Oleh:
Paulus Wirutomo*
I.
Pendahuluan
Pada masa Orde Baru Pembangunan Indonesia pernah dipuji
oleh dunia Barat sebagai ”miracle”, tetapi apa yang terjadi setelah 30 tahun
penguasaan rejim itu? Suatu gerakan Reformasi yang menuntut perubahan!. Pada saat
inipun Pemerintah seringkali berusaha menginformasikan kepada rakyat bahwa
ekonomi makro kita berkembang dengan baik, tetapi apa respons masyarakat?,
demonstrasi dan cacimaki. Apa yang salah dengan Pembangunan?
Berdasarkan data agregat yang berskala dunia PBB mencatat
bahwa pembangunan terutama hanya menghasilkan pertumbuhan secara material,
sehingga: bersifat Jobless (tidak menghasilkan
pekerjaan yang cukup dan bernartabat, Ruthless
(cenderung semakin menambah kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan), Rootless
(tidak mengakar di masyarakat, kuatnya dominasi modal dari luar, hilangnya
tradisi lokal, melunturnya nilai-nilai budaya lokal dsb.), Voiceless
(tidak mendengarkan aspirasi rakyat karena kurang demokratis dan partisipatif),
dan Futureless (merusakan lingkungan ekologis). (UNDP 1997) .
Jadi setelah berlangsung sekitar
lima dekade – sejak tahun 50 an - konsep “pembangunan” yang terlalu
mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented), ternyata tidak berhasil membangun harkat dan martabat manusia
secara “hakiki”. Manusia bukanlah ”single dimensional being”, mereka
tidak akan dipuaskan hanya dengan pembengunan yang bersifat sektoral (misalnya
sektor ekonomi). Manusia membutuhkan keseimbangan dalam kehidupan
sosial-budayanya.
Pada akhir tahun 2012 Harian Kompas melakukan jajak
pendapat tentang Peran Negara dalam kebinekaan.
Hasilnya 60,8 responden tidak puas pada kinerja Pemerintah dalam menjaga
kebinekaan, 65.5 persen responden tidak puas pada Pemerintah dalam mencegah
ancaman kerukunan dan dalam mencegah potensi konflik etnis 67.4 tidak puas.
Para responden (54.7%) juga merasa bahwa warga minoritas belum terlindungi dalam
beribadah dan mendirikan rumah ibadah.
Mengenai perlindungan warga minoritas agama terhadap kekerasan, ternyata
para responden merasa Pemerintah belum melakukan dengan baik (59.8 ), tentang
peran pemimpin agama 42.1 % responden mengatakan belum cukup melndungi. Bahkan
mereka (33.2%) SKB 2 Mentri justru memicu konflik. Begitu pula Keputusan Menag terhadap Ahmadyah 54.4 %
mengatakan malah memicu konflik. Dilihat
dari berbagai dimensi social-budaya, pembangunan yang ada saat uini masih jauh
dari memuaskan. Bila diukur dengan Indeks
kinerja penegakan hukum (skor 0-7), kebebasan beragama hanya mendapat skor
2.30. Rasa aman warga malah menurun dari: th 2010: (skor 3.66 menjadi 2.00 th 2011. Pada jumlah kasus intimidasi/ancaman kekerasan: 48
kali, pernyataan kebencian dan : pembakaran
properti: 27 kali, penolakan rumah ibadah: 14. Hal ini menunjukan bahwa
urusan Pembangunan bukan hanya ”meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi”, tetapi meningkatkan ”kualitas kehidupan
Sosial-budaya” . Data juga menunjukkan bahwa kinerja kita masih sangat rendah.
Hal-hal ini lebih mendasar dari sekedar peningkatan ekonomi, karena bisa
menghasilkan ”modal sosial”.
Masalah Pembangunan kita adalah terlalu ”growth oriented”
serta ”sektoral”. Pengukuran kinerja pembangunan sampai saat ini masih
didominasi oleh Pengukuran variabel
ekonomi yang mengukur ”banyaknya” (kuantitatif) seperti GNP dan GDP, sementara
itu kehidupan sosial-budaya kita juga membutuhkan perkembangan yang kualitatif
seperti kehidupan politik yang lebih demokratis, kehidupan beragama dan
etnisitas yang lebih toleran, dan multikultur, kehidupan yang lebih aman dan
bebas dari ketakutan dan kekerasan, hak azasi yang lebih dihargai dan dilindungi,
bakat dan kreativitas yang lebih diberi tempat,
aspirasi yang lebih didengar dsb. Pendek kata kita membutuhkan peningkatan
kualitas kehidupan bukan saja kuantitas.
Perubahan
paradigma bukan suatu hal yang mudah karena menyangkut perubahan mendasar “cara berpikir” manusia yang telah
berlangsung cukup lama. Konsep-konsep seperti: trickling-down effect, growth
pole, basic human needs dsb. Perlu digantikan dengan capacity building,
sutainable development, community based development dsb. Konsep-konsep yang
dulu samgat mendominasi seperti efficiency perlu diseimbangkan dengan
effectiveness, centralization dengan decentralization, development aids dengan
self reliance, quantity dengan quality
dsb. Dominasi financial dan physical capital harus diimbangi dengan social
capital dan cultural capital. Konsep
human resource yang lebih berkonotasi sebagai obyek pembangunan atau alat
pembangunan harus lebih dilihat sebagai subyek atau bahkan tujuan pembangunan. Dunia
kini sedang menuju kesana. PBB melalui UNDP telah mensponsori dengan Human Developmen Index
(HDI) yang kini telah diakui sebagai suatu kriteria baru untuk mengukur
keberhasilan pembangunan dari setiap negara di dunia (disamping GNP), dan telah
melaporkannya setiap tahun dalam Human Development Report (HDR). Keikutsertaan
hampir seluruh negara di dunia dalam HDR telah menunjukkan suatu political will
yang meluas di tingkat global.
v Reduksionistik: kebutuhan
manusia seolah hanya materi saja.
v Statis dan
absolutis:
ditentukan secara sepihak oleh para teknokrat sebagai pemikir dan pemimpin
pembangunan, tidak suka pada perubahan paradigma.
v Sentralistik-korporatis: mengandalkan
pada pemerintah yang kuat dan terpusat.
Pembangunan sosial tidak boleh
bersifat deterministik, tetapi harus membuka kesempatan bagi public
negotiation (inovasi/demokratisasi/ruang sosial semi otonom). Oleh karena itu
dalam rangka pembangunan sosial harus diciptakan ruang-ruang publik
dimana warga masyarakat dapat mengekspresikan kepentingan dan kebutuhan mereka.
Organisasi didalam masyarakat yang benar-benar berbasis pada masyarakat perlu
memperoleh tempat dalam proses perencanaan (pengembangan sociability)
Pendekatan pembangunan sosial perlu
menghilangkan sifat hubungan manusia yang hanya berdimensi “materialistik”,
pandangan yang hanya satu dimensi (one dimensional man) ini sering
mereduksi manusia menjadi “materi” atau “obyek” yang tidak memiliki “makna
subyektif” dan mampu melakukan komunikasi dan interaksi yang produktif.
Individu sebagai aktor yang memiliki kemampuan menginterpretasi situasi dengan
“makna subyektif” harus tetap mendapat tempat sebagai subyek dalam proses
pembangunan yang menyangkut dirinya. Oleh karena itu keputusan pembangunan
harus bersifat dialogis dan
negotiable (“social order is a negotiated order” ). Mengingat hal
itu, pembangunan sosial menolak pendekatan fungsionalisme yang cenderung
mempertahankan statusquo, tetapi juga aliran konflik yang hanya melihat
konflik sebagai satu-satunya cara untuk membebaskan manusia dari struktur yang menindas.
Sinergi[1]
merupakan suatu jalan keluar yang ideal dalam pembangunan yang
berkesinambungan.
Yang terpenting dari pembangunan
aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu,
misalnya nilai keadilan, kerukunan, kemandirian dsb. Pembangunan yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang
sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Bila
pembangunan pendidikan, misalnya, hanya diukur keberhasilannya dari berapa
“pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusan dsb., maka
itu bukan “pembangunan nilai”. Bila pembangunan di dasari oleh suatu sistem
nilai misalnya:”kemandirian”, maka keberhasilan pembangunan akan diukur
oleh indikator-indikator seperti: berapa jumlah sekolah yang dibangun “secara
mandiri” oleh masyarakat?, berapa banyak lulusan SLTP/SLTA yang bisa membuka
lapangan kerja sendiri? Dsb. Demikian pula dengan program dibidang kesehatan,
bukan hanya diukur dengan pertambahan tempat tidur per-jumlah penduduk tetapi misalnya “tercapainya budaya sehat,
kerjasama masyarakat dalam menanggulangi kesakitan” dsb. Dengan kata lain
pembangunan yang berbasis pada masyarakat haruslah pembangunan yang berbasis
“nilai”, karena yang akan dibangun adalah nilai-nilai tertentu yang
dipandang baik untuk rakyat, untuk manusia, sehingga dijadikan suatu cita-cita
pembangunan, karena itu diakhir setiap program harus diukur apakah nilai yang
didambakan sudah bertumbuh? Saat ini sering terjadi hasil pembangunan yang
bersifat paradoxal, seperti lulusan sekolah semakin banyak tetapi penganggur juga semakin banyak. Jumlah
sekolah semakin banyak tetapi anak nakal (tawuran) semakin banyak, jadi pembangunan pendidikan tidak mencapai
suatu nilai tertentu (misalnya nilai “kemandirian”, “kerukunan”, atau
“intelektual”), tetapi hanya menghasilkan gedung sekolah, ijasah, dan lulusan.
Bagaimana ilmu sosial-budaya dapat
menyeimbangkan kondisi peradaban dan kemanusiaan ini?. Peran yang sering dilakukan oleh ilmu sosial-budaya dalam Pembangunan
sejauh ini adalah “hanya” mengevaluasi proyek pembangunan (social
impact assessment). Peran ini tidak dapat menyeimbangkan, karena
apapun hasil analisanya tidak akan banyak mempengaruhi arah hakiki pembangunan
itu sendiri.
Banyak ahli ilmu sosial mendesak agar peran ilmu sosial tidak hanya analytical-evaluative, tetapi harus
lebih prescriptive, bahkan
meningkatkan peran pemikirannya dari sekedar the enlightment model menjadi the
engineering model[2].
II.
Konsep
Pembangunan Sosial
Dalam rangka melakukan koreksi terhadap arah perkembangan peradaban
manusia ini, maka ilmu-ilmu sosial-budaya harus secara konseptual
memperjuangkan prinsip yang mungkin tidak mudah diterima oleh logika “pertumbuhan
kebendaan” yang mendominasi dunia saat ini, misalnya mengemukakan
variable-variable “social” dan “humaniora” seperti: inklusi sosial, kerukunan,
kemandirian, kesetiakawanan, demokrasi, kesejahteraan dan bahkan kebahagiaan. Dibawah ini penulis mencoba
menjelaskan makna konsep ”sosial” sebagai berikut:
·
Pembangunan
Sosial bukanlah pembangunan “individual”: artinya pembangunan sosial adalah
menyangkut perbaikan bagi orang banyak, bukan perorangan atau sekelompok kecil
orang. Suatu program (sektor) pendidikan yang hanya bisa meningkatkan SDM dari
individu atau sekelompok kecil orang dengan cara membuka suatu program yang
sangat khusus misalnya mendirikan sekolah berkualitas internasional tetapi hanya
dapat dinikmati oleh segelintir orang saja tidak dapat disebut sebagai suatu
pembangunan sosial. Pembangunan sosial adalah pembangunan yang harus bisa dinikmati
oleh masyarakat luas. Oleh karena itu masalah kesenjangan antar kelompok adalah
suatu masalah sosial yang sangat serius dan berbahaya. Pembangunan sosial
adalah suatu usaha untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Kesenjangan memang
tidak mungkin dihilangkan dari dunia ini, tetapi harus dikurangi sampai titik
dimana tidak ada suatu kelompokpun yang memiliki kekuasaan absolute sehingga
mampu menutup semua kemungkinan perubahan (statusquo).
·
Pembangunan
Sosial juga sering diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau
mengurangi masalah-masalah sosial
yaitu suatu masalah yang mengganggu kehidupan orang banyak (kejahatan,
kenakalan remaja, pelacuran dsb). Konsep ini benar, tetapi seringkali tidak
terlalu mendasar karena dibalik semua masalah itu biasanya terdapat masalah
yang lebih mendasar yaitu kesenjangan sosial dan ketidak adilan. Seringkali masyarakat
mempersalahkan pelaku masalah sosial tersebut padahal sebenarnya mereka adalah
korban dari “kondisi kehidupan sosial” yang tertentu seperti misalnya struktur dan/atau kultur itu
yang senjang dan tak adil. Oleh karena
itu konsep Pembangunan Sosial harus memiliki pengertian baku yang disepakati
oleh berbagai “stake holder”.
·
Pembangunan
sosial-budaya juga bisa mencakup
pembangunan sendi-sendi masyarakat yang
paling dasar seperti memperkuat integrasi nasional. Aspek ini sangat mendasar dan mencakup seluruh
bangunan sosial (societal). Pembangunan societal seperti ini l harus dapat
menghasilkan resilience (ketahanan budaya terhadap berbagai tantangan
dari luar dan dalam), sustainability (suatu kemampuan mempertahankan dan
mengembangkan kemajuan yang telah
diperoleh), dan pemberdayaan (suatu penguatan pada komponen-komponen
dalam masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri secara mandiri).
·
Pembangunan
sosial juga tidak boleh dipusatkan hanya sekedar untuk mengurangi kemiskinan,
karena tanpa pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sesunguhnya,
penanggulangan kemiskinan sering tidak menghasilkan pembangunan sosial. Program
pengentasan kemiskinan seperti JPS, Raskin, padat karya, seringkali tidak
berhasil melenyapkan kemiskinan secara hakiki dan permanen, tetapi justru telah
menyebabkan sikap tergantung, penyelewengan pada masyarakat miskin. Oleh karena itu masalah kemiskinan harus
dilihat sebagai masalah sosial yang sistemik (societal) yaitu mencakup
keterkaitan berbagai dimensi. Untuk mengatasi hal ini tidak cukup dengan
program-program yang bersifat ekonomi saja tetapi pembangunan berbagai aspek
kemasyarakatan (pemberian otonomi, perlindungan sosial, pengembangan modal
sosial, solidaritas sosial, basic rights entitlement dsb).
·
Fungsi
pembangunan lainnya yang masuk dalam ruang lingkup pembangunan sosial-budaya
adalah:
ü merombak budaya
atau struktur sosial yang tidak adil (misalnya kesetaraan jender).
ü membangkitkan
potensi yang tersimpan di masyarakat (Human Capital, Social Capital, Cultural
Capital)
ü merekatkan
struktur sosial yang retak (disintegrasi sosial).
ü pembangunan
sistem perlindungan sosial (social protection)
ü pembangunan
sosial adalah “pengembangan partisipasi” itu sendiri, bukan hanya sebagai alat,
tetapi sebagai tujuan (budaya).
ü pembangunan sosial adalah menyangkut
penciptaan perubahan dan pengembangan proses sosial baik dari dimensi structural maupun cultural (nilai-nilai,
norma, symbol-simbol) agar tercipta pola hubungan sosial dan pola
interaksi dan pola perilaku yang mendorong terciptanya keteraturan
sosial yang dikehendaki.
ü pengembangan
civil society (LSM, Community Based Organization.).
ü pengembangan
local capacity, memfasiliasi kemitraan
dengan pemerintah.
ü pembangunan
sosial juga menghilangkan social distress (seperti violent conflict dsb)
Dalam perspektif Pembangunan Sosial,
partisipasi masyarakat bukan sekedar alat
atau cara, tetapi tujuan, karena
dalam keikutsertaan yang aktif dan kreatif
dalam Pembangunan, hakikat manusia sebagai mahluk yang memiliki
aspirasi, harga diri dan kebebasan (freedom)
diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan mutunya. Dengan kata lain penekanan Pembangunan Sosial adalah pemerataan sarana dan hak-hak manusia yang paling dasar (inklusi sosial)[3] (lihat: Haralombos 2008, h.212-277). ”Pemisahan”
konsep Pembangunan Sosial dari konsep pembangunan ekonomi tentu saja bukan
dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau
bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang mutually exclusive. Karena
kehidupan ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial, maka Pembangunan
Sosial adalah landasan dari Pembangunan Ekonomi. Dengan kata lain ekonomi tidak
boleh dibangun untuk sekedar tujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, tetapi dibangun agar manusia yang hidup di
dalam masyarakat itu dapat hidup dengan lebih sejahtera. Tetapi karena manusia
itu hidup didalam masyarakat, maka pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus
bertumpu pada nilai-nilai dasar yang disepakati oleh sebagian besar warga masyarakat
(value-based development) dan mampu menciptakan kemakmuran secara inklusif pada
semua warga masyarakat. Semua elemen dasar masyarakat: struktur, kultur dan
proses sosial menjamin semua warganya untuk memperoleh hak-hak paling dasar
bukan hanya sebagai manusia tetapi sebagai warga masyarakat[4].
Semua variable ini harus bisa masuk kedalam
perhitungan input-output Pembangunan yang amat kuantitatif. Logika perencanaan yang
saat ini sangat berpegang pada azas efisiensi harus bisa menerima logika “sosial-budaya”
yang cenderung lebih berorientasi pada “efektivitas” (yakni menghasilkan
kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat), azas profesionalitas yang dinilai
amat tinggi oleh para teknokrat harus bisa memberi tempat bagi azas partisipasi
masyarakat dan seterusnya. Dengan kata lain “pertumbuhan
ekonomi”, harus secara langsung melekat (bukan sekedar diseimbangkan) dengan
peningkatan kualitas “kehidupan bermasyarakat” atau “kehidupan sosial budaya” (good
society) (Bellah 1992).
Pada saat ini
memang sudah banyak penekanan diberikan pada unsur “manusia” dalam
pembangunan seperti konsep People Centred Development (lihat Korten
2006), “Social Development” (UNDP), bahkan MDGs, tetapi penulis mengusulkan agar Ilmu-ilmu
Sosial dan Budaya berani secara lebih spesifik mengajukan suatu “proposisi”
bahwa membangun manusia haruslah melalui pembangunan Masyarakatnya, Bellah misalnya, mengatakan:
” It is difficult to be a good person
in the absence of good society. The difficulty actually comes from failures of the larger
institutions on which our common life depends (Bellah et al.1992 p.4)”.
Jadi membangun
masyarakat secara sistemik dan holistik (societal) sangatlah mendasar, bukan
sekedar membangun “sektor-sektor” atau hanya menjamin “sebagian” hak-hak
individu tetapi secara keseluruhan membangun warganegara menjadi civil society yang tercerahkan[5].
Untuk itu penulis menawarkan konsep Pembangunan
Sosial yang bersifat
sistemik-sosietal yang dikaitkan langsung pada konsep dasar sosiologis dari suatu masyarakat yaitu: struktur sosial, kultur dan proses sosial.
Pembangunan Sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi
"sosial"-nya. Pembangunan Ekonomi yang hanya menguntungkan kelompok
tertentu atau bahkan menciptakan
kepincangan dan kesenjangan di dalam sistem adalah bertentangan dengan Pembangunan
Sosial karena memerosotkan mutu hubungan sosial dan interaksi sosial.
”Pemisahan” konsep Pembangunan Sosial dari konsep
Pembangunan Ekonomi tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan
keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau bahkan melihat keduanya sebagai
suatu pilihan yang saling menghambat. Kehidupan
ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial-budaya, maka Pembangunan Sosial
haruslah merupakan landasan dari Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Sosial
tidak bisa direduksi sebagai sektor[6],
sebab semua bidang kehidupan manusia (termasuk dalam bidang ekonomi seperti
perdagangan, industri dsb.) berlandaskan pada “kehidupan sosial”. Pembangunan Sosial adalah pembangunan elemen societal
yang paling mendasar (secara sosiologis) yaitu pembangunan Struktur, Kultur dan Proses Sosial.
·
Struktur sosial: adalah pola hubungan (terutama hubungan kekuasaan) antara
kelompok sosial. Kelompok sosial yang
lebih kuat dan berkuasa akan mampu memaksa, memerintah, atau memberi kendala
pada manusia atau kelompok yang lain. Kekuatan “Struktur Sosial” bisa dilembagakan
(institutionalized) secara
legal-formal (seperti Undang-undang, kebijakan Pemerintah dsb.), maupun yang
tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang walaupun tidak
memiliki kekuatan hukum resmi untuk memerintah, tetapi efektif mengatur
kehidupan masyarakat luas (melalui iklan, fasilitas fisik yang diciptakan dsb.)[7].
Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa (negara
berkolusi dengan pengusaha besar) untuk membangun pola dominasi yang menindas di masyarakat. Jadi suatu masyarakat perlu
melakukan usaha menyeimbangkan hubungan kekuasaan antar pemerintah dan rakyat
atau golongan kaya dan miskin melalui kebijakan
Pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan rakyat banyak”, dengan
kata lain memperbaiki struktur yang eksklusif
(tidak adil, diskriminatif) menjadi inklusif
(adil, memberikan kesamaan hak). Memperbaiki
struktur yang eksklusif (tidak adil, diskriminatif) menjadi inklusif (adil,
memberikan kesamaan hak). Inilah yang disebut sebagai “Pembangunan Struktural”
yang merupakan elemen dari “pembangunan Sosial.”
Contoh Pembangunan Struktural:
ü Melakukan koreksi (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar agar terjadi terjadi keseimbangkan hubungan
kekuasaan antar Pemerintah-rakyat atau golongan kaya-miskin.
ü Membuat Kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan
rakyat banyak à ruang kota untuk PKL, tanah untuk petani dsb..
·
Kultur: adalah segala sistem nilai, norma, kepercayaan dan semua kebiasaan
serta adat istiadat yang telah mendarah
daging (internalized) pada
individu atau masyarakat sehingga
memiliki “kekuatan” membentuk pola perilaku dan sikap anggota masyarakat (dari
dalam).
Kebudayaan yang telah tertanam di suatu
masyarakat tidak selalu merupakan cara hidup terbaik untuk menghasilkan kesejahteraan
dan martabat masyarakat. Banyak unsur budaya yang justru menghambat
kesejahteraan masyarakat misalnya: Kuncaraningrat dan Mochtar Lubis pernah
mengidentifikasi beberapa unsur budaya kita yang menghambat kemajuan ……….
Kebudayaan ini tidak mudah untuk dihilangkan karena telah mendarah daging pada
anggota masyarakat, orang justru merasa
bersalah bahkan berdosa kalau tidak bertindak sesuai budaya. Kebudayaan ini
juga selalu dipertahankan oleh kelompok tertentu atau tokoh-tokoh masyarakat
dalam rangka melindungi kepentingannya (vested
interest). Golongan ini sering menindas golongan lainnya melalui legitimasi
budaya (cultural hegemony). Itulah
sebabnya suatu masyarakat memerlukan agenda membangun Kultur yaitu untuk meningkatkan
kualitas system nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan rakyat baik secara langsung (melalui sosialisasi,
edukasi dsb.) maupun tidak langsung (melalui pembangunan struktural dan proses
sosial).
Contoh Pembangunan Kultur:
ü Pada masa Orba bangsa Indonesia pernah menysusun suatu program
pembangunan dalam usaha menanamkan Pancasila sebagai landasan kehidupan
berbangsa (Program P4), ii adalah suatu
contoh Pembangunan Budaya.
ü Di Solo Jokowi mengembangkan kebijakan Eco-cultural City, salah satu
programnya adalah mengembangkan budaya non kekerasan dengan menginstruksikan
Satpol PP untuk tidakm menggunakan pentungan dalam menertibkan kota. Menentukan
nilai ideal tertentu sebagai basis dari Pembangunan Bangsa, misalnya struktural (kebijakan, regulasi dsb.)
ü Membangunan Gelanggang remaja untuk mengembangkan budaya kreartif
genarasi muda.
·
Proses Sosial: adalah segala “dinamika interaksi” sehari-hari antar anggota
masyarakat. Misalnya obrolan diwarung kopi, interaksi antar guru dan murid,
polisi dan warga masyarakat, diskusi di seminar, pembacaan puisi sampai
demonstrasi. Melalui proses sosial, individu maupun kelompok dapat
mengekspresikan aspirasi secara relatif “bebas”, disini terjadi negosiasi yang dinamis dan kreatif antar
anggota masyarakat, sehingga ”arena” ini dapat menjadi sumber perubahan
struktur maupun kultur yang ada (”social
order is a negotiated order”). Proses Sosial merupakan elemen dasar
kehidupan sosial yang sangat penting. Di dalam aliran “symbolic interactionism”
diyakini bahwa realitas sosial adalah hasil bentukan interaksi antar individu
dalam kehidupan sosial (reality is
socially constructed). Dengan kata lain:”… meanings do not reside in the object but emerge from social process”
(Jary and Jary 2005: 627). Jadi, membangun
“Proses Sosial” artinya membangun kondisi
kultural maupun struktural yang dapat memberi ruang lebih luas bagi
pengembangan kuantitas maupun kualitas proses sosial di kalangan warga
masyarakat.
Contoh Pembangunan Proses Sosial:
ü Membuka ruang public yang memungkinkan masyarakat berinteraksi secara
kreatif (gelanggang remaja, taman
bermain, panggung-panggung kreatif dsb.
ü Membuka kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan
opininya (public sphere) seperti: kebebasan berorganisasi, diskusi publik,
unjuk rasa, dsb).
ü Meningkatkan ruang partisipasi bagi masyarakat à musrenbang, menghidupkan tradisi gotongroyong di RT/RW
Di dalam kehidupan nyata “Struktur,
Kultur dan Proses” tidak berdiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu
saling mempengaruhi, saling berpotongan (saling menopang), misalnya peraturan
·
Gambar
Struktur-Kultur-Proses.
§
Usaha
sistematis dan terencana untuk membangun ketiga elemen dasar “societal” itulah yang kita sebut sebagai
“Pembangunan Sosial”. Bila ini
terjadi maka akan dihasilkan kehidupan sosial yang lebih emansipatoris (setara) dan inklusif (mencakup
kesejahteraan semua golongan), maka pembangunan dibidang apapun (ekonomi,
fisik, hukum, agama) harus berlandaskan pada pembangunan elemen dasar itu. Inti
dari Pembangunan Sosial adalah “inklusi
sosial” yaitu: kesempatan bagi semua
warga masyarakat untuk memperoleh hak dan kebutuhan yang paling dasar seperti kebutuhan fisik, status sosial,
kekuasaan serta hak-hak dasar sebagai manusia untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan sebagai warga
masyarakat.
§
Contoh
hak-hak dasar: Sandang – Pangan –Papan (termasuk tanah, Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, beragama dan beribadah, Rekreasi,
Modal (kredit), Status sosial (KTP, akte kelahiran dsb.), Politik,, Keamanan , Berorganisasi/berserikat
·
Gambar Pembangunan Sosial.
III. Perpotongan antar elemen dasar
Komponen Struktur – Kultur dan Proses dalam kehidupan sosial yang nyata
tidaklah berdiri sendiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu saling
berpotongan satu sama lain (cross-cutting). Perpotongan tersebut dapat kita
gambarkan sebagai berikut:
A.
Pertemuan antara komponen Struktur dan Kultur
menghasilkan gejala:
Structured
culture (SC):
dimana salah suatu unsur budaya yang telah terinternalisasi di masyarakat “diangkat”
menjadi suatu aturan resmi pemerintah (kultur yang distrukturkan).
Cultured
structure (CS):
adalah gejala dimana peraturan resmi yang bisa diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat sehingga terinternalisasi menjadi elemen budaya (struktur yang
membudaya),
- Pertemuan
antara komponen Struktur dan Proses menghasilkan gejala:
Structured
process (SP):
yaitu kejadian dimana pola interaksi yang berkembang secara informal
sehari-hari di masyarakat dianggap baik oleh Pemerintah sehingga diresmikan
menjadi Undang-undang atau komponen regulasi (proses yang disrukturkan).
Processed
structure (PS):
adalah struktur (regulasi) yang diproses kembali atau dinegosiasikan kembali
oleh masyarakat melalui berbagai cara, bisa diperdebatkan di warung kopi sampai
di media atau diprotes melalui Demonstrasi dan sebagainya. PS bisa bersifat
mendukung pemerintah (menyetujui peraturan) atau menentang. Processed structure
bisa juga berupa gejala dimana peraturan yang telah diresmikan di dalam
pelaksanaannya “ditawar” oleh kekuatan-kekuatan di masyarakat melalui “lobby”,
“suap”, “kolusi” dengan penegak hukum. Ini yang banyak terjadi di Indonesia
(hukum bisa “diatur” atau “diproses kembali” oleh masyarakat)
C.
Pertemuan
antara komponen Kultur dan Proses menghasilkan gejala:
Cultured process
(CP):
keadaan dimana pola interaksi yang berkembang sehari-hari di masyarakat mulai terinternalisasi
dan menjadi tradisi atau bagian dari budaya masyarakat (proses yang membudaya).
Processed
culture (PC):
proses interaksi di dalam masyarakat untuk menegosiasikan kembali atau
mewacanakan kembali unsur budaya yang ada, baik secara non formal (debat kusir
di warung kopi) sampai diskusi di media massa (Budaya yang diproses kembali).
Kekuatan dari “Model Analisis Struktur-Kultur-Proses” ini
terletak pada interaksi atau persilangan (cross-cutting) antar elemen
ini. Bila kita perhatikan, sebenarnya ada ruang perpotongan antara ketiga
elemen dasar tersebut (terletak ditengah). Ini adalah kondisi dimana
Sruktur-Kultur dan Proses berhimpitan. Sampai saat ini penulis belum bisa
memberikan nama pada gejala ini. Keadaan ini juga sangat “ideal” sehingga sulit
ditemuai di dunia empiris.
IV.
Penutup .
Pengembangan konsep “Pembangunan Sosial” adalah suatu tantangan terbesar
bagi para ilmuwan Sosial-Budaya karena sampai saat ini konsep Pembangunan masih
didominasi oleh aspek-aspek kebendaan, sehingga hasil pembangunan sampai saat
ini selalu gagal memenuhi harkat dan martabat manusia secara hakiki. Tulisan
ini mencoba menunjukkan cirri hakiki dari Pembangunan Sosial sehingga jelas
kedudukannya diantara konsep Pembangunan lainnya. Tuga berikut adalah menemukan
indicator yang paling “tajam” untuk mengukur setiap elemen dasar itu dan
kemudian menciptakan suatu “indeks Pembangunan Sosial” yang bisa menjadi tolok
ukur seberapa besar setiap kota/kabupaten/provinsi bahkan Negara telah
melakukan Pembangunan Sosial.
_____________________
*Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil
diskusi di dalam research cluster Pembangunan Sosial di Departemen Sosiologi
yang terdiri dari penulis dan rekan-rekan pengajar Sosiologi yaitu: Linda Darmajanti, Sudarsono Hardjosukarto,
Lidya Triana, Chotib, Wahidah Bulan, Sakti Wirayudha, Fajrian Siregar dan Iqbal . Sumbangan pemikiran para anggota
cluster ini sangat penting bagi penulis, akan tetapi kekurangan dan kekeliruan
di dalam tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis pribadi.
[1] Konsep sinergi mungkin perlu mendapatkan penekanan
disini karena orang telah melupakan bahwa pada hakekatnya suatu “Pembangunan”
haruslah berjiwa sinergis, karena bila tidak demikian –seperti apa yang dialami
oleh manusia di dunia saat ini – Pembangunan justru mencipatakan kesenjangan
dan menghancurkan keharmonisan serta potensi-potensi yang ada.
[2]
Banyak pemikir social-budaya tidak menyukai kata “social engineering”, karena konsep
ini bernuansa “deterministik, otoriter dan dapat melanggar HAM”. Sikap ini
masuk akal, karena itu konsep ini harus dihindari, akan tetapi kita harus menyadari bahwa dalam kenyataan
hampir semua kebudayaan di dunia saat ini telah jatuh dalam suatu scenario yang bersifat ”socio-cultural engineering” yang diciptakan
secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (hegemon). Kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat
manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtif yang
merajalela. Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan yang telah
menghasilkan tiga krisis besar: “kekerasan, kemiskinan dan kehancuran
lingkungan” (Korten 2006), adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu. Jadi sebenarnya ”cultural engineering” sudah
dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini. Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan
itu?, tidakkah mungkin masyarakat (civil society) bersama pemerintah merancang
suatu ”counter engineering” untuk
melakukan ”perlawanan budaya” tandingan
yang mampu menyelamatkan manusia
dari gejala “dehumanisasi” itu?.
[3] Social
inclusion adalah: “Kesempatan bagi setiap individu untuk dapat
berpartisipasi di dalam kehidupan sosialnya sebagai warga masyarakat, bukan
hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi semua hak-hak dasar (pendidikan,
kesehatan, politik, melaksanakan ibadah, menikmati waktu luang, berekspresi
diri dsb.)”. Jadi tujuan Pembangunan
Sosial bukan sekedar menghilangkan kemiskinan dalam arti sempit (rendahnya
penghasilan atau tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum), tetapi
menciptakan “social inclusion”.
[4]
Konsep “manusia” perlu dibedakan dengan konsep “warganegara”. Semua manusia
memang memiliki hak-haknya yang universal (hak azasi), tetapi setiap manusia juga menjadi warga dari
suatu masyarakat yang secara khas dan unik memiliki hak-hak dan kewajiban
sesuai dengan situasi dan kondisi di masyarakatnya. Oleh karena itu disamping
memperoleh hak-hak dasar secara
universal sebagai manusia, setiap orang juga harus memperoleh hak-hak (termasuk
juga kewajibannya) sebagai warga dari masyarakat di mana dia hidup dan menjadi
anggotanya (warganegara).
[5]
Kata “tercerahkan” (enlightened) inilah mungkin yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa
Indonesia “….mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pembukaan UUD 1945).
[6] Dalam buku
statistik resmi Pembangunan Sosial hanya
diartikan sebagai sektor belaka misalnya sektor
Pendidikan (jumlah sekolah yang dibangun, pertambahan jumlah guru
dsb.), sektor Kesehatan (jumlah ”tempat
tidur”, tenaga Dokter dsb.).
[7]
Diluar struktur social masih ada factor lain yang memiliki “kekuatan
structural” (structural forces) yang mampu memaksa tindakan manusia misalnya :
struktur demografi, struktur fisik kota dsb. Penelitian ini akan menekankan
pada struktur social, karena factor ini
bisa mempengaruhi kekuatan structural yang lainnya.
sangat membantu... Terima Kasih :)
BalasHapusluar biasa, solusi yang menarik dan menggiurkan
BalasHapus