Oleh : Paulus Wirutomo
I. Pendahuluan
Tulisan
ini bukan dimaksudkan sebagai suatu tulisan ilmiah,
ilmiah
suatu tulisan yang berorentasi “problem solving”, karena masalah yang
dibicarakan memang telah sangat mendesak dan memerlukan segera penangan
praktis. Kalau disana sini dipergunakan konsep-konsep sosiologi, itu hanya
dimaksudkan untuk membantu mengidentifikasi masalah tawuran ini secara lebih
sistimatis
“Tawuran” yang diambil dari bahasa
jawa, khususnya Jawa Timur berarti perkelahian massal atau perkelahian
antar kelompok. Tawuran harus dibedakan dengan “perkelahian” biasa, karena
kompleksitasnya berbeda, sebab-sebabnya berbeda, akibat yang ditimbulkan juga
berbeda.
Perkelahian
satu lawan satu normal terjadi sebagai salah satu cara memecahkan masalah antar
pribadi, sasaran dari perkelahian seperti itu jelas yakni lawan berkelahinya,
bukan orang lain atau benda-benda disekitarnya. Ada kesadaran dari kedua belah
pihak artinya mereka tidak di pengaruhi oleh psikologi massa. Perkelahian satu
lawan satu bahkan sering dipandang oleh banyak kebudayaan sebagai lambang dari
kejantanan, ke-satriaan, keberanian mempertahankan hak dan harga diri. Para
pemuda masa kinipun ternyata masih menilai tinggi keberanian dan kejantanan
seperti itu. Karena sifatnya yang pribadi, maka perkelahian bukanlah merupakan
indikator dari masalah sosial.
Berbeda
dengan perkelahian biasa, tawuran adalah suatu fenomena yang tergolong patologis
dan memiliki kompleksitas yang jauh lebih tinggi. Tawuran mengandung
sifat-sifat sbb:
q Pertama-tama
tawuran adalah suatu hasil dari adanya solidaritas yang tinggi dari
suatu kelompok, tetapi sekaligus tawuran mengandung suatu gejala konflik
sosial yang laten dan agresivitas negatif pada pribadi individu yang
bersangkutan.
q Sasaran
dari tawuran adalah tidak terlalu jelas bagi si pelaku itu sendiri. Siapa yang
sebenarnya menjadi musuhnya, individu tertentu, kelompok atau seluruh
masyarakat. Karena itu sasaran serangan dari tawuran biasanya membabi buta dan
merugikan kelompok-kelompok lain.
q Kebrutalan
tawuran seringkali berkaitan dengan hilangnya kesadaran para pelaku entah
karena pengaruh psikologi massa, hysteria atau karena pengaruh zat kimia lain
(mis. minuman keras).
q Tawuran
dapat mengembangkan suatu sifat keberanian yang semu pada diri remaja, karena
mereka bersembunyi dalam kelompok dan dalam kemelut. Tawuran juga merusak
karena dalam kemelut itu tidak ada lagi aturan.
Tawuran
merupakan sutau gejala dari adanya
masalah sosial lain
yang kompleks dan sekaligus
tawuran itu sendiri menghasilkan masalah sosial secara langsung (kekacauan,
kerusakan, kematian dsb). Jadi sebagai suatu masalah sosial jelas tawuran itu
sendiri harus dicegah tetapi sebagai suatu indikator dari permasalahan sosial
yang lebih luas, kita harus berusaha menelusuri secara teliti dan kritis
rangkaian penyebabnya dan kemudian kita harus berani melakukan serangkaian
pembenahan didalam masyarakat kita. Kita sering mendiskusikan masalah sosial
tetapi biasanya tidak berani atau tidak siap melakukan investasi untuk
membenahi kekukurangan-kekurangan pada masyarakat dan kebudayaan kita.
II. Tawuran
dan kompleksitas sosialnya
Tawuran sebagai
suatu tindakan sosial merupakan hasil dari suatu
Proses yang sangat kompleks
mencakup berbagai dimensi. Dimensi-dimensi ini dapat digambarkan seperti
lingkaran-lingkaran, mulai dari lingkaran yang paling kecil (sempit) sampai
lingkaran yang paling luas.
Lingkaran I :
Adalah lingkaran yang terkecil
artinya situasi dan kondisi yang secara langsung dihadapi oleh seseorang pada
saat tertentu.
Misalnya : kontak fisik
(bersentuhan) atau non fisik (berpandangan mata). Semakin sering kontak
langsung ini, semakin besar kemungkinan terjadi perkelahian yang dapat
meningkat menjadi tawuran. Kontak langsung ini menjadi semakin “berbahaya” bila
dikaitkan dengan usaha memperoleh kebutuhan-kebutuhan yang terbatas isalnya :
antri karcis, menuggu bus dsb. Bila fasilitas-fasilitas yang ada sangat buruk
atau tidak mencukupi, maka agresivitas cenderung semakin tinggi.
Di
Jakarta para pelajar sering harus mengalami kontak langsung dengan pelajar
sekolah lain di tempat-tempat umum seperti itu terutama di Pertokoan yang kini
semakin lama semakin menarik untuk di kujungi. Untuk memperkecil kesempatan
kontak langsung ini semakin memang tidak
mudah terutama bila terdapat beberap sekolah yang berdekatan.
Cara yang ditempuh :
§
Jam masuk dan jam sekolah dari sekolah-sekolah
yang berdekatan diatur agar tidak bersamaan waktunya sehingga dapat dihindari
suatu “peak hour”.
§
Mengalihkan perhatian pelajar sedapat mungkin
dari plaza-plaza atau tempat-tempat umum lainnya setelah pulang sekolah. Ini
berarti pemerintah DKI harus membangun tempat-tempat pengembangan bakat para
remaja tetapi juga memiliki daya tarik bagi mereka. (lihat saran tindak).
§
Kondisi fasilitas-fasilitas umum harus
diperbaiki karena perebut sumber-sumber yang terbatas dapat meningkatkan
agresivitas.
Lingkaran II :
Adalah kondisi kepribadian
individu-individu. Bila kepribadian dari para remaja tersebut dalam keadaan
yang mantap dan stabilserta tidak mengalami gangguan, maka kondisi pada
lingkaran I tidak akan terlalu mempengaruhi emosinya, akan tetapi bila pribadi
individu tertentu dalam keadaan terganggu, maka situasi dalam lingkaran I dapat
dengan mudah merangsang emosi dan agresivitasnya.
Kestabilan
kepribadian seseorang dapat dipengaruhi oleh rasa kecewa, frustasi, rasa tak
berarti (meaninglessness) masa depan yang tak jelas dsb. Kestabilan pribadi
dapat juga terganggu karena eseorang kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh
pengaruh obat bius atau minuman keras dsb.
Sebagian
besar remaja kita umumnya masih memiliki kepribadian yang cukup stabil walaupun
disana-sini mengalami masalah. Akan tetapi kita harus waspada terhadap gejala
meningkatnya frustasi remaja yang disebabkan oleh faktor yang bersifat
structural (disebabkan oleh tatanan istitusional yang ada, lihat lingkaran
III).
Para
remaja frustasi tersebut banyak yang mencoba untuk menggunakan obat atau
minuman keras yang justru semakin melemah kepribadian mereka, sehingga krisis
pribadi mereka menjadi semakin meningkat. Bila krisis kepribadian ini menginakt
maka kejadian kecil saja pada lingkaran I akan dapat menyulut emosi dan
keributan.
Lingkaran III :
Lingkaran ini adalah lingkaran
kehidupan sosial lingkaran ini dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :
1.
lingkaran kehidupan sosial mikro seperi keluarga
kelompok teman seusia atau teman sepermainan (peer group).
2.
lingkaran kehidupan sosial makro misalnya
lingkungan sekolah komuniti dan lingkungan masyarakat luas.
Ikatan-ikatan sosial dalam
kelompok kecil terutama keluarga dan kelompok sepermainan sangat kuat
mempengaruhi kondisi pribadi tiap individu. Misalnya hubungan dalam keluarga
yang tidak menyenangkan akan membuat kepribadian terganggu. Hubungan lain yang
memiliki pengaruh kuat pada individu setelah keluarga adalah kelompok
bermain.celakanya kedua kelompok ini seringkali memberi pengaruh yang
berlawanan bagi individu. Pada diri remaja, kelompok seusia cenderung semakin
kuat pengaruhnya apabila bila hubungan dalam keluarganya mengalami krisis.
Yang
paling menyolok dalam kelompok seusai ini adalah norma solidaritas mereka.
Norma ini sebenarnya baik, yaitu mau berkorban demi kelompoknya, tetapi
seringkali tidak diimbangi oleh kebijaksanaan, kedewasaan dan pertimbangan yang
rasional sehingga semangat ini pulalah yang seringkali menjadi faktor utama
terjadinya tawuran.
Lingkaran
kehidupan sosial makro walaupun kurang intensif interaksinya dengan
individu-individu namun ternyata memiliki pengaruh yang penting yang
menciptakan kondisi struktural yang membatasi, memberi kendala, menekan
dan memaksa individu-individu untuk melakukan hal-hal tertentu yang mungkin
tidak sesuai dengan hasrat serta aspirasi individu.
Kondisi
ini disebut structural karena terdiri dari tatanan-tatanan institusional yang
ditunjang oleh norma dan nilai-nilai yang relatif telah mapan didalam
masyarakat dan sulit untuk dilawan atau dirubah oleh individu semakin
memperkuat komitmennya terhadap kelompok kecilnya untuk mendapatkan dukungan
melawan struktur yang membelenggu tersebut. Semakin besar kekangan struktur
makro terhadap individu, semakin kuat solidaritas kedalam kelompok kecil dan
semakin agresif kelompok kecil tersebut.
Dalam
rangka menganalisa terjadinya tawuran, peran kita menyorot beberapa institusi
penting didalam masyarakat kita yaitu :
1.
Sekolah : Didalam masyarakat kita saat ini
secara tidak kita sadari sekolah telah menjadi suatu institusi yang sangat
mendominasi kehisupan sebagian warga masyarakat terutama kaum remaja. Dia
dianggap satu-satunya lembaga pendidikan yang memiliki legitimasi. Hanya dengan
ijasah yang dikeluarkannya, nasib seseorang di tentukan sepanjang hidupnya.
Kegagalan disekolah adalah fatal bagi kehidupan individu. Dengan kurikulum yang
ditentukannya dan di bakukan melalui keputusan politik dan di kontrol melalui sistem birokrasi yang
terousat, sekolah telah menentukan pelajaran dan pengetahuan apa yang peting
dan tidak penting. Orang yang mahir aljabar adalah orang “pandai” tetapi orang
yang mahir berbicara, berpidato atau beladiri bukan orang “pandai”, karena
kemahiran itu tidak masuk kurikulum. Dengan cara ini “human potensials” yang
berbagai ragam, banyak disia-siakan dan banyak anak berbakat yang tidak
berminat pada pelajaran sekolah dibuang sebagai anak-anak “drop-out yang tidak
berarti. Padahal kebudayaan terjerat birokrasi sulit untuk meyesuaikan diri,
sehingga kekuasaannya menjadi kian mengekang aspirasi individu yang semakin
berkembang luas.
Semua
ketentuan disekolah yang mengungkung ini tidak
mungkin dilawan
oleh individu-individu. Mereka harus dalam struktur institusional yang ada.
2.
kehidupan Kota : Kondisi kehisupan di kota
Jakarta ini nampaknya semakin berkembang kearah “material bias” artinya
investasi yang dilakukan sebagian terbesar adalah untuk menghasilkan dan memasarkan
benda. Kemajuan Jakarta lebih sering diukur dengan melihat pertambahan jumlah
pabrik, hotel, plaza dsb. Sementara itu investasi untuk mengembangkan bakat dan
kepribadian individu tidak bertambah bahkan secara proposional berkurang.
Kemajuan Jakarta lebih diukur dari berapa penyanyi dan
olehragawan top dunia bisa
didatangkan untuk dinikmati secaralangsung oleh (sebagian kecil) warga Jakarta,
tetapi bukan dari banyaknya fasilitas yang dibangun untuk memungkinkan para
remaja kita dilatih menjadi penyanyi, musisi, olehragawan atau apapun yang
berkaliber dunia (kosmopolitan) tetapi lumpuh dalam segi kreatifitas dan
produtifitas.
Plaza-plaza yang super megah bermunculan disana sini sementara
para remaja kita menggembangkan
budaya duduk bermalas-malas dilantainya tanpa mampu berbuat sesuatu yang
berarti bagi mereka sendiri maupun bagi orang lain.
Budaya “ngeceng” adalah manifestasi dari hasrat yang meluap-luao
untuk menunjukkan “siapa aku”
tetapi mampu menunjukkan prestasi.
Kondisi struktural lain yang terasa mengungkung dan menekan
individu-individu adalah
kesenjangan sosial ekonomi yang semakin mencolok. Kesenjangan ini disatu pihak
telah menciptakan pameran kekayaan pada para remaja tetapi dilain pihak tidak
memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mencapainya. Kerja keras semata
rupanya bukanlah jaminan untuk memperoleh sukses di kota ini.
Kecenderungan sosial bukan hanya
melanda golongan orang dewasa, tetapi ternyata juga melanda kalangan remaja.
Sekurang-kurangnya itulah yang dapat ditangkap pada diskusi antar para remaja
yang diadakan di Jakarta baru-baru ini.
Seperti
telah dikatakan dimuka, semakin besar kekangan struktur sosial makro pada
individu, semakin kuat individu mengikatkan diri pada kelompok-kelompok
kecilnya untuk memperoleh dekungan sosial. Semakin kuat ikatan didalam suatu
kelompok semakin besar solidaritasnya.
Lingkaran IV :
Kondisi Budaya. Sistem budaya
adalah suatu yang abstrak tetapi dapat kita rasakan dampaknya dalam kehidupan
kita sehari-hari karena dia merupakan sumber dari nilai dan norma serta pedoman
hidup yang ideal bagi masyarakat kita. Akan tetapi dalam proses sehari-hari
nilai-nilai yang ideal tersebut tidak sepenuhnya mewarnai pola perilaku anggota
masyarakat.
Suatu
pandangan sosiologi yang disebut “interactionism” berpendapat bahwa pada
dasarnya perilaku manusia sangat ditentukan oleh “harapan-harapan” yang
berkembang antara pihak-pihak yang berinteraksi. Jadi disini hkasanah
nilai-nilai budaya tidak akan banyak menentukan. Tetapi pandangan ini tidak
dapat diterima secara ekstrim, karena bagaimanapun sistem budaya masyarakat
yang telah disosialisasikan pasti akan memiliki warna pada kepribadian anggota
masyarakat. Namun di masyarakat kita saat ini terdapat beberapa gejala negatif
yang menimpa sistem budaya kita antara nilai lama yang dijunjung tinggi dengan
nilai baru yang lebih modern dan pragmatis. Nilai-nilai Pancasila bersaing
dengan nilai-nilai Kapitalisme, liberalisme dsb.
Beberapa
fenomena penting dalam penananman sistem nilai dimasyarakat Jakarta saat ini
dapat digambarkan sbb :
Agama, nilai dan norma agama
masih dihormati, tetapi pelaksanaannya sangat diganggu oleh nilai-nilai
materialistis yang semakin merajalela. Sekolah sulit menjadi tempat sosialisasi
agama yang baik karena disini pelajaran agama diajarkan dan dievaluasi sama
seperti pelajaran-pelajaran lainnya. Tempat-tempat ibadah serta para ulama
hanya ber-kontak sesaat saja dengan umat sehingga pengaruhnya sangat
“supervisial”. Keluarga adalah lembaga yang paling diandalkan, tetapi ini
sangat tergantung dari bagaimana kondisi keagamaan orang tua dan intensitas
hubungan mereka dengan anak sehari-hari.
Walaupun
proses sosialisasi agama terasa mengalami krisis, namun para remaja
umumnyatetap percaya bahwa agama merupakan benteng moral. Hal ini nampak jelas terungkap
dari seminar “Perkelahian Pelajar”
yang telah disebut dimuka.
Nilai-nilai
lain yang sedang kita tanamkan adalah Pancasila, tetapi saat ini disekolah
Pancasila masih terlalu diajarkan secara kognitif dan didalam kurikulum
disamakan dengan pelajaran lain yaitu harus dihapal dan diujikan. Hal ini telah
mereduksi Pancasila sebagai “way of life” menjadi sekedar suatu ilmu
pengetahuan, sehingga tingkat pengalamannya pun rendah.
Diluar
sekolahpun Pancasila sering hanya menjadi isi pidato para prjabat. Padahal
dalam jaman komunikasi yang canggih ini semua telah menjadi transparan.
Sehingga nampak kontradiksi antara apa yang diucapkan pejabat dan yang
dilakukannya.
Dari
uraian diatas kita telah melihat bahwa tawuran adalah hasil dari suatu proses
sosial yang kompleks yang mencakup lingkaran yang paling makro dari interaksi
sosial sampai yang paling makro. Jelas permasalahan tawuran maupun jenis
kenakalan remaja lainnya harus dipecahkan dengan memperhatikan semua dimensi
diatas. Namun harus kita sadari bahwa tidak mungkin kita merombak semua itu
sekaligus, sehingga kita harus pilih beberapa jalan keluar yang paling realitis
tetapi cukup strategis untuk dapat memecahkan masalah tanpa harus bersifat
partial atau ‘piecemeal”.
III. Apa
yang harus dilakuaka?
1)
Pada dasarnya, Pemerintah (sebaiknya dibantu
oleh kalangan swasta) harus bersiap untuk melakukan investasi guna
menyeimbangkan kembali ketimpangan pola penyediaan fasilitas sosial yang sudah
sangat menyedihkan di kota Jakarta ini. Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas
yang berorentasi pada konsumerisme (sebagai kebudayan wajar di kota)
harus diimbangi dengan fasilitas untuk mengembangkan aspek-aspek human
potensial terutama yang telah “isepelekan” oleh sistem sekolah. Dengan
demikian frustasi ‘struktural” para remaja yang disebabkan karena potensi
mereka yang tidak tersalurkan (bahkan dihambat atau dimatikan) dapat dikurangi
secara menyakinkan. Bahkan sekolah sebaiknya dimanfaatkan sebagai lembaga
“talent scouting” yang harus mengidentifikasi dan melaporkan kemampuan atau
bakat yang terdapat pada anak untuk disalurkan kedalam lembaga-lembaga
pengembangan bakat tersebut. Mekanisme ini sangat penting karena dengan
demikian kelompok yang mereasa terbuang oleh sistem sekolah (karena presentasi
akademisnya rendah), masalah bisa merasakan menjadi “sang nomor satu”. Dengan
cara ini pula dominasi sekolah dapat dikurangi dan remaja memperoleh ruang
gerak yang lebih leluasa untuk menunjukkan eksistensinya atau mengatualisasikan
dirinya.
2)
Pengembangan fasilitas pengembangan bakat remaja
sebaiknya jangan bersifat eksklusif dan monopoli oleh golongan kaya. Bila ini
dapat diwujudkan, kecemburuan sosial yang disebabkan oleh perbedaan status
sosial ekonomi akan dapat diredam karena setiap pribadi punya peluang untuk
berprestasi.
3)
Hubungan antara remaja dengan aparat pamarintah
terutamaparat keamanan dan ketertiban harus mengambil perspektif yang sama
sekali baru. Polisi harus menggunakan pendekatan dengan menciptakan
program-program menggerakkan aktivitas pemuda yang dapat menunjukkan potensi
mereka serta pengabdian mereka pada masyarakat. Misalnya : kesempatan pada
kelompok-kelompok pelajar untuk terlibat dalam suatu “proyek kegiatan” tertentu
yang mereka rencanakan dan mereka laksanakan sendiri. Agar “proyek” ini
“exiting” bagi mereka, sebaiknya proyek tersebut memiliki dampak nyata pada
mesyarakat lingkungannya. Pemda DKI juga harus aktif mensponsori
kegiatan-kegiatan seperti ini. Dengan banyaknya kegiatan-kegiatan yang menyita
perhatian para siswa, mereka akan dengan sendirinya tidak akan terlibat kedalam
tindakan-tindakan yang tujuannya tidak jelas. Yang terpenting adalah : sekali
mereka memperoleh cap (label) yang baik dari masyarakat, maka sulit bagi mereka
untuk terlibat dalam tindakan yang negatif. Untuk menarik minat para pelajar
dalan kegiatan-kegiatan tersebut, Pemda atau Aparat keamanan harus mencari
partner organisasi yang telah berhasil menjadi sahabat remaja (misalnya
beberapa Radio Swasta). Pada saat kegiatan direncanakan yang luas untuk
melakukannya sendiri. Pemerintah hanya memberikan fasilitas dan pengamanan.
4)
Aparat keamanan dan Pemda DKI jangan
menyingkirkan kelompok-kelompok pemuda yang tidak mau bergantung dengan
kegiatan OSIS (kelompok yang sering menyebut dirinya gang). Kelompok ini justru
harus diberi kegiatan yang positif, karena mereka lebih berpotensi untuk
menjadi pengacau masyarakat.
5)
Polisi atau Pemda DKI sebaiknya menjauhi sikap
“preventif yang negatif” yaitu sikap yang selalu melarang, mencurigai,
mempersulit prosedur untuk melakukan kegiatan di masyarakat, selalu menuntut
agar semua kegitan (yang sangat sepelepun) harus mendapat surat ijin dsb.
Aparat pemerintah tersebut harus inovatif, berani menanggung resiko dan miliki
visi yang jauh kedepan.
6)
Pada jaman informasi ini, cara yang paling
efektif untuk mununjukkan eksistensi diri seseorang atau kelompok adalah
melalui ekspose di media massa. Kegiatan pemuda di media massa terutama TV di
masyarakat kita ini. Sampai sekarang acara berita di TV masih terlalu
dimonopoli oleh pejabat-pejabat pemerintah seolah-olah hanya mereka yang
berkiprah didalam Pembangunan ini. Hal ini telah menyebabkan pemuda merasa
“useless” dan tidak relevn atau tidak punya urusan dengan Pembangunan, lebih
berbahaya lagi bila mereka merasa bermusuhan dengan Pembangunan.
7)
Saat ini di Jakarta nampaknya belum ada suatu
konsep mendasar mengenai temapt rekreasi. Semua fasilitas rekreasi seolah-olah
tumbuh bagaikan rumput liar menurut selera pengusaha yang menyelenggarakannya.
Sarana-sarana rekreasi seolah-olah tumbuh bagaikan rumput liat menurut selera
pengusaha yang menyelenggarakannya. Sarana-sarana rekreasi keluarga yang
memiliki unsure pendidikan seperti Ancol, Dufan, Kebun Binatang dan Taman Mini
sangat langka, terpusat dan masih relatif mahal. Sementara itu sarana rekreasi
yang menjamur adalah karoeke, bilyard, disko dan Panti Pijat. Kemanakah Remaja
harus berekreasi?. Pemda DKI mungkin perlu mempertimbangkan dibukanya rekreasi
yang dapat dinikmati keluarga secara bersama-sama (karena dalam kehidupan
sehari-hari anggota keluarga di Jakarta lebih banyak berpisah). Fasilitas
Rekreasi yang bersifat menantang seperti panjat tebing, serta jenis-jenis
permainan aktif lainnya mungkin perlu untuk para remaja menyalurkan enerjinya
dan “show-off’ secara positif. Mengapa daerah antara Bogor dan Jakarta tidak
dijadikan daerah perluasan utnuk rekreasi? Dengan kata lain tempat rekreasi
remaja harus dibenahi, yaitu di rubah polanya dari konsuptif-hedonis
(disko, bilyard, Panti pijat) menjadi kreatif-active. Pengaturan pola rekreasi jangan diserahkan
begitu saja pada selera pengusaha.
8)
Pemerintah DKI mungkin dapat memberikan
ketentuan bahwa setiap pendirian Shopping Center disuatu wilayah, pengusaha
diwajibakan menyiapakan suatu ruangan untuk remaja diwilayah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar