena dengan
demikian kelompok yang mereasa terbuang oleh sistem sekolah (karena presentasi
akademisnya rendah), masalah bisa merasakan menjadi “sang nomor satu”. Dengan
cara ini pula dominasi sekolah dapat dikurangi dan remaja memperoleh ruang
gerak yang lebih leluasa untuk menunjukkan eksistensinya atau mengatualisasikan
dirinya.
2)
Pengembangan fasilitas pengembangan bakat remaja
sebaiknya jangan bersifat eksklusif dan monopoli oleh golongan kaya. Bila ini
dapat diwujudkan, kecemburuan sosial yang disebabkan oleh perbedaan status
sosial ekonomi akan dapat diredam karena setiap pribadi punya peluang untuk
berprestasi.
3)
Hubungan antara remaja dengan aparat pamarintah
terutamaparat keamanan dan ketertiban harus mengambil perspektif yang sama
sekali baru. Polisi harus menggunakan pendekatan dengan menciptakan
program-program menggerakkan aktivitas pemuda yang dapat menunjukkan potensi
mereka serta pengabdian mereka pada masyarakat. Misalnya : kesempatan pada
kelompok-kelompok pelajar untuk terlibat dalam suatu “proyek kegiatan” tertentu
yang mereka rencanakan dan mereka laksanakan sendiri. Agar “proyek” ini
“exiting” bagi mereka, sebaiknya proyek tersebut memiliki dampak nyata pada
mesyarakat lingkungannya. Pemda DKI juga harus aktif mensponsori
kegiatan-kegiatan seperti ini. Dengan banyaknya kegiatan-kegiatan yang menyita
perhatian para siswa, mereka akan dengan sendirinya tidak akan terlibat kedalam
tindakan-tindakan yang tujuannya tidak jelas. Yang terpenting adalah : sekali
mereka memperoleh cap (label) yang baik dari masyarakat, maka sulit bagi mereka
untuk terlibat dalam tindakan yang negatif. Untuk menarik minat para pelajar
dalan kegiatan-kegiatan tersebut, Pemda atau Aparat keamanan harus mencari
partner organisasi yang telah berhasil menjadi sahabat remaja (misalnya
beberapa Radio Swasta). Pada saat kegiatan direncanakan yang luas untuk
melakukannya sendiri. Pemerintah hanya memberikan fasilitas dan pengamanan.
4)
Aparat keamanan dan Pemda DKI jangan
menyingkirkan kelompok-kelompok pemuda yang tidak mau bergantung dengan
kegiatan OSIS (kelompok yang sering menyebut dirinya gang). Kelompok ini justru
harus diberi kegiatan yang positif, karena mereka lebih berpotensi untuk
menjadi pengacau masyarakat.
5)
Polisi atau Pemda DKI sebaiknya menjauhi sikap
“preventif yang negatif” yaitu sikap yang selalu melarang, mencurigai,
mempersulit prosedur untuk melakukan kegiatan di masyarakat, selalu menuntut
agar semua kegitan (yang sangat sepelepun) harus mendapat surat ijin dsb.
Aparat pemerintah tersebut harus inovatif, berani menanggung resiko dan miliki
visi yang jauh kedepan.
6)
Pada jaman informasi ini, cara yang paling
efektif untuk mununjukkan eksistensi diri seseorang atau kelompok adalah
melalui ekspose di media massa. Kegiatan pemuda di media massa terutama TV di
masyarakat kita ini. Sampai sekarang acara berita di TV masih terlalu
dimonopoli oleh pejabat-pejabat pemerintah seolah-olah hanya mereka yang
berkiprah didalam Pembangunan ini. Hal ini telah menyebabkan pemuda merasa
“useless” dan tidak relevn atau tidak punya urusan dengan Pembangunan, lebih
berbahaya lagi bila mereka merasa bermusuhan dengan Pembangunan.
7)
Saat ini di Jakarta nampaknya belum ada suatu
konsep mendasar mengenai temapt rekreasi. Semua fasilitas rekreasi seolah-olah
tumbuh bagaikan rumput liar menurut selera pengusaha yang menyelenggarakannya.
Sarana-sarana rekreasi seolah-olah tumbuh bagaikan rumput liat menurut selera
pengusaha yang menyelenggarakannya. Sarana-sarana rekreasi keluarga yang
memiliki unsure pendidikan seperti Ancol, Dufan, Kebun Binatang dan Taman Mini
sangat langka, terpusat dan masih relatif mahal. Sementara itu sarana rekreasi
yang menjamur adalah karoeke, bilyard, disko dan Panti Pijat. Kemanakah Remaja
harus berekreasi?. Pemda DKI mungkin perlu mempertimbangkan dibukanya rekreasi
yang dapat dinikmati keluarga secara bersama-sama (karena dalam kehidupan
sehari-hari anggota keluarga di Jakarta lebih banyak berpisah). Fasilitas
Rekreasi yang bersifat menantang seperti panjat tebing, serta jenis-jenis
permainan aktif lainnya mungkin perlu untuk para remaja menyalurkan enerjinya
dan “show-off’ secara positif. Mengapa daerah antara Bogor dan Jakarta tidak
dijadikan daerah perluasan utnuk rekreasi? Dengan kata lain tempat rekreasi
remaja harus dibenahi, yaitu di rubah polanya dari konsuptif-hedonis
(disko, bilyard, Panti pijat) menjadi kreatif-active. Pengaturan pola rekreasi jangan diserahkan
begitu saja pada selera pengusaha.
8)
Pemerintah DKI mungkin dapat memberikan
ketentuan bahwa setiap pendirian Shopping Center disuatu wilayah, pengusaha
diwajibakan menyiapakan suatu ruangan untuk remaja diwilayah tersebut.
Konsep Pembangunan Sosial: Sudut Pandang Sosiologi
Oleh:
Paulus Wirutomo*
I.
Pendahuluan
Pada masa Orde Baru Pembangunan Indonesia pernah dipuji
oleh dunia Barat sebagai ”miracle”, tetapi apa yang terjadi setelah 30 tahun
penguasaan rejim itu? Suatu gerakan Reformasi yang menuntut perubahan!. Pada saat
inipun Pemerintah seringkali berusaha menginformasikan kepada rakyat bahwa
ekonomi makro kita berkembang dengan baik, tetapi apa respons masyarakat?,
demonstrasi dan cacimaki. Apa yang salah dengan Pembangunan?
Berdasarkan data agregat yang berskala dunia PBB mencatat
bahwa pembangunan terutama hanya menghasilkan pertumbuhan secara material,
sehingga: bersifat Jobless (tidak menghasilkan
pekerjaan yang cukup dan bernartabat, Ruthless
(cenderung semakin menambah kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan), Rootless
(tidak mengakar di masyarakat, kuatnya dominasi modal dari luar, hilangnya
tradisi lokal, melunturnya nilai-nilai budaya lokal dsb.), Voiceless
(tidak mendengarkan aspirasi rakyat karena kurang demokratis dan partisipatif),
dan Futureless (merusakan lingkungan ekologis). (UNDP 1997) .
Jadi setelah berlangsung sekitar
lima dekade – sejak tahun 50 an - konsep “pembangunan” yang terlalu
mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented), ternyata tidak berhasil membangun harkat dan martabat manusia
secara “hakiki”. Manusia bukanlah ”single dimensional being”, mereka
tidak akan dipuaskan hanya dengan pembengunan yang bersifat sektoral (misalnya
sektor ekonomi). Manusia membutuhkan keseimbangan dalam kehidupan
sosial-budayanya.
Pada akhir tahun 2012 Harian Kompas melakukan jajak
pendapat tentang Peran Negara dalam kebinekaan.
Hasilnya 60,8 responden tidak puas pada kinerja Pemerintah dalam menjaga
kebinekaan, 65.5 persen responden tidak puas pada Pemerintah dalam mencegah
ancaman kerukunan dan dalam mencegah potensi konflik etnis 67.4 tidak puas.
Para responden (54.7%) juga merasa bahwa warga minoritas belum terlindungi dalam
beribadah dan mendirikan rumah ibadah.
Mengenai perlindungan warga minoritas agama terhadap kekerasan, ternyata
para responden merasa Pemerintah belum melakukan dengan baik (59.8 ), tentang
peran pemimpin agama 42.1 % responden mengatakan belum cukup melndungi. Bahkan
mereka (33.2%) SKB 2 Mentri justru memicu konflik. Begitu pula Keputusan Menag terhadap Ahmadyah 54.4 %
mengatakan malah memicu konflik. Dilihat
dari berbagai dimensi social-budaya, pembangunan yang ada saat uini masih jauh
dari memuaskan. Bila diukur dengan Indeks
kinerja penegakan hukum (skor 0-7), kebebasan beragama hanya mendapat skor
2.30. Rasa aman warga malah menurun dari: th 2010: (skor 3.66 menjadi 2.00 th 2011. Pada jumlah kasus intimidasi/ancaman kekerasan: 48
kali, pernyataan kebencian dan : pembakaran
properti: 27 kali, penolakan rumah ibadah: 14. Hal ini menunjukan bahwa
urusan Pembangunan bukan hanya ”meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi”, tetapi meningkatkan ”kualitas kehidupan
Sosial-budaya” . Data juga menunjukkan bahwa kinerja kita masih sangat rendah.
Hal-hal ini lebih mendasar dari sekedar peningkatan ekonomi, karena bisa
menghasilkan ”modal sosial”.
Masalah Pembangunan kita adalah terlalu ”growth oriented”
serta ”sektoral”. Pengukuran kinerja pembangunan sampai saat ini masih
didominasi oleh Pengukuran variabel
ekonomi yang mengukur ”banyaknya” (kuantitatif) seperti GNP dan GDP, sementara
itu kehidupan sosial-budaya kita juga membutuhkan perkembangan yang kualitatif
seperti kehidupan politik yang lebih demokratis, kehidupan beragama dan
etnisitas yang lebih toleran, dan multikultur, kehidupan yang lebih aman dan
bebas dari ketakutan dan kekerasan, hak azasi yang lebih dihargai dan dilindungi,
bakat dan kreativitas yang lebih diberi tempat,
aspirasi yang lebih didengar dsb. Pendek kata kita membutuhkan peningkatan
kualitas kehidupan bukan saja kuantitas.
Perubahan
paradigma bukan suatu hal yang mudah karena menyangkut perubahan mendasar “cara berpikir” manusia yang telah
berlangsung cukup lama. Konsep-konsep seperti: trickling-down effect, growth
pole, basic human needs dsb. Perlu digantikan dengan capacity building,
sutainable development, community based development dsb. Konsep-konsep yang
dulu samgat mendominasi seperti efficiency perlu diseimbangkan dengan
effectiveness, centralization dengan decentralization, development aids dengan
self reliance, quantity dengan quality
dsb. Dominasi financial dan physical capital harus diimbangi dengan social
capital dan cultural capital. Konsep
human resource yang lebih berkonotasi sebagai obyek pembangunan atau alat
pembangunan harus lebih dilihat sebagai subyek atau bahkan tujuan pembangunan. Dunia
kini sedang menuju kesana. PBB melalui UNDP telah mensponsori dengan Human Developmen Index
(HDI) yang kini telah diakui sebagai suatu kriteria baru untuk mengukur
keberhasilan pembangunan dari setiap negara di dunia (disamping GNP), dan telah
melaporkannya setiap tahun dalam Human Development Report (HDR). Keikutsertaan
hampir seluruh negara di dunia dalam HDR telah menunjukkan suatu political will
yang meluas di tingkat global.
v Reduksionistik: kebutuhan
manusia seolah hanya materi saja.
v Statis dan
absolutis:
ditentukan secara sepihak oleh para teknokrat sebagai pemikir dan pemimpin
pembangunan, tidak suka pada perubahan paradigma.
v Sentralistik-korporatis: mengandalkan
pada pemerintah yang kuat dan terpusat.
Pembangunan sosial tidak boleh
bersifat deterministik, tetapi harus membuka kesempatan bagi public
negotiation (inovasi/demokratisasi/ruang sosial semi otonom). Oleh karena itu
dalam rangka pembangunan sosial harus diciptakan ruang-ruang publik
dimana warga masyarakat dapat mengekspresikan kepentingan dan kebutuhan mereka.
Organisasi didalam masyarakat yang benar-benar berbasis pada masyarakat perlu
memperoleh tempat dalam proses perencanaan (pengembangan sociability)
Pendekatan pembangunan sosial perlu
menghilangkan sifat hubungan manusia yang hanya berdimensi “materialistik”,
pandangan yang hanya satu dimensi (one dimensional man) ini sering
mereduksi manusia menjadi “materi” atau “obyek” yang tidak memiliki “makna
subyektif” dan mampu melakukan komunikasi dan interaksi yang produktif.
Individu sebagai aktor yang memiliki kemampuan menginterpretasi situasi dengan
“makna subyektif” harus tetap mendapat tempat sebagai subyek dalam proses
pembangunan yang menyangkut dirinya. Oleh karena itu keputusan pembangunan
harus bersifat dialogis dan
negotiable (“social order is a negotiated order” ). Mengingat hal
itu, pembangunan sosial menolak pendekatan fungsionalisme yang cenderung
mempertahankan statusquo, tetapi juga aliran konflik yang hanya melihat
konflik sebagai satu-satunya cara untuk membebaskan manusia dari struktur yang menindas.
Sinergi[1]
merupakan suatu jalan keluar yang ideal dalam pembangunan yang
berkesinambungan.
Yang terpenting dari pembangunan
aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu,
misalnya nilai keadilan, kerukunan, kemandirian dsb. Pembangunan yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang
sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Bila
pembangunan pendidikan, misalnya, hanya diukur keberhasilannya dari berapa
“pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusan dsb., maka
itu bukan “pembangunan nilai”. Bila pembangunan di dasari oleh suatu sistem
nilai misalnya:”kemandirian”, maka keberhasilan pembangunan akan diukur
oleh indikator-indikator seperti: berapa jumlah sekolah yang dibangun “secara
mandiri” oleh masyarakat?, berapa banyak lulusan SLTP/SLTA yang bisa membuka
lapangan kerja sendiri? Dsb. Demikian pula dengan program dibidang kesehatan,
bukan hanya diukur dengan pertambahan tempat tidur per-jumlah penduduk tetapi misalnya “tercapainya budaya sehat,
kerjasama masyarakat dalam menanggulangi kesakitan” dsb. Dengan kata lain
pembangunan yang berbasis pada masyarakat haruslah pembangunan yang berbasis
“nilai”, karena yang akan dibangun adalah nilai-nilai tertentu yang
dipandang baik untuk rakyat, untuk manusia, sehingga dijadikan suatu cita-cita
pembangunan, karena itu diakhir setiap program harus diukur apakah nilai yang
didambakan sudah bertumbuh? Saat ini sering terjadi hasil pembangunan yang
bersifat paradoxal, seperti lulusan sekolah semakin banyak tetapi penganggur juga semakin banyak. Jumlah
sekolah semakin banyak tetapi anak nakal (tawuran) semakin banyak, jadi pembangunan pendidikan tidak mencapai
suatu nilai tertentu (misalnya nilai “kemandirian”, “kerukunan”, atau
“intelektual”), tetapi hanya menghasilkan gedung sekolah, ijasah, dan lulusan.
Bagaimana ilmu sosial-budaya dapat
menyeimbangkan kondisi peradaban dan kemanusiaan ini?. Peran yang sering dilakukan oleh ilmu sosial-budaya dalam Pembangunan
sejauh ini adalah “hanya” mengevaluasi proyek pembangunan (social
impact assessment). Peran ini tidak dapat menyeimbangkan, karena
apapun hasil analisanya tidak akan banyak mempengaruhi arah hakiki pembangunan
itu sendiri.
Banyak ahli ilmu sosial mendesak agar peran ilmu sosial tidak hanya analytical-evaluative, tetapi harus
lebih prescriptive, bahkan
meningkatkan peran pemikirannya dari sekedar the enlightment model menjadi the
engineering model[2].
II.
Konsep
Pembangunan Sosial
Dalam rangka melakukan koreksi terhadap arah perkembangan peradaban
manusia ini, maka ilmu-ilmu sosial-budaya harus secara konseptual
memperjuangkan prinsip yang mungkin tidak mudah diterima oleh logika “pertumbuhan
kebendaan” yang mendominasi dunia saat ini, misalnya mengemukakan
variable-variable “social” dan “humaniora” seperti: inklusi sosial, kerukunan,
kemandirian, kesetiakawanan, demokrasi, kesejahteraan dan bahkan kebahagiaan. Dibawah ini penulis mencoba
menjelaskan makna konsep ”sosial” sebagai berikut:
·
Pembangunan
Sosial bukanlah pembangunan “individual”: artinya pembangunan sosial adalah
menyangkut perbaikan bagi orang banyak, bukan perorangan atau sekelompok kecil
orang. Suatu program (sektor) pendidikan yang hanya bisa meningkatkan SDM dari
individu atau sekelompok kecil orang dengan cara membuka suatu program yang
sangat khusus misalnya mendirikan sekolah berkualitas internasional tetapi hanya
dapat dinikmati oleh segelintir orang saja tidak dapat disebut sebagai suatu
pembangunan sosial. Pembangunan sosial adalah pembangunan yang harus bisa dinikmati
oleh masyarakat luas. Oleh karena itu masalah kesenjangan antar kelompok adalah
suatu masalah sosial yang sangat serius dan berbahaya. Pembangunan sosial
adalah suatu usaha untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Kesenjangan memang
tidak mungkin dihilangkan dari dunia ini, tetapi harus dikurangi sampai titik
dimana tidak ada suatu kelompokpun yang memiliki kekuasaan absolute sehingga
mampu menutup semua kemungkinan perubahan (statusquo).
·
Pembangunan
Sosial juga sering diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau
mengurangi masalah-masalah sosial
yaitu suatu masalah yang mengganggu kehidupan orang banyak (kejahatan,
kenakalan remaja, pelacuran dsb). Konsep ini benar, tetapi seringkali tidak
terlalu mendasar karena dibalik semua masalah itu biasanya terdapat masalah
yang lebih mendasar yaitu kesenjangan sosial dan ketidak adilan. Seringkali masyarakat
mempersalahkan pelaku masalah sosial tersebut padahal sebenarnya mereka adalah
korban dari “kondisi kehidupan sosial” yang tertentu seperti misalnya struktur dan/atau kultur itu
yang senjang dan tak adil. Oleh karena
itu konsep Pembangunan Sosial harus memiliki pengertian baku yang disepakati
oleh berbagai “stake holder”.
·
Pembangunan
sosial-budaya juga bisa mencakup
pembangunan sendi-sendi masyarakat yang
paling dasar seperti memperkuat integrasi nasional. Aspek ini sangat mendasar dan mencakup seluruh
bangunan sosial (societal). Pembangunan societal seperti ini l harus dapat
menghasilkan resilience (ketahanan budaya terhadap berbagai tantangan
dari luar dan dalam), sustainability (suatu kemampuan mempertahankan dan
mengembangkan kemajuan yang telah
diperoleh), dan pemberdayaan (suatu penguatan pada komponen-komponen
dalam masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri secara mandiri).
·
Pembangunan
sosial juga tidak boleh dipusatkan hanya sekedar untuk mengurangi kemiskinan,
karena tanpa pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sesunguhnya,
penanggulangan kemiskinan sering tidak menghasilkan pembangunan sosial. Program
pengentasan kemiskinan seperti JPS, Raskin, padat karya, seringkali tidak
berhasil melenyapkan kemiskinan secara hakiki dan permanen, tetapi justru telah
menyebabkan sikap tergantung, penyelewengan pada masyarakat miskin. Oleh karena itu masalah kemiskinan harus
dilihat sebagai masalah sosial yang sistemik (societal) yaitu mencakup
keterkaitan berbagai dimensi. Untuk mengatasi hal ini tidak cukup dengan
program-program yang bersifat ekonomi saja tetapi pembangunan berbagai aspek
kemasyarakatan (pemberian otonomi, perlindungan sosial, pengembangan modal
sosial, solidaritas sosial, basic rights entitlement dsb).
·
Fungsi
pembangunan lainnya yang masuk dalam ruang lingkup pembangunan sosial-budaya
adalah:
ü merombak budaya
atau struktur sosial yang tidak adil (misalnya kesetaraan jender).
ü membangkitkan
potensi yang tersimpan di masyarakat (Human Capital, Social Capital, Cultural
Capital)
ü merekatkan
struktur sosial yang retak (disintegrasi sosial).
ü pembangunan
sistem perlindungan sosial (social protection)
ü pembangunan
sosial adalah “pengembangan partisipasi” itu sendiri, bukan hanya sebagai alat,
tetapi sebagai tujuan (budaya).
ü pembangunan sosial adalah menyangkut
penciptaan perubahan dan pengembangan proses sosial baik dari dimensi structural maupun cultural (nilai-nilai,
norma, symbol-simbol) agar tercipta pola hubungan sosial dan pola
interaksi dan pola perilaku yang mendorong terciptanya keteraturan
sosial yang dikehendaki.
ü pengembangan
civil society (LSM, Community Based Organization.).
ü pengembangan
local capacity, memfasiliasi kemitraan
dengan pemerintah.
ü pembangunan
sosial juga menghilangkan social distress (seperti violent conflict dsb)
Dalam perspektif Pembangunan Sosial,
partisipasi masyarakat bukan sekedar alat
atau cara, tetapi tujuan, karena
dalam keikutsertaan yang aktif dan kreatif
dalam Pembangunan, hakikat manusia sebagai mahluk yang memiliki
aspirasi, harga diri dan kebebasan (freedom)
diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan mutunya. Dengan kata lain penekanan Pembangunan Sosial adalah pemerataan sarana dan hak-hak manusia yang paling dasar (inklusi sosial)[3] (lihat: Haralombos 2008, h.212-277). ”Pemisahan”
konsep Pembangunan Sosial dari konsep pembangunan ekonomi tentu saja bukan
dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau
bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang mutually exclusive. Karena
kehidupan ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial, maka Pembangunan
Sosial adalah landasan dari Pembangunan Ekonomi. Dengan kata lain ekonomi tidak
boleh dibangun untuk sekedar tujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, tetapi dibangun agar manusia yang hidup di
dalam masyarakat itu dapat hidup dengan lebih sejahtera. Tetapi karena manusia
itu hidup didalam masyarakat, maka pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus
bertumpu pada nilai-nilai dasar yang disepakati oleh sebagian besar warga masyarakat
(value-based development) dan mampu menciptakan kemakmuran secara inklusif pada
semua warga masyarakat. Semua elemen dasar masyarakat: struktur, kultur dan
proses sosial menjamin semua warganya untuk memperoleh hak-hak paling dasar
bukan hanya sebagai manusia tetapi sebagai warga masyarakat[4].
Semua variable ini harus bisa masuk kedalam
perhitungan input-output Pembangunan yang amat kuantitatif. Logika perencanaan yang
saat ini sangat berpegang pada azas efisiensi harus bisa menerima logika “sosial-budaya”
yang cenderung lebih berorientasi pada “efektivitas” (yakni menghasilkan
kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat), azas profesionalitas yang dinilai
amat tinggi oleh para teknokrat harus bisa memberi tempat bagi azas partisipasi
masyarakat dan seterusnya. Dengan kata lain “pertumbuhan
ekonomi”, harus secara langsung melekat (bukan sekedar diseimbangkan) dengan
peningkatan kualitas “kehidupan bermasyarakat” atau “kehidupan sosial budaya” (good
society) (Bellah 1992).
Pada saat ini
memang sudah banyak penekanan diberikan pada unsur “manusia” dalam
pembangunan seperti konsep People Centred Development (lihat Korten
2006), “Social Development” (UNDP), bahkan MDGs, tetapi penulis mengusulkan agar Ilmu-ilmu
Sosial dan Budaya berani secara lebih spesifik mengajukan suatu “proposisi”
bahwa membangun manusia haruslah melalui pembangunan Masyarakatnya, Bellah misalnya, mengatakan:
” It is difficult to be a good person
in the absence of good society. The difficulty actually comes from failures of the larger
institutions on which our common life depends (Bellah et al.1992 p.4)”.
Jadi membangun
masyarakat secara sistemik dan holistik (societal) sangatlah mendasar, bukan
sekedar membangun “sektor-sektor” atau hanya menjamin “sebagian” hak-hak
individu tetapi secara keseluruhan membangun warganegara menjadi civil society yang tercerahkan[5].
Untuk itu penulis menawarkan konsep Pembangunan
Sosial yang bersifat
sistemik-sosietal yang dikaitkan langsung pada konsep dasar sosiologis dari suatu masyarakat yaitu: struktur sosial, kultur dan proses sosial.
Pembangunan Sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi
"sosial"-nya. Pembangunan Ekonomi yang hanya menguntungkan kelompok
tertentu atau bahkan menciptakan
kepincangan dan kesenjangan di dalam sistem adalah bertentangan dengan Pembangunan
Sosial karena memerosotkan mutu hubungan sosial dan interaksi sosial.
”Pemisahan” konsep Pembangunan Sosial dari konsep
Pembangunan Ekonomi tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan
keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau bahkan melihat keduanya sebagai
suatu pilihan yang saling menghambat. Kehidupan
ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial-budaya, maka Pembangunan Sosial
haruslah merupakan landasan dari Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Sosial
tidak bisa direduksi sebagai sektor[6],
sebab semua bidang kehidupan manusia (termasuk dalam bidang ekonomi seperti
perdagangan, industri dsb.) berlandaskan pada “kehidupan sosial”. Pembangunan Sosial adalah pembangunan elemen societal
yang paling mendasar (secara sosiologis) yaitu pembangunan Struktur, Kultur dan Proses Sosial.
·
Struktur sosial: adalah pola hubungan (terutama hubungan kekuasaan) antara
kelompok sosial. Kelompok sosial yang
lebih kuat dan berkuasa akan mampu memaksa, memerintah, atau memberi kendala
pada manusia atau kelompok yang lain. Kekuatan “Struktur Sosial” bisa dilembagakan
(institutionalized) secara
legal-formal (seperti Undang-undang, kebijakan Pemerintah dsb.), maupun yang
tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang walaupun tidak
memiliki kekuatan hukum resmi untuk memerintah, tetapi efektif mengatur
kehidupan masyarakat luas (melalui iklan, fasilitas fisik yang diciptakan dsb.)[7].
Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa (negara
berkolusi dengan pengusaha besar) untuk membangun pola dominasi yang menindas di masyarakat. Jadi suatu masyarakat perlu
melakukan usaha menyeimbangkan hubungan kekuasaan antar pemerintah dan rakyat
atau golongan kaya dan miskin melalui kebijakan
Pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan rakyat banyak”, dengan
kata lain memperbaiki struktur yang eksklusif
(tidak adil, diskriminatif) menjadi inklusif
(adil, memberikan kesamaan hak). Memperbaiki
struktur yang eksklusif (tidak adil, diskriminatif) menjadi inklusif (adil,
memberikan kesamaan hak). Inilah yang disebut sebagai “Pembangunan Struktural”
yang merupakan elemen dari “pembangunan Sosial.”
Contoh Pembangunan Struktural:
ü Melakukan koreksi (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar agar terjadi terjadi keseimbangkan hubungan
kekuasaan antar Pemerintah-rakyat atau golongan kaya-miskin.
ü Membuat Kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan
rakyat banyak à ruang kota untuk PKL, tanah untuk petani dsb..
·
Kultur: adalah segala sistem nilai, norma, kepercayaan dan semua kebiasaan
serta adat istiadat yang telah mendarah
daging (internalized) pada
individu atau masyarakat sehingga
memiliki “kekuatan” membentuk pola perilaku dan sikap anggota masyarakat (dari
dalam).
Kebudayaan yang telah tertanam di suatu
masyarakat tidak selalu merupakan cara hidup terbaik untuk menghasilkan kesejahteraan
dan martabat masyarakat. Banyak unsur budaya yang justru menghambat
kesejahteraan masyarakat misalnya: Kuncaraningrat dan Mochtar Lubis pernah
mengidentifikasi beberapa unsur budaya kita yang menghambat kemajuan ……….
Kebudayaan ini tidak mudah untuk dihilangkan karena telah mendarah daging pada
anggota masyarakat, orang justru merasa
bersalah bahkan berdosa kalau tidak bertindak sesuai budaya. Kebudayaan ini
juga selalu dipertahankan oleh kelompok tertentu atau tokoh-tokoh masyarakat
dalam rangka melindungi kepentingannya (vested
interest). Golongan ini sering menindas golongan lainnya melalui legitimasi
budaya (cultural hegemony). Itulah
sebabnya suatu masyarakat memerlukan agenda membangun Kultur yaitu untuk meningkatkan
kualitas system nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan rakyat baik secara langsung (melalui sosialisasi,
edukasi dsb.) maupun tidak langsung (melalui pembangunan struktural dan proses
sosial).
Contoh Pembangunan Kultur:
ü Pada masa Orba bangsa Indonesia pernah menysusun suatu program
pembangunan dalam usaha menanamkan Pancasila sebagai landasan kehidupan
berbangsa (Program P4), ii adalah suatu
contoh Pembangunan Budaya.
ü Di Solo Jokowi mengembangkan kebijakan Eco-cultural City, salah satu
programnya adalah mengembangkan budaya non kekerasan dengan menginstruksikan
Satpol PP untuk tidakm menggunakan pentungan dalam menertibkan kota. Menentukan
nilai ideal tertentu sebagai basis dari Pembangunan Bangsa, misalnya struktural (kebijakan, regulasi dsb.)
ü Membangunan Gelanggang remaja untuk mengembangkan budaya kreartif
genarasi muda.
·
Proses Sosial: adalah segala “dinamika interaksi” sehari-hari antar anggota
masyarakat. Misalnya obrolan diwarung kopi, interaksi antar guru dan murid,
polisi dan warga masyarakat, diskusi di seminar, pembacaan puisi sampai
demonstrasi. Melalui proses sosial, individu maupun kelompok dapat
mengekspresikan aspirasi secara relatif “bebas”, disini terjadi negosiasi yang dinamis dan kreatif antar
anggota masyarakat, sehingga ”arena” ini dapat menjadi sumber perubahan
struktur maupun kultur yang ada (”social
order is a negotiated order”). Proses Sosial merupakan elemen dasar
kehidupan sosial yang sangat penting. Di dalam aliran “symbolic interactionism”
diyakini bahwa realitas sosial adalah hasil bentukan interaksi antar individu
dalam kehidupan sosial (reality is
socially constructed). Dengan kata lain:”… meanings do not reside in the object but emerge from social process”
(Jary and Jary 2005: 627). Jadi, membangun
“Proses Sosial” artinya membangun kondisi
kultural maupun struktural yang dapat memberi ruang lebih luas bagi
pengembangan kuantitas maupun kualitas proses sosial di kalangan warga
masyarakat.
Contoh Pembangunan Proses Sosial:
ü Membuka ruang public yang memungkinkan masyarakat berinteraksi secara
kreatif (gelanggang remaja, taman
bermain, panggung-panggung kreatif dsb.
ü Membuka kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan
opininya (public sphere) seperti: kebebasan berorganisasi, diskusi publik,
unjuk rasa, dsb).
ü Meningkatkan ruang partisipasi bagi masyarakat à musrenbang, menghidupkan tradisi gotongroyong di RT/RW
Di dalam kehidupan nyata “Struktur,
Kultur dan Proses” tidak berdiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu
saling mempengaruhi, saling berpotongan (saling menopang), misalnya peraturan
·
Gambar
Struktur-Kultur-Proses.
§
Usaha
sistematis dan terencana untuk membangun ketiga elemen dasar “societal” itulah yang kita sebut sebagai
“Pembangunan Sosial”. Bila ini
terjadi maka akan dihasilkan kehidupan sosial yang lebih emansipatoris (setara) dan inklusif (mencakup
kesejahteraan semua golongan), maka pembangunan dibidang apapun (ekonomi,
fisik, hukum, agama) harus berlandaskan pada pembangunan elemen dasar itu. Inti
dari Pembangunan Sosial adalah “inklusi
sosial” yaitu: kesempatan bagi semua
warga masyarakat untuk memperoleh hak dan kebutuhan yang paling dasar seperti kebutuhan fisik, status sosial,
kekuasaan serta hak-hak dasar sebagai manusia untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan sebagai warga
masyarakat.
§
Contoh
hak-hak dasar: Sandang – Pangan –Papan (termasuk tanah, Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, beragama dan beribadah, Rekreasi,
Modal (kredit), Status sosial (KTP, akte kelahiran dsb.), Politik,, Keamanan , Berorganisasi/berserikat
·
Gambar Pembangunan Sosial.
III. Perpotongan antar elemen dasar
Komponen Struktur – Kultur dan Proses dalam kehidupan sosial yang nyata
tidaklah berdiri sendiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu saling
berpotongan satu sama lain (cross-cutting). Perpotongan tersebut dapat kita
gambarkan sebagai berikut:
A.
Pertemuan antara komponen Struktur dan Kultur
menghasilkan gejala:
Structured
culture (SC):
dimana salah suatu unsur budaya yang telah terinternalisasi di masyarakat “diangkat”
menjadi suatu aturan resmi pemerintah (kultur yang distrukturkan).
Cultured
structure (CS):
adalah gejala dimana peraturan resmi yang bisa diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat sehingga terinternalisasi menjadi elemen budaya (struktur yang
membudaya),
- Pertemuan
antara komponen Struktur dan Proses menghasilkan gejala:
Structured
process (SP):
yaitu kejadian dimana pola interaksi yang berkembang secara informal
sehari-hari di masyarakat dianggap baik oleh Pemerintah sehingga diresmikan
menjadi Undang-undang atau komponen regulasi (proses yang disrukturkan).
Processed
structure (PS):
adalah struktur (regulasi) yang diproses kembali atau dinegosiasikan kembali
oleh masyarakat melalui berbagai cara, bisa diperdebatkan di warung kopi sampai
di media atau diprotes melalui Demonstrasi dan sebagainya. PS bisa bersifat
mendukung pemerintah (menyetujui peraturan) atau menentang. Processed structure
bisa juga berupa gejala dimana peraturan yang telah diresmikan di dalam
pelaksanaannya “ditawar” oleh kekuatan-kekuatan di masyarakat melalui “lobby”,
“suap”, “kolusi” dengan penegak hukum. Ini yang banyak terjadi di Indonesia
(hukum bisa “diatur” atau “diproses kembali” oleh masyarakat)
C.
Pertemuan
antara komponen Kultur dan Proses menghasilkan gejala:
Cultured process
(CP):
keadaan dimana pola interaksi yang berkembang sehari-hari di masyarakat mulai terinternalisasi
dan menjadi tradisi atau bagian dari budaya masyarakat (proses yang membudaya).
Processed
culture (PC):
proses interaksi di dalam masyarakat untuk menegosiasikan kembali atau
mewacanakan kembali unsur budaya yang ada, baik secara non formal (debat kusir
di warung kopi) sampai diskusi di media massa (Budaya yang diproses kembali).
Kekuatan dari “Model Analisis Struktur-Kultur-Proses” ini
terletak pada interaksi atau persilangan (cross-cutting) antar elemen
ini. Bila kita perhatikan, sebenarnya ada ruang perpotongan antara ketiga
elemen dasar tersebut (terletak ditengah). Ini adalah kondisi dimana
Sruktur-Kultur dan Proses berhimpitan. Sampai saat ini penulis belum bisa
memberikan nama pada gejala ini. Keadaan ini juga sangat “ideal” sehingga sulit
ditemuai di dunia empiris.
IV.
Penutup .
Pengembangan konsep “Pembangunan Sosial” adalah suatu tantangan terbesar
bagi para ilmuwan Sosial-Budaya karena sampai saat ini konsep Pembangunan masih
didominasi oleh aspek-aspek kebendaan, sehingga hasil pembangunan sampai saat
ini selalu gagal memenuhi harkat dan martabat manusia secara hakiki. Tulisan
ini mencoba menunjukkan cirri hakiki dari Pembangunan Sosial sehingga jelas
kedudukannya diantara konsep Pembangunan lainnya. Tuga berikut adalah menemukan
indicator yang paling “tajam” untuk mengukur setiap elemen dasar itu dan
kemudian menciptakan suatu “indeks Pembangunan Sosial” yang bisa menjadi tolok
ukur seberapa besar setiap kota/kabupaten/provinsi bahkan Negara telah
melakukan Pembangunan Sosial.
_____________________
*Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil
diskusi di dalam research cluster Pembangunan Sosial di Departemen Sosiologi
yang terdiri dari penulis dan rekan-rekan pengajar Sosiologi yaitu: Linda Darmajanti, Sudarsono Hardjosukarto,
Lidya Triana, Chotib, Wahidah Bulan, Sakti Wirayudha, Fajrian Siregar dan Iqbal . Sumbangan pemikiran para anggota
cluster ini sangat penting bagi penulis, akan tetapi kekurangan dan kekeliruan
di dalam tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis pribadi.
[1] Konsep sinergi mungkin perlu mendapatkan penekanan
disini karena orang telah melupakan bahwa pada hakekatnya suatu “Pembangunan”
haruslah berjiwa sinergis, karena bila tidak demikian –seperti apa yang dialami
oleh manusia di dunia saat ini – Pembangunan justru mencipatakan kesenjangan
dan menghancurkan keharmonisan serta potensi-potensi yang ada.
[2]
Banyak pemikir social-budaya tidak menyukai kata “social engineering”, karena konsep
ini bernuansa “deterministik, otoriter dan dapat melanggar HAM”. Sikap ini
masuk akal, karena itu konsep ini harus dihindari, akan tetapi kita harus menyadari bahwa dalam kenyataan
hampir semua kebudayaan di dunia saat ini telah jatuh dalam suatu scenario yang bersifat ”socio-cultural engineering” yang diciptakan
secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (hegemon). Kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat
manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtif yang
merajalela. Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan yang telah
menghasilkan tiga krisis besar: “kekerasan, kemiskinan dan kehancuran
lingkungan” (Korten 2006), adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu. Jadi sebenarnya ”cultural engineering” sudah
dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini. Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan
itu?, tidakkah mungkin masyarakat (civil society) bersama pemerintah merancang
suatu ”counter engineering” untuk
melakukan ”perlawanan budaya” tandingan
yang mampu menyelamatkan manusia
dari gejala “dehumanisasi” itu?.
[3] Social
inclusion adalah: “Kesempatan bagi setiap individu untuk dapat
berpartisipasi di dalam kehidupan sosialnya sebagai warga masyarakat, bukan
hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi semua hak-hak dasar (pendidikan,
kesehatan, politik, melaksanakan ibadah, menikmati waktu luang, berekspresi
diri dsb.)”. Jadi tujuan Pembangunan
Sosial bukan sekedar menghilangkan kemiskinan dalam arti sempit (rendahnya
penghasilan atau tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum), tetapi
menciptakan “social inclusion”.
[4]
Konsep “manusia” perlu dibedakan dengan konsep “warganegara”. Semua manusia
memang memiliki hak-haknya yang universal (hak azasi), tetapi setiap manusia juga menjadi warga dari
suatu masyarakat yang secara khas dan unik memiliki hak-hak dan kewajiban
sesuai dengan situasi dan kondisi di masyarakatnya. Oleh karena itu disamping
memperoleh hak-hak dasar secara
universal sebagai manusia, setiap orang juga harus memperoleh hak-hak (termasuk
juga kewajibannya) sebagai warga dari masyarakat di mana dia hidup dan menjadi
anggotanya (warganegara).
[5]
Kata “tercerahkan” (enlightened) inilah mungkin yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa
Indonesia “….mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pembukaan UUD 1945).
[6] Dalam buku
statistik resmi Pembangunan Sosial hanya
diartikan sebagai sektor belaka misalnya sektor
Pendidikan (jumlah sekolah yang dibangun, pertambahan jumlah guru
dsb.), sektor Kesehatan (jumlah ”tempat
tidur”, tenaga Dokter dsb.).
[7]
Diluar struktur social masih ada factor lain yang memiliki “kekuatan
structural” (structural forces) yang mampu memaksa tindakan manusia misalnya :
struktur demografi, struktur fisik kota dsb. Penelitian ini akan menekankan
pada struktur social, karena factor ini
bisa mempengaruhi kekuatan structural yang lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)