Sabtu, 26 Oktober 2013

Konsep Pembangunan Sosial: Sudut Pandang Sosiologi


Oleh: Paulus Wirutomo*
I.                   Pendahuluan                
Pada masa Orde Baru Pembangunan Indonesia pernah dipuji oleh dunia Barat sebagai ”miracle”, tetapi apa yang terjadi setelah 30 tahun penguasaan rejim itu? Suatu gerakan Reformasi yang menuntut perubahan!. Pada saat inipun Pemerintah seringkali berusaha menginformasikan kepada rakyat bahwa ekonomi makro kita berkembang dengan baik, tetapi apa respons masyarakat?, demonstrasi dan cacimaki. Apa yang salah dengan Pembangunan?
Berdasarkan data agregat yang berskala dunia PBB mencatat bahwa pembangunan terutama hanya menghasilkan pertumbuhan secara material, sehingga: bersifat Jobless (tidak menghasilkan pekerjaan yang cukup dan bernartabat,  Ruthless (cenderung semakin menambah kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan), Rootless (tidak mengakar di masyarakat, kuatnya dominasi modal dari luar, hilangnya tradisi lokal, melunturnya nilai-nilai budaya lokal dsb.), Voiceless (tidak mendengarkan aspirasi rakyat karena kurang demokratis dan partisipatif), dan Futureless (merusakan lingkungan ekologis). (UNDP 1997) . Jadi setelah berlangsung sekitar lima dekade – sejak tahun 50 an - konsep “pembangunan” yang terlalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented), ternyata tidak  berhasil membangun harkat dan martabat  manusia  secara “hakiki”. Manusia bukanlah ”single dimensional being”, mereka tidak akan dipuaskan hanya dengan pembengunan yang bersifat sektoral (misalnya sektor ekonomi). Manusia membutuhkan keseimbangan dalam kehidupan sosial-budayanya.
           Pada akhir tahun 2012 Harian Kompas melakukan jajak pendapat tentang Peran Negara dalam kebinekaan.  Hasilnya 60,8 responden tidak puas pada kinerja Pemerintah dalam menjaga kebinekaan, 65.5 persen responden tidak puas pada Pemerintah dalam mencegah ancaman kerukunan dan dalam mencegah potensi konflik etnis 67.4 tidak puas. Para responden (54.7%) juga merasa bahwa warga minoritas belum terlindungi dalam beribadah dan mendirikan rumah ibadah.   Mengenai perlindungan warga minoritas agama terhadap kekerasan, ternyata para responden merasa Pemerintah belum melakukan dengan baik (59.8 ), tentang peran pemimpin agama 42.1 % responden mengatakan belum cukup melndungi. Bahkan mereka (33.2%) SKB 2 Mentri justru memicu konflik. Begitu pula  Keputusan Menag terhadap Ahmadyah 54.4 % mengatakan malah memicu konflik. Dilihat dari berbagai dimensi social-budaya, pembangunan yang ada saat uini masih jauh dari memuaskan. Bila diukur dengan Indeks kinerja penegakan hukum (skor 0-7), kebebasan beragama hanya mendapat skor 2.30. Rasa aman warga malah menurun dari: th 2010: (skor 3.66 menjadi 2.00 th 2011. Pada jumlah kasus intimidasi/ancaman kekerasan: 48 kali,  pernyataan kebencian dan : pembakaran properti: 27 kali, penolakan rumah ibadah: 14. Hal ini menunjukan bahwa urusan Pembangunan bukan hanya ”meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi”,  tetapi meningkatkan ”kualitas kehidupan Sosial-budaya” . Data juga menunjukkan bahwa kinerja kita masih sangat rendah. Hal-hal ini lebih mendasar dari sekedar peningkatan ekonomi, karena bisa menghasilkan ”modal sosial”.    
Masalah Pembangunan kita adalah terlalu ”growth oriented” serta ”sektoral”. Pengukuran kinerja pembangunan sampai saat ini masih didominasi oleh  Pengukuran variabel ekonomi yang mengukur ”banyaknya” (kuantitatif) seperti GNP dan GDP, sementara itu kehidupan sosial-budaya kita juga membutuhkan perkembangan yang kualitatif seperti kehidupan politik yang lebih demokratis, kehidupan beragama dan etnisitas yang lebih toleran, dan multikultur, kehidupan yang lebih aman dan bebas dari ketakutan dan kekerasan, hak azasi yang lebih dihargai dan dilindungi,  bakat dan kreativitas yang lebih diberi tempat, aspirasi yang lebih didengar dsb. Pendek kata kita membutuhkan peningkatan kualitas kehidupan bukan saja kuantitas.
Perubahan paradigma bukan suatu hal yang mudah karena menyangkut perubahan mendasar  “cara berpikir” manusia yang telah berlangsung cukup lama. Konsep-konsep seperti: trickling-down effect, growth pole, basic human needs dsb. Perlu  digantikan dengan capacity building, sutainable development, community based development dsb. Konsep-konsep yang dulu samgat mendominasi seperti efficiency perlu diseimbangkan dengan effectiveness, centralization dengan decentralization, development aids dengan self reliance,  quantity dengan quality dsb. Dominasi financial dan physical capital harus diimbangi dengan social capital  dan cultural capital. Konsep human resource yang lebih berkonotasi sebagai obyek pembangunan atau alat pembangunan harus lebih dilihat sebagai subyek atau bahkan tujuan pembangunan. Dunia kini sedang menuju kesana. PBB melalui UNDP telah  mensponsori dengan Human Developmen Index (HDI) yang kini telah diakui sebagai suatu kriteria baru untuk mengukur keberhasilan pembangunan dari setiap negara di dunia (disamping GNP), dan telah melaporkannya setiap tahun dalam Human Development Report (HDR). Keikutsertaan hampir seluruh negara di dunia dalam HDR telah menunjukkan suatu political will yang meluas di tingkat global.
v  Reduksionistik: kebutuhan manusia seolah hanya materi saja.
v  Statis dan absolutis: ditentukan secara sepihak oleh para teknokrat sebagai pemikir dan pemimpin pembangunan, tidak suka pada perubahan paradigma.
v  Sentralistik-korporatis: mengandalkan pada pemerintah yang kuat dan terpusat.

          Pembangunan sosial tidak boleh bersifat deterministik, tetapi harus membuka kesempatan bagi public negotiation (inovasi/demokratisasi/ruang sosial semi otonom). Oleh karena itu dalam rangka pembangunan sosial harus diciptakan ruang-ruang publik dimana warga masyarakat dapat mengekspresikan kepentingan dan kebutuhan mereka. Organisasi didalam masyarakat yang benar-benar berbasis pada masyarakat perlu memperoleh tempat dalam proses perencanaan (pengembangan sociability)
          Pendekatan pembangunan sosial perlu menghilangkan sifat hubungan manusia yang hanya berdimensi “materialistik”, pandangan yang hanya satu dimensi (one dimensional man) ini sering mereduksi manusia menjadi “materi” atau “obyek” yang tidak memiliki “makna subyektif” dan mampu melakukan komunikasi dan interaksi yang produktif. Individu sebagai aktor yang memiliki kemampuan menginterpretasi situasi dengan “makna subyektif” harus tetap mendapat tempat sebagai subyek dalam proses pembangunan yang menyangkut dirinya. Oleh karena itu keputusan pembangunan harus bersifat dialogis dan  negotiable (“social order is a negotiated order” ). Mengingat hal itu, pembangunan sosial menolak pendekatan fungsionalisme yang cenderung mempertahankan statusquo, tetapi juga aliran konflik yang hanya melihat konflik sebagai satu-satunya cara untuk membebaskan manusia dari struktur yang menindas. Sinergi[1] merupakan suatu jalan keluar yang ideal dalam pembangunan yang berkesinambungan.

            Yang terpenting dari pembangunan aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu, misalnya nilai keadilan, kerukunan, kemandirian dsb. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Bila pembangunan pendidikan, misalnya, hanya diukur keberhasilannya dari berapa “pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusan dsb., maka itu bukan “pembangunan nilai”. Bila pembangunan di dasari oleh suatu sistem nilai misalnya:”kemandirian”, maka keberhasilan pembangunan akan diukur oleh indikator-indikator seperti: berapa jumlah sekolah yang dibangun “secara mandiri” oleh masyarakat?, berapa banyak lulusan SLTP/SLTA yang bisa membuka lapangan kerja sendiri? Dsb. Demikian pula dengan program dibidang kesehatan, bukan hanya diukur dengan pertambahan tempat tidur per-jumlah penduduk  tetapi misalnya “tercapainya budaya sehat, kerjasama masyarakat dalam menanggulangi kesakitan” dsb. Dengan kata lain pembangunan yang berbasis pada masyarakat haruslah pembangunan yang berbasis “nilai”, karena yang akan dibangun adalah nilai-nilai tertentu yang dipandang baik untuk rakyat, untuk manusia, sehingga dijadikan suatu cita-cita pembangunan, karena itu diakhir setiap program harus diukur apakah nilai yang didambakan sudah bertumbuh? Saat  ini sering terjadi hasil pembangunan yang bersifat paradoxal, seperti lulusan sekolah semakin banyak tetapi  penganggur juga semakin banyak. Jumlah sekolah semakin banyak tetapi anak nakal (tawuran) semakin banyak,  jadi pembangunan pendidikan tidak mencapai suatu nilai tertentu (misalnya nilai “kemandirian”, “kerukunan”, atau “intelektual”), tetapi hanya menghasilkan gedung sekolah, ijasah, dan lulusan.
          Bagaimana ilmu sosial-budaya dapat menyeimbangkan kondisi peradaban dan kemanusiaan ini?. Peran yang sering dilakukan oleh ilmu sosial-budaya dalam Pembangunan sejauh ini adalah “hanya” mengevaluasi proyek pembangunan (social impact assessment). Peran ini tidak dapat menyeimbangkan, karena apapun hasil analisanya tidak akan banyak mempengaruhi arah hakiki pembangunan itu sendiri. Banyak ahli ilmu sosial mendesak agar peran ilmu sosial tidak hanya analytical-evaluative,  tetapi harus lebih prescriptive, bahkan meningkatkan peran pemikirannya dari sekedar the enlightment model menjadi the engineering model[2].
II.                Konsep Pembangunan Sosial
          Dalam rangka melakukan koreksi terhadap arah perkembangan peradaban manusia ini, maka ilmu-ilmu sosial-budaya harus secara konseptual memperjuangkan prinsip yang mungkin  tidak mudah diterima oleh logika “pertumbuhan kebendaan” yang mendominasi dunia saat ini, misalnya mengemukakan variable-variable “social” dan “humaniora” seperti: inklusi sosial, kerukunan, kemandirian, kesetiakawanan, demokrasi, kesejahteraan dan bahkan kebahagiaan.          Dibawah ini penulis mencoba menjelaskan makna konsep ”sosial” sebagai berikut:
·         Pembangunan Sosial bukanlah pembangunan “individual”: artinya pembangunan sosial adalah menyangkut perbaikan bagi orang banyak, bukan perorangan atau sekelompok kecil orang. Suatu program (sektor) pendidikan yang hanya bisa meningkatkan SDM dari individu atau sekelompok kecil orang dengan cara membuka suatu program yang sangat khusus misalnya mendirikan sekolah berkualitas internasional tetapi hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja tidak dapat disebut sebagai suatu pembangunan sosial. Pembangunan sosial adalah pembangunan yang harus bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh karena itu masalah kesenjangan antar kelompok adalah suatu masalah sosial yang sangat serius dan berbahaya. Pembangunan sosial adalah suatu usaha untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Kesenjangan memang tidak mungkin dihilangkan dari dunia ini, tetapi harus dikurangi sampai titik dimana tidak ada suatu kelompokpun yang memiliki kekuasaan absolute sehingga mampu menutup semua kemungkinan perubahan (statusquo).   
·         Pembangunan Sosial juga sering diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau mengurangi  masalah-masalah sosial yaitu suatu masalah yang mengganggu kehidupan orang banyak (kejahatan, kenakalan remaja, pelacuran dsb). Konsep ini benar, tetapi seringkali tidak terlalu mendasar karena dibalik semua masalah itu biasanya terdapat masalah yang lebih mendasar yaitu kesenjangan sosial dan ketidak adilan. Seringkali masyarakat mempersalahkan pelaku masalah sosial tersebut padahal sebenarnya mereka adalah korban dari “kondisi kehidupan sosial” yang tertentu  seperti misalnya struktur dan/atau kultur itu yang  senjang dan tak adil. Oleh karena itu konsep Pembangunan Sosial harus memiliki pengertian baku yang disepakati oleh berbagai “stake holder”.
·         Pembangunan sosial-budaya juga bisa  mencakup pembangunan  sendi-sendi masyarakat yang paling dasar seperti memperkuat integrasi nasional. Aspek  ini sangat mendasar dan mencakup seluruh bangunan sosial (societal). Pembangunan societal seperti ini l harus dapat menghasilkan resilience (ketahanan budaya terhadap berbagai tantangan dari luar dan dalam), sustainability (suatu kemampuan mempertahankan dan mengembangkan  kemajuan yang telah diperoleh), dan pemberdayaan (suatu penguatan pada komponen-komponen dalam masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri secara mandiri).
·         Pembangunan sosial juga tidak boleh dipusatkan hanya sekedar untuk mengurangi kemiskinan, karena tanpa pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sesunguhnya, penanggulangan kemiskinan sering tidak menghasilkan pembangunan sosial. Program pengentasan kemiskinan seperti JPS, Raskin, padat karya, seringkali tidak berhasil melenyapkan kemiskinan secara hakiki dan permanen, tetapi justru telah menyebabkan sikap tergantung, penyelewengan pada masyarakat miskin.   Oleh karena itu masalah kemiskinan harus dilihat sebagai masalah sosial yang sistemik (societal) yaitu mencakup keterkaitan berbagai dimensi. Untuk mengatasi hal ini tidak cukup dengan program-program yang bersifat ekonomi saja tetapi pembangunan berbagai aspek kemasyarakatan (pemberian otonomi, perlindungan sosial, pengembangan modal sosial, solidaritas sosial, basic rights entitlement dsb).
·         Fungsi pembangunan lainnya yang masuk dalam ruang lingkup pembangunan sosial-budaya adalah:
ü  merombak budaya atau struktur sosial yang tidak adil (misalnya kesetaraan jender).
ü  membangkitkan potensi yang tersimpan di masyarakat (Human Capital, Social Capital, Cultural Capital)
ü  merekatkan struktur sosial yang retak (disintegrasi sosial).
ü  pembangunan sistem perlindungan sosial (social protection)
ü  pembangunan sosial adalah “pengembangan partisipasi” itu sendiri, bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai tujuan (budaya).
ü   pembangunan sosial adalah menyangkut penciptaan perubahan dan pengembangan proses sosial  baik dari dimensi  structural maupun cultural (nilai-nilai, norma, symbol-simbol) agar tercipta pola hubungan sosial dan pola interaksi dan pola perilaku yang mendorong terciptanya keteraturan sosial yang dikehendaki.
ü  pengembangan civil society (LSM, Community Based Organization.).
ü  pengembangan local capacity, memfasiliasi  kemitraan dengan pemerintah.
ü  pembangunan sosial juga menghilangkan social distress (seperti violent conflict dsb)

           Dalam perspektif Pembangunan Sosial, partisipasi masyarakat bukan sekedar alat atau cara, tetapi tujuan, karena dalam keikutsertaan yang aktif dan kreatif  dalam Pembangunan, hakikat manusia sebagai mahluk yang memiliki aspirasi, harga diri dan kebebasan (freedom) diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan mutunya. Dengan kata lain penekanan  Pembangunan Sosial adalah  pemerataan sarana dan  hak-hak manusia yang paling dasar  (inklusi sosial)[3] (lihat: Haralombos 2008, h.212-277). ”Pemisahan” konsep Pembangunan Sosial dari konsep pembangunan ekonomi tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang mutually exclusive.  Karena kehidupan ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial, maka Pembangunan Sosial adalah landasan dari Pembangunan Ekonomi. Dengan kata lain ekonomi tidak boleh dibangun untuk sekedar tujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, tetapi dibangun agar manusia yang hidup di dalam masyarakat itu dapat hidup dengan lebih sejahtera. Tetapi karena manusia itu hidup didalam masyarakat, maka pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus bertumpu pada nilai-nilai dasar yang disepakati oleh sebagian besar warga masyarakat (value-based development) dan mampu menciptakan kemakmuran secara inklusif pada semua warga masyarakat. Semua elemen dasar masyarakat: struktur, kultur dan proses sosial menjamin semua warganya untuk memperoleh hak-hak paling dasar bukan hanya sebagai manusia tetapi sebagai warga masyarakat[4].
  Semua variable ini harus bisa masuk kedalam perhitungan input-output Pembangunan yang amat kuantitatif. Logika perencanaan yang saat ini sangat berpegang pada azas efisiensi harus bisa menerima logika “sosial-budaya” yang cenderung lebih berorientasi pada “efektivitas” (yakni menghasilkan kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat), azas profesionalitas yang dinilai amat tinggi oleh para teknokrat harus bisa memberi tempat bagi azas partisipasi masyarakat dan seterusnyaDengan kata lain “pertumbuhan ekonomi”, harus secara langsung melekat (bukan sekedar diseimbangkan) dengan peningkatan kualitas “kehidupan bermasyarakat” atau “kehidupan sosial budaya” (good society) (Bellah 1992).
          Pada saat ini memang sudah banyak penekanan diberikan pada unsur “manusia” dalam pembangunan  seperti konsep People Centred Development (lihat Korten 2006), “Social Development” (UNDP), bahkan MDGs,  tetapi penulis mengusulkan agar Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya berani secara lebih spesifik mengajukan suatu “proposisi” bahwa membangun manusia haruslah melalui pembangunan Masyarakatnya,  Bellah misalnya, mengatakan:
It is difficult to be a good person  in the absence of good society. The difficulty  actually comes from failures of the larger institutions on which our common life depends (Bellah et al.1992 p.4)”.

Jadi membangun masyarakat secara sistemik dan holistik (societal) sangatlah mendasar, bukan sekedar membangun “sektor-sektor” atau hanya menjamin “sebagian” hak-hak individu tetapi secara keseluruhan membangun warganegara menjadi civil society yang tercerahkan[5]. Untuk itu  penulis menawarkan  konsep Pembangunan Sosial  yang bersifat sistemik-sosietal yang dikaitkan langsung pada konsep dasar sosiologis  dari suatu masyarakat yaitu: struktur sosial, kultur dan proses sosial. Pembangunan Sosial adalah perbaikan manusia dalam dimensi "sosial"-nya. Pembangunan Ekonomi yang hanya menguntungkan kelompok tertentu atau bahkan  menciptakan kepincangan dan kesenjangan di dalam sistem adalah bertentangan dengan Pembangunan Sosial karena memerosotkan mutu hubungan sosial dan interaksi sosial. ”Pemisahan” konsep Pembangunan Sosial dari konsep Pembangunan Ekonomi tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang saling menghambat.  Kehidupan ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan sosial-budaya, maka Pembangunan Sosial haruslah merupakan landasan dari Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Sosial tidak bisa direduksi sebagai sektor[6], sebab semua bidang kehidupan manusia (termasuk dalam bidang ekonomi seperti perdagangan, industri dsb.) berlandaskan pada “kehidupan sosial”. Pembangunan Sosial adalah pembangunan elemen societal yang paling mendasar (secara sosiologis) yaitu pembangunan Struktur, Kultur dan Proses Sosial.
·         Struktur sosial: adalah pola hubungan (terutama hubungan kekuasaan) antara kelompok  sosial. Kelompok sosial yang lebih kuat dan berkuasa akan mampu memaksa, memerintah, atau memberi kendala pada manusia atau kelompok yang lain. Kekuatan “Struktur Sosial” bisa dilembagakan (institutionalized) secara legal-formal (seperti Undang-undang, kebijakan Pemerintah dsb.), maupun yang tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang walaupun tidak memiliki kekuatan hukum resmi untuk memerintah, tetapi efektif mengatur kehidupan masyarakat luas (melalui iklan, fasilitas fisik yang diciptakan dsb.)[7]. Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa (negara berkolusi dengan pengusaha besar) untuk membangun  pola dominasi yang menindas  di masyarakat. Jadi suatu masyarakat perlu melakukan usaha menyeimbangkan hubungan kekuasaan antar pemerintah dan rakyat atau golongan kaya dan miskin melalui kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan rakyat banyak”, dengan kata lain memperbaiki struktur yang eksklusif (tidak adil, diskriminatif) menjadi inklusif (adil, memberikan kesamaan hak). Memperbaiki struktur yang eksklusif (tidak adil, diskriminatif) menjadi inklusif (adil, memberikan kesamaan hak). Inilah yang disebut sebagai “Pembangunan Struktural” yang merupakan elemen dari “pembangunan Sosial.”
Contoh Pembangunan Struktural:
ü  Melakukan koreksi (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar  agar terjadi terjadi keseimbangkan hubungan kekuasaan antar Pemerintah-rakyat atau golongan kaya-miskin.
ü  Membuat Kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menguntungkan rakyat banyak à ruang kota untuk PKL, tanah untuk petani dsb..

·         Kultur: adalah segala sistem nilai, norma, kepercayaan dan semua kebiasaan serta adat istiadat yang telah mendarah daging (internalized) pada individu atau masyarakat  sehingga memiliki “kekuatan” membentuk pola perilaku dan sikap anggota masyarakat (dari dalam).
Kebudayaan yang telah tertanam di suatu masyarakat tidak selalu merupakan cara hidup terbaik untuk menghasilkan kesejahteraan dan martabat masyarakat. Banyak unsur budaya yang justru menghambat kesejahteraan masyarakat misalnya: Kuncaraningrat dan Mochtar Lubis pernah mengidentifikasi beberapa unsur budaya kita yang menghambat kemajuan ………. Kebudayaan ini tidak mudah untuk dihilangkan karena telah mendarah daging pada anggota masyarakat,  orang justru merasa bersalah bahkan berdosa kalau tidak bertindak sesuai budaya. Kebudayaan ini juga selalu dipertahankan oleh kelompok tertentu atau tokoh-tokoh masyarakat dalam rangka melindungi kepentingannya (vested interest). Golongan ini sering menindas golongan lainnya melalui legitimasi budaya (cultural hegemony). Itulah sebabnya suatu masyarakat memerlukan agenda membangun Kultur yaitu untuk meningkatkan kualitas system nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan rakyat  baik secara langsung (melalui sosialisasi, edukasi dsb.) maupun tidak langsung (melalui pembangunan struktural dan proses sosial).
Contoh Pembangunan Kultur:
ü  Pada masa Orba bangsa Indonesia pernah menysusun suatu program pembangunan dalam usaha menanamkan Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa  (Program P4), ii adalah suatu contoh Pembangunan Budaya.
ü  Di Solo Jokowi mengembangkan kebijakan Eco-cultural City, salah satu programnya adalah mengembangkan budaya non kekerasan dengan menginstruksikan Satpol PP untuk tidakm menggunakan pentungan dalam menertibkan kota. Menentukan nilai ideal tertentu sebagai basis dari Pembangunan Bangsa, misalnya  struktural (kebijakan, regulasi dsb.)
ü  Membangunan Gelanggang remaja untuk mengembangkan budaya kreartif genarasi muda.
·         Proses Sosial: adalah segala “dinamika interaksi” sehari-hari antar anggota masyarakat. Misalnya obrolan diwarung kopi, interaksi antar guru dan murid, polisi dan warga masyarakat, diskusi di seminar, pembacaan puisi sampai demonstrasi. Melalui proses sosial, individu maupun kelompok dapat mengekspresikan aspirasi secara relatif “bebas”, disini terjadi  negosiasi yang dinamis dan kreatif antar anggota masyarakat, sehingga ”arena” ini dapat menjadi sumber perubahan struktur maupun kultur yang ada (”social order is a negotiated order”). Proses Sosial merupakan elemen dasar kehidupan sosial yang sangat penting. Di dalam aliran “symbolic interactionism” diyakini bahwa realitas sosial adalah hasil bentukan interaksi antar individu dalam kehidupan sosial (reality is socially constructed). Dengan kata lain:”… meanings do not reside in the object but emerge from social process” (Jary and Jary 2005: 627).  Jadi, membangun “Proses Sosial” artinya membangun kondisi kultural maupun struktural yang dapat memberi ruang lebih luas bagi pengembangan kuantitas maupun kualitas proses sosial di kalangan warga masyarakat.
Contoh Pembangunan Proses Sosial:
ü  Membuka ruang public yang memungkinkan masyarakat berinteraksi secara kreatif  (gelanggang remaja, taman bermain, panggung-panggung kreatif dsb.
ü  Membuka kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan opininya (public sphere) seperti: kebebasan berorganisasi, diskusi publik, unjuk rasa, dsb).
ü  Meningkatkan ruang partisipasi bagi masyarakat à musrenbang, menghidupkan tradisi gotongroyong di RT/RW
          Di dalam kehidupan nyata “Struktur, Kultur dan Proses” tidak berdiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu saling mempengaruhi, saling berpotongan (saling menopang), misalnya peraturan  
·         Gambar Struktur-Kultur-Proses.
§  Usaha sistematis dan terencana untuk membangun ketiga elemen dasar “societal” itulah yang kita sebut sebagai “Pembangunan Sosial”. Bila ini terjadi maka akan dihasilkan kehidupan sosial yang lebih  emansipatoris (setara) dan inklusif (mencakup kesejahteraan semua golongan), maka pembangunan dibidang apapun (ekonomi, fisik, hukum, agama) harus berlandaskan pada pembangunan elemen dasar itu. Inti dari  Pembangunan Sosial adalah “inklusi sosial”  yaitu: kesempatan bagi semua warga masyarakat untuk memperoleh hak dan kebutuhan  yang paling dasar  seperti kebutuhan fisik, status sosial, kekuasaan serta hak-hak dasar sebagai manusia untuk dapat  berpartisipasi dalam kehidupan sebagai warga masyarakat.
§  Contoh hak-hak dasar: Sandang – Pangan –Papan (termasuk tanah, Pendidikan, Kesehatan,  Pekerjaan, beragama dan beribadah, Rekreasi, Modal (kredit), Status sosial (KTP, akte kelahiran dsb.), Politik,, Keamanan , Berorganisasi/berserikat
·         Gambar Pembangunan Sosial.

III. Perpotongan antar elemen dasar
          Komponen Struktur – Kultur dan Proses dalam kehidupan sosial yang nyata tidaklah berdiri sendiri secara terpisah, tetapi pada derajat tertentu saling berpotongan satu sama lain (cross-cutting). Perpotongan tersebut dapat kita gambarkan sebagai berikut:
A.    Pertemuan antara komponen Struktur dan Kultur menghasilkan gejala:
  Structured culture (SC): dimana salah suatu unsur budaya yang telah terinternalisasi di masyarakat “diangkat” menjadi suatu aturan resmi pemerintah (kultur yang distrukturkan).
  Cultured structure (CS): adalah gejala dimana peraturan resmi yang bisa diterima dan dipatuhi oleh masyarakat sehingga terinternalisasi menjadi elemen budaya (struktur yang membudaya),
  1. Pertemuan antara komponen Struktur dan Proses menghasilkan gejala:
  Structured process (SP): yaitu kejadian dimana pola interaksi yang berkembang secara informal sehari-hari di masyarakat dianggap baik oleh Pemerintah sehingga diresmikan menjadi Undang-undang atau komponen regulasi (proses yang disrukturkan).
  Processed structure (PS): adalah struktur (regulasi) yang diproses kembali atau dinegosiasikan kembali oleh masyarakat melalui berbagai cara, bisa diperdebatkan di warung kopi sampai di media atau diprotes melalui Demonstrasi dan sebagainya. PS bisa bersifat mendukung pemerintah (menyetujui peraturan) atau menentang. Processed structure bisa juga berupa gejala dimana peraturan yang telah diresmikan di dalam pelaksanaannya “ditawar” oleh kekuatan-kekuatan di masyarakat melalui “lobby”, “suap”, “kolusi” dengan penegak hukum. Ini yang banyak terjadi di Indonesia (hukum bisa “diatur” atau “diproses kembali” oleh masyarakat)
C.     Pertemuan antara komponen Kultur dan Proses menghasilkan gejala:
  Cultured process (CP): keadaan dimana pola interaksi yang berkembang sehari-hari di masyarakat mulai terinternalisasi dan menjadi tradisi atau bagian dari budaya masyarakat (proses yang membudaya).
  Processed culture (PC): proses interaksi di dalam masyarakat untuk menegosiasikan kembali atau mewacanakan kembali unsur budaya yang ada, baik secara non formal (debat kusir di warung kopi) sampai diskusi di media massa (Budaya yang diproses kembali).
          Kekuatan dari “Model Analisis Struktur-Kultur-Proses” ini terletak pada interaksi atau persilangan (cross-cutting) antar elemen ini. Bila kita perhatikan, sebenarnya ada ruang perpotongan antara ketiga elemen dasar tersebut (terletak ditengah). Ini adalah kondisi dimana Sruktur-Kultur dan Proses berhimpitan. Sampai saat ini penulis belum bisa memberikan nama pada gejala ini. Keadaan ini juga sangat “ideal” sehingga sulit ditemuai di dunia empiris.
IV.             Penutup .
          Pengembangan konsep “Pembangunan Sosial” adalah suatu tantangan terbesar bagi para ilmuwan Sosial-Budaya karena sampai saat ini konsep Pembangunan masih didominasi oleh aspek-aspek kebendaan, sehingga hasil pembangunan sampai saat ini selalu gagal memenuhi harkat dan martabat manusia secara hakiki. Tulisan ini mencoba menunjukkan cirri hakiki dari Pembangunan Sosial sehingga jelas kedudukannya diantara konsep Pembangunan lainnya. Tuga berikut adalah menemukan indicator yang paling “tajam” untuk mengukur setiap elemen dasar itu dan kemudian menciptakan suatu “indeks Pembangunan Sosial” yang bisa menjadi tolok ukur seberapa besar setiap kota/kabupaten/provinsi bahkan Negara telah melakukan Pembangunan Sosial.
_____________________
*Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil diskusi di dalam research cluster Pembangunan Sosial di Departemen Sosiologi yang terdiri dari penulis dan rekan-rekan pengajar Sosiologi yaitu:  Linda Darmajanti, Sudarsono Hardjosukarto, Lidya Triana, Chotib, Wahidah Bulan, Sakti Wirayudha, Fajrian Siregar dan  Iqbal . Sumbangan pemikiran para anggota cluster ini sangat penting bagi penulis, akan tetapi kekurangan dan kekeliruan di dalam tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis pribadi.


[1] Konsep sinergi mungkin perlu mendapatkan penekanan disini karena orang telah melupakan bahwa pada hakekatnya suatu “Pembangunan” haruslah berjiwa sinergis, karena bila tidak demikian –seperti apa yang dialami oleh manusia di dunia saat ini – Pembangunan justru mencipatakan kesenjangan dan menghancurkan keharmonisan serta potensi-potensi yang ada.

[2] Banyak pemikir social-budaya tidak menyukai kata “social engineering”, karena konsep ini bernuansa “deterministik, otoriter dan dapat melanggar HAM”. Sikap ini masuk akal, karena itu konsep ini harus dihindari, akan tetapi kita harus menyadari bahwa dalam kenyataan hampir semua kebudayaan di dunia saat ini telah  jatuh dalam suatu  scenario yang  bersifat ”socio-cultural engineering” yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa” (hegemon). Kaum kapitalis raksasa  mencengkeram dan menyeret kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup konsumtif yang merajalela. Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan yang telah menghasilkan tiga krisis besar: “kekerasan, kemiskinan dan kehancuran lingkungan” (Korten 2006), adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu.  Jadi sebenarnya ”cultural engineering” sudah dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini.   Apakah manusia akan menyerah pada kekuatan itu?, tidakkah mungkin masyarakat (civil society) bersama pemerintah merancang suatu  ”counter engineering” untuk melakukan  ”perlawanan budaya” tandingan yang mampu menyelamatkan  manusia dari  gejala “dehumanisasi” itu?.

[3] Social inclusion adalah: “Kesempatan bagi setiap individu untuk dapat berpartisipasi di dalam kehidupan sosialnya sebagai warga masyarakat, bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi semua hak-hak dasar (pendidikan, kesehatan, politik, melaksanakan ibadah, menikmati waktu luang, berekspresi diri dsb.)”.  Jadi tujuan Pembangunan Sosial bukan sekedar menghilangkan kemiskinan dalam arti sempit (rendahnya penghasilan atau tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum), tetapi menciptakan “social inclusion”.
[4] Konsep “manusia” perlu dibedakan dengan konsep “warganegara”. Semua manusia memang memiliki hak-haknya yang universal (hak azasi),  tetapi setiap manusia juga menjadi warga dari suatu masyarakat yang secara khas dan unik memiliki hak-hak dan kewajiban sesuai dengan situasi dan kondisi di masyarakatnya. Oleh karena itu disamping memperoleh  hak-hak dasar secara universal sebagai manusia, setiap orang juga harus memperoleh hak-hak (termasuk juga kewajibannya) sebagai warga dari masyarakat di mana dia hidup dan menjadi anggotanya (warganegara).
[5] Kata “tercerahkan” (enlightened) inilah mungkin yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa Indonesia “….mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pembukaan UUD 1945).
[6]      Dalam buku statistik resmi  Pembangunan Sosial hanya diartikan sebagai sektor belaka misalnya sektor  Pendidikan (jumlah sekolah yang dibangun, pertambahan jumlah guru dsb.),  sektor  Kesehatan (jumlah ”tempat tidur”, tenaga Dokter dsb.).
[7] Diluar struktur social masih ada factor lain yang memiliki “kekuatan structural” (structural forces) yang mampu memaksa tindakan manusia misalnya : struktur demografi, struktur fisik kota dsb. Penelitian ini akan menekankan pada  struktur social, karena factor ini bisa mempengaruhi kekuatan structural yang lainnya.

2 komentar: